Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan.
Bahkan bisa jadi akan berbalik arah menjadi perang melawan aktivis antikorupsi dan melindungi para pelaku korupsi. KPK, Kejaksaan dan Polri sempat kehilangan orientasi dan visi dalam menghadapi para koruptor karena selalu dilakukan oleh pemegang kuasa politik, ekonomi maupun simbiosis antara keduanya.
Korupsi yang dilakukan oleh pemegang kuasa dalam masyarakat, baik pemerintah (public power) maupun kuasa ekonomi (economic power) atau sindikasi keduanya yang umumnya dalam bentuk penyuapan (bribery) maupun penerimaan komisi secara tidak sah (kickbacks) memiliki dampak yang sangat luas.
Hal itu disebabkan karena sumber kekuasaan tersebut pada dasarnya diperoleh dari masyarakat sehingga penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan korupsi akan berdampak meluas dan menimbulkan kerusakan sosial.
Kendala-kendala yang timbul dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi utamanya bisa bersumber dari status pelaku sehingga tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai offences beyond the reach of the law. Tipologi kejahatan korupsi ini dinamakan sebagai invisible crime (kejahatan tak tersentuh), yang menunjukkan adanya prosedur yang sulit dalam hal pembuktian dan tingginya tingkat profesionalitas pelaku.
Kepolisian dan Kejaksaan di masa kepemimpinan sebelumnya yang seharusnya berada di belakang KPK untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi, saat itu, justru terkesan menjadi lawan KPK dan aktivis antikorupsi.
Perlu disadari kembali bahwa korupsi pada hakikatnya merupakan suatu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang memerlukan extra ordinary enforcement (penegakan hukum secara luar biasa). Korupsi dalam negara merupakan ancaman eksistensial terhadap negara itu sendiri yang dalam bahasa Thomas Aquinas harus mewujud menjadi masyarakat yang sempurna (societas perfecta).
Kegagalan negeri ini dalam menuntaskan langkah-langkah pemberantasan korupsi yang terlihat masih jauh panggang dari api justru akan membenarkan apa yang pada abad V SM pernah dikritik oleh kaum sofis. Protagoras, salah seorang sofis yang pandangannya diikuti oleh kaum sofis yang lain, menyatakan seharusnya manusia sebagai warga polis yang menentukan apa yang adil. Dalam kenyataannya, undang-undang hanya dibentuk oleh orang-orang yang berkuasa.
Memang pada hakikatnya maksud terbentuknya hukum adalah untuk mengendalikan orang yang kuat tetapi akhirnya orang yang kuat selalu menang. Itu berarti bahwa kesewenang-wenangan yang justru menjadi sumber hukum. Dalam bahasa filsafat Yunani, sumber hukum bukanlah logos (akal budi), melainkan alam, yakni kekuatan dan kekerasan.
Jika hal itu terjadi, hukum tidak dapat dianggap normatif lagi karena dalam kondisi tersebut telah terjadi disorientasi dalam mematuhi norma-norma. Dalam kondisi demikian, sudah dibuka kemungkinan timbulnya anarki (keadaan tanpa pemerintah) dan nihilisme (ketiadaan nilai-nilai sebagai panutan).
Anarkisme
Situasi anarkisme itulah yang ditunggu oleh para pelaku korupsi karena akan memudahkannya menghilangkan jejak kejahatan. Di era kepemimpinan yang baru, Presiden sudah mengimbau agar trio penegak hukum (KPK, Kejaksaan dan Polri) membangun suatu sinergi dalam menuntaskan pemberantasan korupsi. Namun, sinergi dalam pemberantasan korupsi jangan sampai dimaknai kooptasi langkah progresif KPK yang selama ini menjadi “sisa” harapan rakyat terhadap tampilnya simbol perlawanan terhadap kejahatan kekuasaan yang mewujud dalam tindak pidana korupsi.
Michael Focault melalui risetnya tentang hukum sebagai sebuah diskursus mengingatkan bahwa setiap wacana hukum tidak dapat dilepaskan dari beroperasinya kekuasaan tertentu (power), pengetahuan (knowledge) dan relasi sosial antara keduanya, yang menghasilkan apa yang disebut kebenaran (truth) dan keadilan (justice).
Dalam perspektif relasi tersebut, kebenaran tidak lagi merupakan produk objektivitas penyelidikan dan penyidikan, akan tetapi produk dari sistem kekuasaan. Ada mekanisme kekuasaan tertentu yang beroperasi di balik penyelidikan dan penyidikan, yang mendefinisikan apa yang disebut “kebenaran”, serta bagaimana “kebenaran” itu dikomunikasikan di dalam berbagai media komunikasi hukum.
Hukum berfungsi sebagai sarana organisasi kekuasaan politis dan sebagai stabilisasi ekspektasi perilaku dengan menjamin relasi-relasi simetris para subjeknya. Dalam fungsi paradoksal tersebut, Habermas menyatakan bahwa seharusnya hukum mampu menjalankan sebuah fungsi integrasi sosial.
Penuntasan sejumlah agenda pemberantasan korupsi yang tampaknya menjadi komitmen dari trio penegak hukum di awal kepemimpinan mereka dapat membawa hukum menjadi sebuah integrasi sosial, karena hukum akan sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat. Rencana Pemerintah untuk membatasi subsidi BBM di awal 2011 karena semakin menipisnya anggaran Negara jika ditempatkan dalam pandangan Charles Sanders Peirce (1839-1914) merupakan sebuah pemalsuan tanda.
Negara sebenarnya telah gagal dalam menuntaskan agenda pemberantasan korupsi sehingga uang Negara yang terlanjut masuk ke kantong para koruptor dengan jumlah triliunan rupiah gagal dikembalikan ke kas Negara. Namun, Negara memilih mengorbankan kepentingan pembayar pajak yang lebih besar agar beralih ke BBM nonsubsidi dengan alasan untuk kepentingan rakyat. Bukankah dengan tarif pajak progresif yang diterapkan saat ini asalkan tidak dikorup oleh para mafioso pajak sebenarnya sudah merupakan kontribusi yang memadai untuk tetap mempertahankan subsidi BBM pada tingkat seperti saat ini sambil memaksa trio penegak hukum untuk menuntaskan sejumlah agenda korupsi?
Para penguasa justru perlu berbenah untuk mengefisienkan pemakaian anggaran rakyat dengan tidak pelesiran ke luar negeri atas alasan studi banding, menggunakan mobil sederhana yang irit BBM, menjaga amanah dengan tidak memperkaya diri dan seterusnya agar konsep hemat anggaran Negara tidak hanya diterapkan untuk rakyat di bawah, sementara sang penguasa justru menghambur-hamburkannya dengan tak jarang juga mengatasnamakan “kepentingan Negara.” (JIBI/Harian Jogja)
- Oleh : W Riawan Tjandra Direktur Pascasarjana UAJY
Opini Solo Pos 10 Desember 2010