Oleh Ajip Rosidi
Dalam abjad Latin EYD ada huruf e yang menyalahi prinsip EYD yang hendak "satu huruf satu fonem", bisa dibaca baik sebagai e (lemah) seperti dalam kata jelas, pernah, melempem, dll., maupun sebagai é (tajam) seperti dalam kata bebek (dibaca bécék), bebek (bébék), receh (récéh), deret (dérét), dll. Seperti pernah berkali-kali saya kemukakan, hal itu menyebabkan kekacauan dalam membaca kata-kata terutama kata-kata yang belum dikenal, padahal kata-kata baru setiap hari menyerbu bahasa Indonésia baik dari bahasa asing (terutama Inggris) maupun dari bahasa ibu (terutama Jawa dan Jakarta). Kekacauan pembacaan itu dengan mudah kita dengar kalau kita bersedia mendengarkan dengan cermat orang-orang yang berbicara melalui televisi atau radio, baik tokoh pemimpin atau kaum selebriti yang diwawancarai maupun para pembaca berita atau wartawan yang melakukan wawancara.
Akan tetapi, dalam pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat, huruf e juga digunakan untuk keperluan yang lain. Maksud saya bukan untuk diucapkan baik sebagai e (lemah) maupun sebagai é (tajam). Perhatian kata-kata yang sering kita jumpai seperti amien, alamien, ad-dien, dll. Dalam kata-kata itu, e walaupun ditulis, tidak dibunyikan baik sebagai e (lemah) maupun sebagai é (tajam). Fungsinya untuk memperpanjang suara huruf i yang tercantum sebelumnya. Huruf e untuk memperpanjang bunyi huruf i, juga sering kita jumpai dalam penulisan nama seperti Éddie, Jatie, Wennie, dll.
Karena pemakaian huruf e yang memperpanjang huruf i itu tidak terdapat dalam aturan EYD, sebenarnya pemakaiannya adalah ilegal. Namun, sampai sekarang tak pernah hal itu disinggung oléh para pakar EYD. Mungkin keberadaannya di luar pengamatan para pakar itu sehingga tidak pernah dipersoalkan. Namun, karena pemakaiannya cukup banyak dan dianggap sudah biasa, kenyataan bahwa para pakar EYD tidak pernah mempersoalkannya itu, menimbulkan tanda tanya. Dalam penulisan nama diri, bisa dianggap sebagai mempergunakan keleluasaan mengeja nama semau sendiri, tetapi dalam kata-kata seperti amien, ad-dien, dll., seharusnya menimbulkan kesadaran untuk mengaturnya.
Tidak adanya perhatian terhadap kata-kata demikian yang kebanyakan berasal dari bahasa Arab, sejalan dengan kebijakan para pakar EYD yang menghilangkan tanda-tanda baca untuk kata-kata yang berasal dari bahasa Arab seperti ` (hamzah), sehingga kata Jum`at, menurut EYD harus ditulis Jumat, kata al-Qur-an harus ditulis Alquran, tela`ah harus ditulis telaah, dll. Para komandan EYD yang bukan pemeluk agama Islam kurang atau tidak menaruh minat untuk memberikan tempat bagi hal itu karena mereka tidak tahu bahwa mengucapkan kata-kata bahasa Arab dari Alquran harus sedekat mungkin dengan aslinya, sehingga dalam penulisannya dengan huruf Latin memerlukan tanda-tanda yang khusus. Vokal yang harus diucapkan panjang misalnya, tidak diatur dalam EYD, padahal vokal panjang itu tidak hanya terdapat dalam kata-kata yang berasal dari bahasa Arab .Misalnya kata-kata keluhan yang panjang bunyinya seperti aduh, atau teriakan panjang seperti bangsat!, biasanya ditulis dengan menaruh vokal u dan a beberapa buah, menjadi aduuuuh, dan bangsaaaat. Maka kata amien juga kadang-kadang kita lihat ditulis dengan amiiiin.
Akan tetapi, kita juga menulis kata taat, saat, diit, dll., yang vokalnya tidak dibaca panjang, melainkan dibaca sebagai dua a dan dua i. Dengan kata lain, kalau dua vokal ditulis berderet maka harus dibaca sebagai dua vokal, baru kalau ditulis lebih dari dua dibaca panjang. Namun anggapan itu barulah asumsi, karena dalam EYD tidak diatur. Padahal ada masalah juga karena dalam bahasa Jawa misalnya ada vokal yang diucapkan pendek dan ada yang diucapkan panjang seperti o dan e. Vokal o pendek cenderung ditulis oleh orang Jawa dengan a sesuai dengan ejaan hanacaraka sehingga Purbotjaroko ditulis Purbatjaraka, Solo ditulis Sala, Surokarto ditulis Surakarta, dll. Presiden Sukarno pernah mengkritik penulisan kota Solo, karena o di situ dibaca pendek, jadi harus ditulis Sala, katanya. Akan tetapi dalam bahasa Indonésia tidak ada vokal yang panjang atau pendek, kecuali dalam situasi tertentu seperti orang mengeluh, memaki, atau berteriak sehingga kalau ditulis Sala tidak akan dibaca Solo. Prof. Purbotjaroko yang menuliskan namanya dengan a (Purbatjaraka), sekarang disebut orang sebagai Prof. Purbacaraka, Yogyakarta tidak diucapkan sebagai Yogyokerto, Surabaya tidak diucapkan Suroboyo, dll. Meskipun demikian, masih ada orang Jawa yang menulis kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa atau nama orang Jawa dalam bahasa Indonesia masih membedakan o panjang dan o pendek. Hal itu hanya akan menimbulkan salah baca oleh orang-orang bukan Jawa.
Pengaruh bahasa Jawa (dan Sunda serta Bali) juga tampak dalam penghilangan huruf e (lemah) dalam kata-kata yang juga terdapat dalam bahasa Jawa, Sunda, atau Bali, yaitu huruf e yang terletak antara konsonan d dan t dengan konsonan r seperti kata-kata pancaindera, sastera, putera, sutera, isteri, dll. Dalam bahasa Melayu, kata-kata itu ditulis dengan menaruh huruf e di antara huruf d atau t dengan huruf r. Akan tetapi dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali kata-kata itu ditulis tanpa huruf e sehingga ditulis pancaindra, sastra, putra, sutra, istri, dll. Meskipun sama-sama menggunakan EYD, dalam bahasa Malaysia ejaan Melayu masih terus dipergunakan, artinya penulisan kata-kata tersebut dan semacamnya tetap memakai huruf e.
Saya sendiri berpendapat penggunaan huruf e dalam kata-kata seperti itu harus terus dipertahankan karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa Jawa, Sunda, ataupun Bali. Lagi pula dalam penulisan kata-kata lain yang sejenis tetapi tidak terdapat dalam bahasa Jawa, Sunda, atau Bali, sekarang pun kita masih mempertahankan digunakannya huruf e itu, misalnya pada kata-kata sejahtera, bahtera, dll.
Kita harus konsisten dalam cara kita menuliskan kata-kata dalam bahasa kita.***
Penulis, budayawan.
Opini Pikiran Rakyat 11 Desember 2010