10 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Kepentingan Forum Demokrasi Bali

Kepentingan Forum Demokrasi Bali

FORUM Demokrasi Bali atau Bali Democracy Forum (BDF) yang diselenggarakan di Nusa Dua menarik untuk ditelaah, kegiatan yang diprakarsai Indonesia sebagai negara yang dikenal dengan ”macan demokrasi” Asia.
Demokrasi  adalah pilihan masyarakat modern untuk menyelenggarakan kehidupan bersama. Ia merupakan hasil pengalaman berabad-abad berbagai peradaban dalam mengelola kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya dalam kerangka kontrak sosial. Demokrasi menjadi sistem karena di dalam demokrasilah kepentingan kehidupan bersama dikelola.


Dalam konteks Asia Tenggara atau Asia umumnya, demokrasi memang harus diperjuangkan karena belum semua negara yang berada dalam geopolitik itu menerapkan demokrasi. Ada negara-negara tertentu masih dihantui oleh kekuasaan despotik-militerisme atau sistem monarki absolut, seperti di negara-negara Timur tengah.

Di negara-negara yang masih despotik-militeristik seperti Myanmar, misalnya, mengalami apa yang diistilahkan Samuel Huntington dalam The Third Wave Democratization (1998) sebagai penurunan gelombang demokrasi.
Jika demokrasi ibarat pendulum, demokrasi Myanmar kini di posisi bawah mengalami penurunan yang sangat drastis. Demokrasi haruslah diperjuangkan, karena merupakan sebuah sistem yang lebih baik. Demokrasi memang bukanlah sebuah sistem yang final digagas manusia tapi lebih baik dibanding sistem lainnya, seperti otokrasi, otoriterisme, monarki dan sebagainya.

Menurut Huntington, ciri-ciri negara demokratis salah satunya ialah kekuatan militer harus kembali ke barak. Tugas militer ialah mengamankan negara dari kemungkinan serangan musuh baik dari dalam maupun luar. Tugas kekuasaan diberikan kepada masyarakat sipil yang representatif dan memenuhi syarat sebagai pemimpin.

Ciri negara demokratis lainnya ialah seperti kebebasan untuk menyuarakan pendapat, pers dijamin dan diberi kebebasan oleh undang-undang, terselenggaranya pemilu secara jujur dan adil, serta adanya otonomi masing-masing kelembagaan yudikatif, legislatif dan eksekutif (trias politica).

Menjadi Semu

Pengalaman di Indonesia, semasa pemerintahan militer Orde Baru setiap lini kehidupan tidak memungkinkan rakyat untuk mengaspirasikan suara dan pendapatnya. Semua kebijakan dikuasai oleh penguasa, jelas kebijakan itu tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita rakyat. Setiap ada perbedaan, pasti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, teror, dan penistaan terhadap HAM.

Banyak kasus-kasus kekerasan dan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru ketika itu, terutama yang terjadi antara 1965 dan 1966 hingga kini belum terusut tuntas (Cribb: 2003). Selain itu belum lagi kasus-kasus kekerasan seperti Tanjung Priok, kasus Lampung, DOM di Aceh, serta kasus-kasus yang terjadi mengiringi masa-masa reformasi. Pendeknya jika militer berkuasa, maka negara yang dikuasainya akan dibungkam serapat mungkin.

Pada era negara-bangsa modern ini, jika masih ada negara yang dikuasai kekuasaan militer tentunya akan banyak terjadi fenomena kekerasan yang akan terjadi, paling tidak karena masyarakat sipil akan terus dibungkan hak-haknya.
Juga setidaknya ada tiga konsekuensi logis yang akan dihadapi secara internal.

Pertama; terjadi penutupan dan pemberangusan hak-hak pendapat dan suara masyarakat sipil. Kedua; sistem pemerintahan trias politica menjadi membeku dan diperkosa oleh keinginan-keinginan diktatur-militeristik. Ketiga; ada pembatasan atau pelarangan serta pemberangusan media-media cetak dan elektronik, selanjutnya media massa akan dikuasai oleh satu gerbong yang dimiliki oleh penguasa militer.

Yang tak kalah pentingnya, salah satu variabel penting dalam mengukur kualitas negara demokratis ialah, melihat mekanisme sirkulasi kekuasaan politik yang dijalankan dalam sebuah negara. Sirkulasi kekuasaan politik ini penting karena syarat mutlak demokrasi adalah adanya pembatasan kekuasaan politik. Tanpa adanya pembatasan kekuasaan politik, demokrasi yang dianut boleh dikatakan semu. (10)

— Ismatillah A Nu’ad, peminat historiografi Indonesia modern
Wacana Suara Merdeka 11 Desember 2010