Selama ini, disadari atau tidak, sebenarnya negara tidak pernah menghargai materi dan prinsip penegakan hak sosial-ekonomi-budaya. Justru di era neoliberalisme, pemerintahan transisi dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono semakin menelantarkan hak sosial-ekonomi-budaya (ekososbud) rakyat melalui berbagai kebijakan ekonomi-politik yang merugikan.
Dua konvensi
Perdebatan soal sejauh mana hak-hak ekososbud bisa disebut sebagai hak asasi sudah berlangsung sejak awal perumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Negara-negara liberal, yang umumnya kapitalis, tidak menyetujui pendapat bahwa hak-hak ekososbud adalah hak asasi. Di lain pihak, negara-negara sosialis memperjuangkannya.
Akibatnya, kini ada dua konvensi atau perjanjian terpisah tentang kedua jenis hak itu, yaitu Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (PIHSP) dan Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (PIHESB). Dalam PIHESB tercantum antara lain hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas kehidupan yang layak, yang mencakup hak atas sandang, pangan, dan papan yang memadai.
Ada dua keberatan atas asasinya hak-hak ekososbud. Pertama, hak-hak itu tidak langsung menyatakan adanya kebebasan manusia tertentu, dalam pengandaian, manusia itu dilahirkan bebas. Dalam hal ini jelas kelompok itu mengukur kemanusiaan hanya pada tingkat kebebasannya. Pengandaian filosofis itu lemah karena mereduksi kemanusiaan pada kebebasan saja. Selain itu, kebebasan yang dipahami adalah kebebasan ideal, bukan kebebasan kontekstual.
Kedua, hak-hak ekososbud itu bukan hak yang langsung bisa dijamin pemerintah. Diperlukan suatu kewajiban positif atau inisiatif nyata guna memenuhi hak itu, dari pihak pemerintah. Hal itu berbeda dengan hak-hak sipil-politik (sipol) yang hanya mengandaikan kewajiban negatif, atau sekadar jaminan perlindungan. Dalam kacamata kelompok ini, kewajiban positif ini berlebihan. Belum tentu semua pemerintah mampu memenuhinya. Menurut mereka, hak-hak ekososbud layak disebut sebagai cita-cita yang amat penting, tetapi bukan hak asasi. Keberatan ini lebih gampang dimengerti, tetapi menyembunyikan adanya bahaya yang mungkin ditimbulkan.
Kelompok penentang sifat asasinya hak-hak ekososbud dipelopori negara-negara liberal yang biasanya memuja kebebasan, termasuk kebebasan di pasar. Ada dua pengandaian yang melingkari pendapat itu. Pertama, seperti telah disebut, karena semua orang dilahirkan bebas, semua orang sederajat dan sama kuat. Kedua, hak sipol adalah hak primer, sedangkan hak-hak ekososbud sekunder, yang akan terpenuhi jika hak-hak sipol telah terjamin dengan baik.
Dalam konteks sosio-ekonomis, pandangan itu sulit dipertanggungjawabkan. Dalam kenyataan, tiap orang dilahirkan lalu bertumbuh dengan kemampuan beragam. Kemampuan ekonomi adalah salah satu perbedaan mencolok. Kesamaan dan kesederajatan tiap orang hanya tampak sebagai utopia yang indah, yang sering dijadikan kedok kelompok lebih kuat untuk mengeksplorasi kebebasan mereka seluas mungkin. Tidak jarang, eksplorasi itu bisa berarti tereksploitasinya kebebasan kelompok lemah.
Dalam kenyataan, pandangan tentang sifat sekundernya hak ekososbud sulit dipahami. Ketidakmampuan korban gusuran memperjuangkan hak-haknya adalah contoh bagaimana hak sipol tidak bisa terwujud tanpa sarana memungkinkan. Dengan kata lain, tanpa ada biaya cukup, hak-hak sipol yang dijamin pemerintah tidak bermakna. Pada skala tertentu, hak sipol mengandaikan terpenuhinya hak-hak ekososbud.
Lebih diprioritaskannya hak-hak sipol menjadi alasan bagus bagi ketidaksediaan pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya. Dalam situasi seperti itu bisa dimengerti banyak orang akan bersedia menjadi aparat pemerintah, bukan untuk mengabdikan diri bagi kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan sendiri. Jelas jabatan itu secara sosial dan ekonomis menggiurkan, lebih-lebih karena tidak ada sanksi jelas bila tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya.
Perlu jaminan
Dari alur pemikiran itu, tampak arti penting hak-hak ekososbud. Karena itu, hak-hak itu perlu dijamin. Masalahnya, bagaimana menjaminnya? UUD 1945 sudah menjamin beberapa hak ekososbud pada Pasal 31 sampai 34, tetapi masih amat minim. Beberapa UU juga sudah mulai menjabarkan bidang-bidang ekososbud, seperti UU Sisdiknas, UU Perumahan, UU Perpajakan, termasuk UU HAM. Hanya saja undang-undang itu masih dikritik kurang memperhatikan kepentingan rakyat kebanyakan. Lihat saja, di Indonesia ini persentase orang miskin absolut tidak banyak berubah. Ditambah masih terseok-seoknya dinamika hukum Indonesia, nasib rakyat kecil kian mengenaskan karena tidak ada perlindungan mencukupi bagi terpenuhinya hak-hak mereka.
Oleh karena itu, dalam gelombang globalisasi yang akan menggulung orang-orang kecil tanpa perlindungan, langkah nyata diperlukan untuk menjamin hak-hak ekososbud. Apalagi jika ingin menghidupkan kembali semangat reformasi yang mulai padam, prioritas pada jaminan hak-hak ekososbud ini perlu diperhatikan.
Oleh Joko Riyanto
Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
Opini Media Indonesia 10 Desember 2010