Oce Madril
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Dalam setiap refleksi hari antikorupsi, kita sering bertanya apakah Indonesia sudah bebas dari korupsi? Jawabannya jelas belum. Senyatanya, bangsa ini memang belum bebas dari korupsi. Karena hingga saat ini, Indonesia masih menyisakan catatan buruk korupsi. Masih maraknya korupsi di negeri ini tergambar dari sekian banyak hasil penelitian dan survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset, baik nasional maupun internasional.
Survei Transparency International (TI), misalnya, menyatakan selama kurun waktu 15 tahun berturut-turut, sejak 1995 hingga 2010, Indonesia masih menempati posisi di jajaran negara terkorup di dunia. Demikian juga di Asia, dalam survei tahun 2010 Political Economic Risk and Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Dalam setiap refleksi hari antikorupsi, kita sering bertanya apakah Indonesia sudah bebas dari korupsi? Jawabannya jelas belum. Senyatanya, bangsa ini memang belum bebas dari korupsi. Karena hingga saat ini, Indonesia masih menyisakan catatan buruk korupsi. Masih maraknya korupsi di negeri ini tergambar dari sekian banyak hasil penelitian dan survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset, baik nasional maupun internasional.
Dalam survei tersebut, indeks korupsi Indonesia mencapai 9,07 dari skala 10 yang ditetapkan survei. Angka ini lebih besar dari penilaian tahun 2009 lalu, yakni pada angka 8,32. Survei yang melibatkan 2.174 orang eksekutif tingkat menengah dan senior di Asia, Australia, dan Amerika Serikat ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik, birokrasi, dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya serta dampaknya terhadap iklim investasi.
Terkhusus untuk lembaga peradilan, survei PERC sampai tahun ini, masih menempatkan institusi peradilan Indonesia sebagai lembaga peradilan terkorup di Asia. Birokrasi pun mengalami nasib serupa. Masih berdasarkan survei PERC, tahun 2010 kinerja birokrasi Indonesia mendapat predikat terburuk nomor dua di Asia setelah India atau peringkat satu di ASEAN dalam hal efisiensi pelayanan masyarakat dan iklim investasi asing. Berbagai hasil riset domestik pun menyatakan bahwa tingkat inisiatif meminta atau menerima suap masih tinggi di birokrasi, terutama di lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pelayanan publik dan perizinan.
Koruptor kian bebas
Pasca Reformasi, korupsi bukannya berkurang, malah cenderung tumbuh subur, terbuka, dan kian bebas. Para pelakunya tidak hanya dimonopoli para eksekutif, tetapi juga legislatif, yudikatif, dan pelaku usaha. Korupsi tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah.
Hasil kajian Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM mengonfirmasi hal tersebut. Catatan Trend Corruption Report yang dirilis Pukat korupsi FH UGM dari tahun 2007 hingga semester I tahun 2010 menemukan bahwa terjadi persebaran aktor korupsi hampir di semua tingkatan pemerintahan dan kalangan swasta. Jika diakumulasi, dari tahun 2007 hingga 2010, aktor korupsi didominasi oleh kalangan legislatif daerah (DPRD), yakni sekitar seribu orang, kemudian kalangan eksekutif daerah (gubernur, bupati, atau wali kota) 175 orang, dan kalangan swasta yang merupakan rekanan proyek pemerintah, yakni 95 orang. Data tersebut menggambarkan koruptor kian bebas bersekongkol untuk menggerogoti uang rakyat.
Ironisnya, proses hukum justru menjauhi koruptor. Berdasarkan pemantauan ICW, selama kurun waktu 2005 hingga tahun 2010, terdapat 978 terdakwa kasus korupsi atau 68,92 persen dari seluruh perkara korupsi divonis bebas oleh pengadilan umum, dari tingkat pertama hingga kasasi. Sedangkan sisanya dikenai hukuman yang ringan, bahkan tidak sedikit yang hanya dikenai hukuman percobaan. Di peradilan pun koruptor kian bebas. Kondisi ini diperparah dengan pemberian remisi (pengurangan masa hukuman) kepada koruptor. Sehingga penjara tak lagi menjadi efek jera bagi koruptor, tapi menjadi surganya koruptor.
Saat ini, arah pemberantasan korupsi menuju masa sangat mengkhawatirkan. Buktinya, adanya upaya yang masif untuk melemahkan institusi pemberantas korupsi, seperti yang dialami oleh KPK dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas). Beragam cara dan upaya sistematis, untuk mengerdilkan sepak terjang kedua institusi di atas, dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan eksisnya pemberantasan korupsi. Mulai dari rekayasa kasus, ancaman dari politisi Senayan, dan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Parahnya, pemerintah yang seharusnya membentengi kedua institusi tersebut, justru tidak memberikan komitmen nyata untuk menyelamatkannya. Sampai saat ini, tidak ada tindakan nyata dari presiden dan DPR untuk mengamankan KPK dan Satgas dari serangan jahat para koruptor. Alih-alih menyelamatkan, DPR malah semakin memperburuk keadaan dengan menghambat berbagai kinerja KPK dan Satgas. Absennya dukungan politik inilah yang membuat koruptor kian bebas dalam melakukan serangan balik terhadap institusi pemberantas korupsi.
Komitmen politik
Jon ST Quah, dalam bukunya Curbing Corruption in Asia (2003), menyatakan betapa pentingnya komitmen politik dalam pemberantasan korupsi. Membandingkan strategi pemberantasan korupsi di enam negara di Asia, Mongolia, India, Filipina, Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan, Quah menyimpulkan bahwa political will dan political action dari pimpinan politik (presiden, kabinet dan anggota parlemen) merupakan prasyarat yang paling penting untuk kesuksesan strategi pemberantasan korupsi. Undang-undang antikorupsi dan badan khusus antikorupsi tidaklah cukup menjamin efektivitas pemberantasan korupsi.
Quah mencontohkan kegagalan pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Presiden Corazon Aquino di Filipina. Walaupun Filipina pada waktu itu memiliki seperangkat UU dan badan antikorupsi, upaya pemberantasan korupsi tidak efektif karena absennya komitmen politik dari pemimpin-pemimpin politik pada waktu itu. Corazon Aquino memang lebih reformis daripada presiden sebelumnya, Ferdinant Marcos, namun karena kurangnya komitmen politik dan keberanian untuk menghukum orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaannya, ia pun gagal memberantas korupsi. Pengalaman Filipina tersebut patut menjadi pelajaran. Karena saat ini, publik sedang galau melihat komitmen elite politik negeri ini. Maraknya mafia hukum dan absennya sikap tegas pemimpin bangsa, bisa dengan mudah membunuh setiap upaya penegakan hukum antikorupsi. Hal ini seharusnya menjadi pengingat bagi seluruh gerakan antikorupsi.
Opini Republika 10 Desember 2010