KEBIJAKAN Pemprov Jawa Tengah menggunakan sistem online dalam pendaftaran CPNS Daerah 2010 layak diapresiasi karena memanfaatkan teknologi masa kini. Sayangnya, sistem ini terkesan diberlakukan setengah hati, tidak memudahkan user (pelamar) atau masyarakat umum untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya. Setengah hati dalam arti online ya, tidak online juga ya. Ada beberapa konten yang seharusnya tidak perlu justru ditampilkan, sementara data yang seharusnya ada justru tidak dimunculkan.
Jika tujuan online memudahkan masyarakat mengetahui informasi seputar jenis formasi di seluruh kabupaten dan kota se-Jateng memang sudah terpenuhi dengan sistem seperti ini. Penulis yang ada di Salatiga, bisa melihat formasi di daerah kelahiran saya, Kabupaten Wonogiri. Tapi jika ingin lebih dari itu, menurut saya sistem ini belum bisa diharapkan. Apalagi —seperti dikatakan Gubernur Bibit Waluyo pada sambutannya di situs cpns.jatengprov.go.id— untuk transparan, akuntabel, netral, objektif, dan adil. Singkatnya, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Bagaimana tidak, sistem online yang seharusnya bisa dipakai oleh masyarakat memantau proses seleksi, ternyata sejauh ini hanya disuguhi ”data jadi”. Misalnya, menyangkut jumlah pendaftar dalam suatu formasi, ternyata tidak disuguhkan data nama-nama pendaftar tersebut. Jika ada data nama pendaftar, lebih-lebih dilengkapi alamat asal, atau persyaratan lain (IPK), tentu masyarakat bisa lebih mudah mengawasi sejak awal (pendaftaran) sampai akhir (pengumuman).
Sebagai orang awam, penulis beranggapan bahwa masyarakat jangan sampai terlena dengan dalih sistem online lantas proses ini bisa bebas dari KKN. Dengan melihat konten yang ada sampai hari ini, tidak bisa dijamin sistem ini transparan dan bersih dari KKN. Jangankan bebas KKN, meminimalisasi saja tidak.
Kalau syarat mendaftar online dengan memasukkan nama dan identitas lain lewat internet dijadikan modal untuk menganggap sistem ini maju, ternyata juga tidak. Lihat saja, hasil print out setelah mendaftar di internet berupa formulir pendaftaran, yang sebenarnya bisa diketik sendiri, tanpa harus tersambung di internet.
Kalaupun ada bagian nomor pendaftaran yang didapat secara otomatis (di pojok kanan atas), sebenarnya nomor ini tidak adapun tidak masalah. Bukankah nomor pendaftaran ini berbeda dari nomor tes, yang baru didapatkan bagi pendaftar yang lolos administrasi.
Memperbaiki Sistem
Nomor pendaftaran ini pun tidak bisa dijadikan acuan jumlah pendaftar pada formasi ini, sehingga nantinya kelihatan tingkat persaingan dengan membandingkan antara jumlah lowongan yang dibutuhkan dan jumlah pendaftar. Karena sistem online ini ternyata bisa meloloskan orang-orang iseng yang tidak niat mendaftar, dengan hanya memasukkan nama XXX, tempat tanggal lahir YYY, nilai IPK=109.99, atau identitas lain. Bukankah data seperti ini tidak berguna dan bisa diabaikan, tidak usah ditampilkan, apalagi sampai mendapat nomor pendaftaran?
Sistem online mestinya bisa memungkinkan masyarakat yang mendaftar melihat secara detail siapa saja ”saingannya” nanti secara realtime (dari waktu ke waktu), dengan melihat jumlah serta nama-nama pendaftar di formasi tersebut. Hal demikian tidak mungkin bisa dilakukan jika sistemnya tidak online.
Kenapa harus demikian? Jawabannya, itulah keunggulan penggunaan sistem online. Dengan mengetahui siapa-siapa saingannya, bekal ”perang” pendaftar makin siap. Sebagaimana dalam pertempuran, dengan mengetahui lebih dulu jumlah lawan-lawannya, terlebih nama dan kemampuannya, tentu akan lebih siap ”berperang”.
Memperbaiki sistem online bukan hal yang tidak mungkin, dan secara teknis itu bisa dilakukan dengan mudah oleh pembuat sistem. Seperti halnya saat dilakukan penambahan konten ”Lupa Nomor Pendaftaran?”, dan sebelumnya hanya ada konten ”Lupa Password?” Persoalannnya adalah ada atau tidak kemauan dari pengambil kebijakan? Yang jelas perbaikan terus-menerus terhadap sistem ini belum terlambat. Masih ada waktu hingga pengumuman peserta lolos CPNSD, akhir Desember ini. (10)
— Arif Basuki Wibowo, pendidik, tinggal di Salatiga
Wacana Suara Merdeka 11 Desember 2010