10 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Telanjur Berharap dari Blok Cepu

Telanjur Berharap dari Blok Cepu

DALAM kumpulan cerita pendeknya berjudul ’’Cerita dari Blora’’, Pramoedya Ananta Toer bertutur soal kesengsaraan rakyat di daerah itu pada masa penjajahan dan sesudah kemerdekaan. Pram menunjukkan betapa perubahan yang terjadi tidak membuat kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik. Kemerdekaan hanya menciptakan perubahan bentuk kesengsaraan. 

Buku ini berlatar waktu antara tahun 1945 dan 1949. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat terekam secara menarik dalam alur dan penggambaran yang lugas. Pada momen Hari Jadi Ke-261 Blora, yang tepatnya jatuh pada Sabtu (11/11), pikiran penulis melayang ke cerita-cerita karya Pram. Meskipun berusia 60 tahun lebih, tetap saja cerita ini  aktual karena pandangan visioner dan nilai-nilai universalnya. Ceritanya bisa menjadi bahan refleksi melihat kiprah pemda mengentaskan masyarakatnya dari jurang kesengsaraan dan penderitaan.


Banyak persoalan krusial yang menuntut segera diselesaikan. Paling aktual adalah pengelolaan Blok Cepu.  Apakah potensi minyak dan gas bumi yang disebut-sebut mencapai 7,7 triliun kaki kubik atau setara 650 juta barel akan memberikan kesejahteraan pada masyarakat Blora?

Sampai  detik ini minyak dan gas bumi yang terkandung dalam perut bumi Blora  belum memberi sumbangan berarti bagi masyarakat Blora. Hal ini bisa dilihat dari hasil ekspose PDRB tahun 2009 oleh BPS yang menyebutkan kontribusi migas hanya Rp 0,16 triliun (4,18%) dari PDRB sebesar Rp 3,993 triliun. PDRB Blora berada pada ranking ke-29 dari 35 kabupaten/kota di provinsi ini.

Dibandingkan dengan wilayah terdekat di sekitarnya,  posisi Blora berada pada ranking buncit. PDRB Rembang telah mencapai Rp 4,454 triliun, Grobogan Rp 5,764 triliun, Jepara Rp 8,206 triliun, Pati Rp 8,386 triliun, dan bahkan Kudus telah mencapai Rp 28,905  triliun. Padahal, Blora satu-satunya daerah di Jawa Tengah yang memiliki sumber daya alam migas.

Rendahnya kontribusi migas terhadap PDRB Blora ini selalu dijawab oleh pengelola dikarenakan produksi minyak belum  maksimal. Benarkah? Ada fakta baru yang mengemuka saat pertemuan tripartit antara LPAW Blora, Bojonegoro Institute, dan Local Government Reform Initiative (LGI) Hongaria di Hotel Grand Cepu tanggal 26 November 2010, dan penulis menjadi salah satu pesertanya.

Dikemukakan oleh perwakilan dari BP Migas bahwa Kabupaten Blora tidak akan menerima dana bagi hasil dari eksplorasi minyak bumi di Blok Cepu. Kabupaten itu hanya akan menerima dana bagi hasil dari eksplorasi gas bumi. Celakanya, eksplorasi gas biasanya dilakukan belakangan setelah eksplorasi minyak bumi.

Magnet Kuat

Andai fakta ini benar berarti kita telah lama dibohongi. Sebagai pembanding, Kabupaten Bojonegoro tahun kemarin menerima dana Rp 125 miliar dari eksplorasi Blok Cepu, sedangkan Blora tak lebih dari Rp 2 miliar. Kita berharap terlalu tinggi bahwa eksplorasi Blok Cepu akan memberi pundi-pundi luar biasa bagi Blora. Bahwa eksplorasi Blok Cepu menjadi magnet kuat menarik investor. Ternyata janji-janji itu masih kosong.

Mungkin kita perlu berkaca dari daerah-daerah lain di Indonesia yang kaya sumber daya migas, tapi belum mampu menyejahterakan rakyatnya. Misalnya Papua, provinsi dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, tapi saat ini masih sangat tertinggal dari daerah-daerah  lain di Indonesia di bidang infrastruktur, pendidikan,  kesehatan, dan keamanan.

Setali tiga uang Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh pernah menjadi penghasil minyak dan gas yang signifikan di Indonesia, tapi bertahun-tahun terlibat dalam situasi konflik. Demikian pula Riau yang kaya akan minyak adalah salah satu provinsi  dengan indeks pembangunan manusia terendah.

Maka, momentum peringatan hari jadi  merupakan saat yang tepat untuk berefleksi dan mawas diri tentang sejauhmana upaya kita dalam meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik, yakni tata kelola yang menjamin transparansi pengelolaan sumber daya alam, tata kelola yang menjamin partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan tata kelola yang melindungi hak-hak masyarakat berpolitik dan berserikat. Tentu kita  tidak berharap Blora terjebak dalam kutukan sumber daya alam berikutnya. (10)

— Sunaryo SPd, pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Blora 
Wacana Suara Merdeka 11 Desember 2010