Ada suatu pepatah, 'sumum ius suma iuria' atau artinya 'adil tidaknya sesuatu akan bergantung pada pihak yang merasakannya'. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakandemikian oleh orang lain. Adil di mata aparat, belum tentu adil seperti dirasakan rakyat. Bagi orang miskin yang sedang menghuni rutan atau penjara, apa yang bisa dirasakan Gayus mustahil bisa dirasakannya. Orang miskin tidak akan mampu menciptakan keadaan yang membuatnya mendapatkan perlakuan istimewa. Sementara Gayus, berkat uangnya yang berlimpah, berhasil keluar dan rekreasi ke Bali. Gayus menggunakan uangnya untuk memengaruhi dan menjinakkan petugas. Bagi orang miskin, apa yang dirasakan itu bisa ditafsirkan sebagai ketidakadilan dan bahkan ketidakadaban (aparat) hukum. Pasalnya, ia dikalahkan dengan bekerjanya uang dan sistem kronisme, dan bukan dikalahkan dan dihinakan oleh bekerjanya sistem hukum yang berkeadilan, egalitarian, dan berkemanusiaan.
Aparat penegak hukum yang berhasil membelokkan bekerjanya sistem hukum itu, boleh jadi menganggap bahwa di satu sisi apa yang diperbuatnya memang paradoks dengan norma hukum. Akan tetapi, mereka (oknum aparat) menganggap bahwa yang diperbuatnya merupakan gambaran kegagalan negara dalam menegakkan keadilan antara aparat polisi, jaksa, hakim, dan lainnya. Gambaran kegagalan negara dimaksud direlasikan dengan realitas kehidupan oknum aparat yang berasal dari kalangan akar rumput, yang secara ekonomi jauh dari sejahtera. Atmosfer disparitas antarelemen peradilan, khususnya dari sisi ekonomi, telah dijadikan pembenaran atau apologi untuk melakukan pengkhianatan hukum. Masalahnya, apakah ketidakadilan yang dirasakannya otomatis harus ditegakkan dengan menginjak-injak jagat hukum?
Ketidakadilan sektor penggajian itu dapat terbaca dalam pendapat Suthini 'Menyesuaikan Gaji Polisi' (2010), bahwa bukan rahasia lagi kalau polisi Indonesia sering menjadi bahan olok-olokan masyarakat karena perilaku oknum-oknumnya di lapangan. Banyak oknum polisi diduga terlibat dalam pemerasan dan tindakan-tindakan kurang simpatik. Ini semua terjadi karena gaji polisi
sangat minim. Sebagai bahan perbandingan, konon, anggota polisi dengan pangkat inspektur dua/letda hanya menerima gaji sekitar Rp3 juta per bulan. Padahal, Gayus Tambunan, pegawai golongan IIIA Dirjen Pajak Kemenkeu, yang sudah lima tahun bekerja, bergaji Rp12 juta. Adanya perbedaan gaji yang sangat mencolok ini diduga mendorong seorang oknum polisi (kompol) dengan mudah kongkalikong melakukan praktik mafia hukum dalam kasus Gayus. Lebih paradoks lagi jika dikaitkan dengan gaji KPK, misalnya. Gaji Ketua KPK waktu masih dijabat Antasari mencapai Rp40 juta per bulan dan gaji pegawai KPK bisa mencapai angka kisaran Rp20 juta (Sandi Bayuperwira, 2009). Kondisi ini jika dijadikan sebagai pangkal apologi dalam membenarkan berburu uang suap, kondisi negeri ini tidak ubahnya sarang homo homini lupus (para serigala yang saling menerkam). Menjadi aparat bukannya untuk menegakkan hukum, tetapi jadi pemburu terpenuhinya kesenjangan.
Untuk mengurangi perburuan para serigala itu, aparat penegak hukum perlu belajar pada Socrates. Alkisah, filsuf kenamaan Socrates pernah ditahan aparat penjara karena didakwa melakukan suatu tindak kejahatan. Aparat tidak menerima alasan atau bukti-bukti yang menunjukkan kalau Socrates tidak bersalah. Creto, sang pengusaha yang pernah menjadi murid Socrates ini kasihan melihat gurunya ditahan seperti kriminal-kriminal pada umumnya. Creto menganggap ini perlakuan tidak adil.
Dengan maksud membebaskan Socrates, Creto hendak menyuap petugas penjara yang menahan gurunya itu. Di luar dugaan, Socrates menolaknya sambil berujar keadilan memang harus ditegakkan, tetapi keadilan harus berlaku pula untuk semua (justice for all) atau yang lainnya. Mereka yang ditahan ini bukan tidak mungkin juga seperti aku, yang belum tentu bersalah, di samping cara (menyuap) demikian akan membuka peluang bagi masyarakat di kemudian hari untuk menempuh cara yang sama, yakni menegakkan keadilan dengan cara-cara kejahatan atau menghalalkan gaya membolehkan segala macam cara.
Dalam kasus tersebut, secara yuridis empirik aparat penegak hukum di negeri ini perlu belajar dari Socrates. Andaikan filsuf ini menjadi guru yang ditaati atau diteladani di negeri ini, tentulah citra diri Indonesia tidak langgeng terkoyak ataupun terus-menerus menempati peringkat meyakinkan di sektor korupsi atau tidak sering scudeto (juara) dengan pilar-pilar dan arsitek kejahatan kerah putih (white collar crime), atau tidak sampai memosisikan aparat penegak hukum sebagai segmentasi sindikasi kriminalitas kelas elitis.
Apa yang dididikkan Socrates kepada muridnya itu menunjukkan bahwa Socrates bukan hanya tidak membenarkan cara memperjuangkan atau merebut keadilan dengan kejahatan, melanggar, dan menyelingkuhi hukum, atau main pintu belakang seperti suap-menyuap, melainkan menghargai dan menghormati berlakunya sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebuah sistem yang mencita-citakan tegaknya keadilan untuk semua (justice for all), berlaku secara egaliter, atau tanpa sekat kasta dan strata sosial, atau praktik-praktik nondiskriminasi.
Socrates menghormati kinerja aparat penegak hukum dalam menangani masalah kejahatan. Apa yang dilakukan aparat kepada dirinya dianggap sebagai segmentasi dari kebenaran secara de jure, meski bagi dirinya merugikan. Dalam tataran tersebut, Socrates dapat dibaca sebagai sosok yang mengikhlaskan dirinya menjadi bagian dari korban legalitas dan kebenaran dari sistem yang sedang berlaku. Dalam asumsinya, kalau sistem ini tidak dihormati, apalagi oleh dirinya yang sudah ditempatkan sebagai guru masyarakat dan hukum, bagaimana mungkin norma-norma hukum akan mampu menjadi sumber utama kontrol atau monitoring setiap warga negara.
Idealitas itu sejalan dengan apa yang dituangkan dalam konstitusi kita (UUD 1945) yang menganut prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan dan pertanggungjawaban di depan hukum. Maknanya, setiap orang dituntut, diperlakukan, dan dikontrol dengan mekanisme kesederajatan, tanpa membedakan, atau mendiskriminasikan di antara lainnya. Siapa saja yang menyelingkuhi prinsip ini, ia menabur penyakit moral yang mengarahkan pada pengeroposan jati diri negara hukum (rechtstaat).
Sayangnya, sistem hukum yang berlaku di negeri ini sering kali tidak dihormati oleh aparat penegak hukum sendiri. Sistem ini kerap, kalau tak dibilang akrab berada dalam pasungan praktik-praktik sarat malapraktik profesi, meminjam istilah JE Sahetapy, dengan pembusukan hukum (legal decay). Artinya, ada produk yuridis yang secara idealis mengatur suatu kontrol perilaku aparat, tetapi ketika kontrol hukum ini dicoba diberlakukan atau diberdayakan menjadi kekuatan hukum dalam aksi (law in action), dengan gampangnya dimentahkan atau didegradasikan oleh tangan-tangan gaib (the invisible hands) yang sangat superior. Tangan-tangan gaib ini bisa berada di balik terali besi penjara atau yang sedang menjadi manajer-manajer kriminalitas.
Oleh Prof Dr Bambang Satriya, SH MH, Guru Besar dan dosen luar biasa Universitas Machung dan UIN Malang
Opini Media Indonesia 10 Desember 2010