Oleh INDRA FIRMANSYAH
Menarik sekali artikel-artikel yang dimuat di rubrik Selisik "Pikiran Rakyat" edisi Senin 6 Desember 2010, yang membahas tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung. Di era otonomi daerah (otda), peningkatan PAD adalah keniscayaan sekaligus menjadi tugas berat bagi pemerintah daerah (pemda). Bagaimana tidak, beratnya tuntutan peningkatan PAD juga dirasakan pemda kaya raya seperti DKI Jakarta sehingga sempat berencana memungut "pajak warteg" walaupun rencana itu dibatalkan oleh gubernurnya sendiri.
Salah satu konsekuensi diberlakukannya otda adalah sistem dan mekanisme pengelolaan pemda dipastikan mengalami perubahan yang sangat mendasar sehingga otda benar-benar diterapkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat, bukan lahan baru dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemda justru harus dapat memenuhi tuntutan masyarakat untuk menciptakan good government governance (GGG) atau pengelolaan pemerintahan yang baik.
Fakta mengatakan, kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah masih sangat kecil dan struktur pendapatannya masih bergantung pada pemerintah pusat. Di kawasan Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat), Kota Bandung masih unggul jika dibandingkan dengan kabupaten/kota di sekitarnya. Kontribusi PAD Kota Bandung berada di kisaran 20 persen dari total pendapatan, sedangkan yang lain di kisaran belasan persen saja. Sebenarnya, tidak ada ukuran yang baku berapa persen kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah yang dapat dikategorikan baik.
Lebih jauh, PAD sering kali dijadikan indikator keberhasilan pemda. Semakin tinggi capaian PAD, semakin sukses pemda yang bersangkutan. Padahal, kenyataannya tidaklah sesederhana itu karena logika tersebut akan mendorong pemda "membabi buta" meningkatkan PAD-nya yang dapat menjadi tambahan beban masyarakat. Kondisi itu membuat pemda berada pada kondisi "simalakama". Jika dibiarkan, dianggap tidak berprestasi. Jika terlalu agresif, dianggap membebani masya-rakat. Itu karena banyak pemda melakukan pilihan instan dalam meningkatkan PAD-nya, misalnya menaikkan tarif pajak/retribusi daerah atau menggali sumber baru yang mengada-ada seperti di DKI Jakarta dengan rencana pajak wartegnya.
Menurut para pakar, paling tidak ada delapan variabel yang memengaruhi PAD, yaitu kondisi awal suatu daerah, ekstensifikasi dan intensifikasi, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita riil, pertumbuhan penduduk, tingkat inflasi, penyesuaian tarif, pembangunan baru dan sumber pendapatan baru. Dari delapan variabel, ada empat variabel yang dapat diukur secara kuantitatif, yaitu PDRB per kapita riil, pertumbuhan penduduk, tingkat inflasi dan penyesuaian tarif.
Pertumbuhan penduduk dapat meningkatkan PAD, tetapi di sisi lain juga akan meningkatkan beban pemda. Inflasi akan menimbulkan peningkatan semu karena nilai riil uang yang diraih menurun dengan adanya inflasi. Penyesuaian tarif dapat meningkatkan PAD, tetapi penyesuaian tarif akan membebani masyarakat. Tanpa menafikan pengaruh variabel yang lain, satu-satunya variabel yang dapat diandalkan dan dapat diintervensi pemda dalam rangka meningkatkan PAD adalah PDRB per kapita riil.
Sejak bergulirnya otda, PDRB menjadi lebih populer karena menjadi salah satu indikator keberhasilan desentralisasi fiskal. PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan seluruh unit produksi di wilayah atau daerah pada suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Sementara PDRB per kapita adalah PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun, yang diasumsikan sebagai jumlah penduduk rata-rata pada tahun yang bersangkutan. Untuk mendapatkan angka PDRB per kapita riil digunakan PDRB atas dasar harga konstan karena harga konstan mencerminkan daya beli masyarakat yang sesungguhnya tanpa dipengaruhi tingkat inflasi.
Digunakan asumsi, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya, sekaligus mencerminkan kemampuan membayar dan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut.
Atas dasar pemikiran itu, pada 2008, penulis pernah melakukan riset tentang pengaruh PDRB per kapita riil terhadap PAD, yang hasilnya menunjukkan nilai koefisien determinasi 94,8 persen, artinya 94,8 persen variasi nilai yang ada PAD disebabkan karena ada perbedaan dalam nilai PDRB per kapita riil. Harus diakui, riset ini memang tidak luput dari kelemahan karena hanya dilakukan dengan pendekatan matematis, tetapi paling tidak dapat menjadi bahan pemikiran pemda untuk meningkatkan PAD dengan cara lebih manusiawi. Mengejar target PAD memang tidak salah, tetapi harus didahului dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan kemampuan membayar terhadap segala pungutan yang diterapkan pemerintah.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, memprioritaskan program-program pemberdayaan masyarakat yang dapat meningkatkan keterampilan dan kemandirian masyarakat. Kedua, meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat, dengan cara memperluas kesempatan belajar masyarakat. Ketiga, menarik investor, agar mau menanamkan modalnya. Tiga cara tersebut pada akhirnya bermuara pada peningkatan PDRB per kapita riil yang kemudian dapat meningkatkan PAD.
Jadi, sejahterakanlah rakyat! PAD mengikuti. Demikian, mudah-mudah artikel ini bisa menjadi sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi semua pihak, terutama pemda. Wallahualam bishawab.***
Penulis, Staf Pengajar pada Program Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk) Universitas Kristen Maranatha Bandung, anggota Ikatan Akuntan Indonesia Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 11 Desember 2010