Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) belum lama ini merampungkan hajat Muktamar V ICMI tahun 2010 di Bogor dengan terpilihnya Ilham Habibie sebagai ketua presidium komunitas intelektual atau cendekiawan tersebut.
Presidium terpilih lainnya adalah Nanat Fatah Nasir, Marwah Daud, Priyo Budi Santoso dan Sugiharto.
Muktamar itu sendiri bersamaan dengan peringatan ulang tahun ke-20 ICMI sehingga menjadi momentum untuk merenungkan dan mempertanyakan kembali peran para cendekiawan muslim terhadap masa depan bangsa yang kian hari kian dilanda ketidakpastian.Presidium terpilih lainnya adalah Nanat Fatah Nasir, Marwah Daud, Priyo Budi Santoso dan Sugiharto.
Pertanyaan ICMI mau ke mana pun tampaknya menjadi relevan disampaikan mengingat keberadaan organisasi cendekiawan muslim ini dalam konteks kekinian tak seheboh pada saat berdiri hingga 1999. Daya magnetnya juga tak sekuat saat organisasi ini masih dipimpin BJ Habibie. Sulit disangkal, bahwa figur BJ Habibie merupakan ikon ICMI. Jargon-jargon yang pernah akrab dari Habibie semisal pemberdayaan masyarakat madani, demokratisasi, desentralisasi, ekonomi kerakyatan, ekonomi syariah dan pemberdayaan umat menjadi agenda sentral pula bagi ICMI. Tetapi kemudian kiprah ICMI mulai merosot seiring dengan kejatuhan Habibie dari tampuk kekuasaan pada 1999.
Membicarakan arti cendekiawan menghadapkan kita pada beragam penafsiran yang cukup mendasar dan aktual. Itulah sebabnya, kita terkadang sulit untuk mengartikan per definisi beragam arti dan istilah cendekiawan karena seperti dikatakan Mangunwijaya, istilah dan pengertian tersebut selalu mengandung tafsir tertentu. Mengambil contoh, Julien Benda mengartikan cendekiawan sebagai seseorang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika dan bukan hendak mencari tujuan-tujuan praktis. Mereka adalah para moralis yang dalam sikap pandang dan kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Mereka itu para ilmuwan, filsuf, seniman, ahli metafisika yang menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu (bukan dalam penerapan hasil-hasilnya) seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Rene Descartes, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltaire dan Montesquieu.
Sedangkan Edward W Said mengartikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi kepada publik. Ia mencontohkan Bertrand Russel, Jean Paul Sartre, Albert Camus dan Noam Chomsky.
Kita pernah memiliki Soedjatmoko atau Nurcholish Madjid.
Barangkali kita bisa menyepakati bahwa seorang intelektual atau cendekiawan adalah mereka yang memiliki karakteristik — untuk memakai kata-kata Emil Salim — “tanggung jawab yang bertumpu pada hati nurani”.
Di tengah semakin luasnya wilayah permasalahan rakyat dan umat yang sangat kompleks, peranan kaum cendekiawan sangat diperlukan dalam mengolah kepentingan, aspirasi dan dinamika kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, kelompok cendekiawan dapat menawarkan gagasan serta memiliki komitmen moral yang sangat kuat untuk melibatkan diri dalam merespons berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat dan negara dengan tetap berpegang prinsip dan sikap yang sifatnya terbuka, kritis, objektif, kreatif dan analitis.
Tentu saja, tugas yang diemban dan dilakukan oleh cendekiawan seperti ICMI dan lainnya adalah menciptakan infrastruktur kekuatan masyarakat, memberdayakan dan menumbuhkan kekuatan rakyat. Untuk melaksanakan tugas tersebut, kelompok cendekiawan senantiasa diharapkan dapat menempatkan diri pada posisi strategis.
Artinya, posisinya harus mandiri, bebas berpikir, berani dan objektif dalam menyampaikan gagasan demi untuk membela kebenaran serta tidak terikat pada suatu komunitas sosial politik tertentu. Dengan posisi seperti itu, mereka benar-benar dapat menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, memberi teladan dan menyampaikan kepada masyarakat tentang kebaikan serta cara untuk menciptakan suatu kehidupan yang aman dan damai, melindungi yang lemah, memerangi segala bentuk kejahatan dan penyakit masyarakat.
Pengkhianatan intelektual
Namun sayangnya, dalam aktualitasnya ternyata tidak sedikit pula mereka yang sebelumnya mengklaim dirinya sebagai kelompok cendekiawan melibatkan dirinya dalam berbagai bentuk kegiatan yang oleh Julien Benda dinilai sebagai suatu pengkhianatan intelektual. Dalam hal ini, mereka telah melakukan pelanggaran terhadap tugas mulia mereka demi untuk memburu popularitas, ambisi dan kepentingan materi. Bahkan mereka dimanfaatkan oleh penguasa untuk memanipulasi, merekayasa dan memobilisasi dukungan masyarakat demi untuk kepentingan politik penguasa.
Akibatnya, posisi masyarakat menjadi tersubordinasi oleh negara, berada dalam posisi yang tidak berdaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman negara yang telah melumpuhkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat. Fenomena seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu tantangan berat yang dihadapi oleh kaum cendekiawan. Tantangan dalam upaya membangun suatu model masyarakat yang mandiri, independen, dan berdiri tegak di atas prinsip egalitarianisme dan inklusivisme yang bersifat universal untuk mereproduksi nilai-nilai demokrasi.
Seiring dengan tingginya antusiasme yang ditunjukkan oleh semua elemen masyarakat untuk menegakkan masyarakat madani yang kuat, maka banyak orang berharap terhadap ICMI. Sebagai organisasi yang mandiri, transparan, prodemokrasi, serta bergerak di luar orbit negara atau pemerintahan, ICMI dapat memainkan peran korektif terhadap perjalanan kehidupan bangsa di bawah kendali negara dan bahkan kalau perlu memosisikan dirinya berhadapan dengan hegemoni negara atau sistem politik yang represif dan otoriter (civil society vis a vis state) demi untuk terwujudnya masyarakat madani. Masyarakat madani yaitu suatu model masyarakat yang sering dicirikan antara lain memiliki kesadaran hukum yang tinggi, sehingga seluruh sistem hukum dan perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan bertujuan untuk menjamin hak-hak rakyat tanpa memandang status dan latar belakang etnis, agama atau kelompok.
Selain itu, masyarakat madani juga merupakan masyarakat yang mandiri, terbuka, modern, menjunjung tinggi HAM, kesetaraan, kemajemukan dan demokratis. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan politik dan normatif prinsip demokrasi seperti bebas dari kekerasan dan tindakan sewenang-wenang negara, menjamin rasa keadilan, persamaan, keamanan materil dan membebaskan rakyat dari segala bentuk ketertinggalan pembangunan ekonomi dan sosial maka posisi civil society harus diperkuat.
Akhirnya, masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kesejahteraan, perdamaian, kebersamaan, kesetaraan antara hak dan kewajiban, kebebasan yang bertanggung jawab, rasa keadilan, menenggang adanya perbedaan serta mendorong terbukanya wilayah publik sebagai sarana untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan rakyat. -
Oleh : Gunoto Saparie Fungsionaris ICMI Orwil Jateng.
Opini Solo Pos 10 Desember 2010