Polemik tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka pembentukan undang-undang yang (akan) mengatur keistimewaan tersebut mudah-mudahan mengingatkan kita pada suatu masalah krusial yang selama ini tidak kita sadari, yaitu kerapuhan dari dasar pembentukan Indonesia, bangsa kita.
Rapuh karena entitas nasional ini mencakup, bahkan membawahi, puluhan entitas etnik yang sudah lama dan lebih dahulu menempati wilayah nasional. Mereka bukanlah kelompok-kelompok liar, rata-rata punya bahasa sendiri, berseni budaya relatif mapan, serta mengenal pemerintahan yang ditopang oleh seperangkat aturan hidup bersama yang dipatuhi, yang oleh Profesor Van Vollenhoven disebut adatrecht atau hukum adat.
Di antara mereka bahkan ada yang sudah tidak lagi berbudaya lisan, sudah menciptakan huruf, lalu menghasilkan khazanah buah pikiran tertulis, berupa sekaligus pengetahuan ekstragenetik dan ekstrasomatik. Ada karya tulis, disebut Serat Centhini, yang memuat aneka ragam pengetahuan, dari pembuatan makanan dan minuman, obat-obatan, peralatan, hingga kehidupan seksual. Begitu rupa sampai Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, menyebutnya The Javanese Encyclopedia.
Dengan kata lain, Indonesia, selaku bangsa, entitas nasional, berfundamen rapuh karena punya tidak hanya satu sejarah tunggal, tetapi beberapa kemungkinan sejarah pendahulu yang setiap saat bisa reaktif oleh situasi dan kondisi tertentu.
Bung Karno yang menyadari sepenuhnya kehadiran aneka ragam kelompok etnik tersebut berusaha mencari suatu dasar yang ideal dan dapat diterima untuk pembentukan bangsa yang dimimpikannya. Mengingat nama ”Indonesia” lahir dari otak ilmuwan, maka dia mencari dasar di komunitas ilmiah pula.
Dia menemukan ide pembentukan bangsa yang dipaparkan filosof Ernest Renan di Amphitheatre Sorbonne, 11 Maret 1882 pukul 14.00. Paparan ilmiah itu berjudul ”Qu’est qu’une nation?” (apakah yang dimaksudkan dengan bangsa?). Inti jawaban pertanyaan itu adalah La nation c’est la volonte d’etre ensemble (bangsa adalah tekad untuk hidup bersama).
Yang tersirat dan tersurat
Namun, setelah ide ini diambil, baik Bung Karno maupun kita semua sepeninggal dia, mengabaikan begitu saja apa yang ”tersirat” di balik apa yang ”tersurat” dari kalimat ”bangsa adalah tekad untuk hidup bersama”. Pengabaian inilah yang merupakan sebab kedua dari kerapuhan dasar pembentukan bangsa kita. Yang tersirat itu adalah bahwa pengertian ”bangsa” bukanlah suatu pengertian deskriptif. Suatu bangsa bukanlah satu fakta. Ia menggambarkan status nascendi yang permanen, abadi. Dari naturnya ia selalu in potentia, tidak pernah in actu.
Jadi, istilah ”bangsa” bukan menyatakan keadaan, tetapi suatu gerakan, suatu kemauan, suatu usaha. Berarti kita harus terus-menerus berusaha mengukuhkan—memenuhi aspirasi semua entitas etnik yang dipersatukan—berupa kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia.
Kita memang telah berbuat ke arah itu dengan melakukan usaha pembangunan. Berhubung kita abai akan apa yang tersirat di balik definisi bangsa tadi, pembangunan selama ini tidak pernah menyentuh dasar dari pembentukan bangsa. Kita anggap itu sudah terjamin. Tujuan pembangunan lalu kita arahkan untuk mengisi, menyempurnakan, kemerdekaan bangsa, yaitu ”bangunan” yang bertengger di atas dasar tadi. Inilah sebab ketiga dari kerapuhan dasar pembentukan bangsa. Rapuh karena dilupakan begitu saja oleh usaha pembangunan, padahal ia memerlukan sentuhan konstruktif yang relevan dan konsisten demi pengukuhan tekad untuk hidup bersama.
Pembangunan nasional selama ini diredusir menurut penalaran ilmu ekonomi dengan paradigma pertumbuhan dan menganut pola top-down dari atas hingga sering kali mengabaikan partisipasi dari bawah. Pertumbuhan diukur dari (kenaikan) produk nasional bruto dan belakangan dikoreksi dengan pemerataan yang diukur dengan Indeks Gini. Orang yang kehidupannya akan dimakmurkan diabstraksi dari ruang tempat dia berada. Karena pembangunan tidak berpembawaan partisipatif, ia tumbuh menjadi sejenis spectator development di mana baik orang maupun daerah tempatnya berada hanya menjadi ”penonton” belaka.
Tidak heran kalau ada gerakan lokal untuk memisah dari kesatuan nasional karena kecewa, merasa tidak lebih bahagia. Maka kita harus segera mencari suatu pendekatan baru dari pembangunan nasional yang diperlakukan sebagai suatu gerakan komunitas di mana prosesnya berupa pembelajaran partisipatif. Belajar untuk mengukuhkan dasar pembentukan bangsa dan sekaligus memakmurkan kemerdekaan yang diperjuangkan setelah bangsa ini terbentuk. Pendekatan partisipatif dari bawah ke atas hingga pembangunan berkembang menjadi participatory development.
Teori M
Mengingat Indonesia selaku bangsa punya beberapa kemungkinan sejarah, maka pembangunan nasional yang kondusif dan relevan perlu ditangani secara inter dan pluridisipliner. Berarti dalam memikirkan pembangunan yang ideal itu, kita pinjam pikiran konseptual Stephen Hawking, perlu menyusun Teori M. Ini bukan suatu teori dalam arti yang biasa. Ia berupa serumpun teori, masing-masing tepat hanya untuk menangani sebagian atau setahap situasi. Perbedaan teori yang kelihatan dalam Teori M ini dapat dianggap sebagai aspek teori mendasar yang sama.
Artinya, kita tidak perlu bersikukuh bahwa ilmu ekonomilah yang selalu menentukan gerak pembangunan. Harus diakui bahwa mungkin di satu daerah tertentu ilmu antropologi kultural atau sosiologi yang dapat menggugah local genius untuk membangun daerah setempat. Kita juga tidak perlu berkutat pada pendapatan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Sudah saatnya kita mencari ukuran lain karena tujuan pembangunan selayaknya bukan lagi kesejahteraan, tetapi kebahagiaan. Bukankah Bung Hatta—sang ekonom, pejuang, humanis, dan idealis—dahulu sering mengatakan, ”Kita ingin membangun dunia di mana setiap orang berbahagia.”
Orang sedang berkuasa hendaknya jangan melupakan sejarah. Sikap ini pasti membuat sendi dasar pembentukan bangsa menjadi semakin rapuh. Dahulu Bung Karno telah berhasil melenyapkan bukti kesejarahan nasional dengan meruntuhkan Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Kini Presiden SBY mau menggugat lagi monumen sejarah perjuangan bangsa dengan mempertanyakan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Stop. Jangan lakukan itu dengan dalih apa pun, termasuk demokrasi. Sadarilah bahwa dasar pembentukan bangsa kita yang sudah rapuh itu kini sudah dipenuhi oleh koloni rayap.
Daoed Joesoef Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-SorbonneOpini Kompas 11 Desember 2010