10 Desember 2010

» Home » Republika » Bermain dengan Korupsi

Bermain dengan Korupsi

Thomas Koten
Direktur Social Development Center

Sudah tidak dapat dimungkiri lagi bahwa salah satu penyebab utama yang merusak Indonesia dan telah menggiring bangsa ini ke lembah keterpurukan adalah korupsi. Dan sudah tidak dapat dimungkiri pula bahwa korupsi di negeri ini sudah menjadi penyakit kronis dan membudaya sejak dulu. Ini pun sudah lama dipertegas oleh Novelis Pramudya dan Bapak Bangsa, Bung Hatta. Sehingga, logikanya, jika bangsa ini ingin selamat, berkembang, maju, dan beradab, praktik dan mentalitas korupsi harus lebih dulu diberantas.
Logika tersebut digarisbawahi oleh Edgardo Buscoglia dan Maria Dakolias dalam tulisan mereka, An Analysis of the Causes Corruption in the Judiciary (1999), bahwa korupsi merupakan bagian tak terpisahkan dari berjalannya suatu pemerintahan negara dan perkembangan budayanya dan adalah mustahil memperbaiki negara tersebut ketika korupsi masih ada. Dengan demikian, perang melawan korupsi merupakan pusat masalah yang harus lebih dulu dipecahkan dalam proses perbaikan suatu negara. Dan untuk membasmi korupsi demi masa depan negara, harus dilakukan secara serius dan tidak boleh main-main.

Pertanyaannya, apakah kita benar-benar serius memberantas korupsi atau terus bermain-main dengan korupsi dan tidak serius untuk memberantasnya? Apakah kita menginginkan bangsa dan negara ini semakin baik, maju, dan beradab, atau membiarkannya semakin terpuruk karena digerogoti wabah korupsi?

Jangan-jangan, kita, terutama para aparat penegak hukum menganggap korupsi di negeri ini bukan hal luar biasa gawat sehingga tidak perlu ditangani secara serius. Lalu, apakah seorang Gayus Tambunan yang hanya pegawai golongan IIIA, tetapi dapat mengorupsi pajak hingga puluhan, bahkan  ratusan miliar rupiah bukan sesuatu yang luar biasa?
 
Korupsisistemis

Perlu ditegaskan lagi bahwa wabah korupsi di negeri ini sudah sangat gawat dan nasib bangsa ini benar-benar sudah jadi taruhannya sehingga sangat diperlukan penanganan-penanganan yang sangat serius. Tetapi, ironisnya, para penegak hukum kita, seperti kepolisian dan kejaksaan tampak sekali bermain-main dengan korupsi dan tidak serius menjalankan panggilan tugas sebagai penegak hukum.

Keluar masuknya Gayus secara bebas dari rumah tahanan (rutan) setelah menyuap para petugas rutan adalah bukti otentik semua permainan dan ketidakseriusan itu. Ingat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang diharapkan menjadi garda depan pemberantasan korupsi, dipaksa berseteru dengan Polri dalam lakon cicak dan buaya. Kejaksaan pun ikut menimpali, seperti yang dipertontonkan lewat rekaman skenario "kriminalisasi" KPK yang diputar Mahkamah Konstitusi (MK).

Lebih dari itu, Presiden Yudhoyono yang pernah berjanji memimpin sendiri pemberantasan korupsi pun hingga kini tidak sanggup memenuhi janjinya. Belum ada visi yang kuat dan kemauan politik yang tegas dari presiden untuk menggerakkan seluruh perangkat pemerintahan, terutama kejaksaan dan kepolisian dalam berperang melawan korupsi.

Apakah presiden lemah dalam pemberantasan korupsi dan atau ikut bermain-main dengan korupsi? Hingga saat ini, memang presiden tidak tampak bermain-main dengan korupsi. Dan sungguh berbahaya jika seorang  penguasa negara bermain-main dengan korupsi di saat wabah korupsi benar-benar sudah menjerembapkan bangsa ke dalam kubangan keterpurukan.

Kesulitan presiden sekarang memang terletak pada bentuk penyakit korupsi itu sendiri, di mana sebenarnya bukan hanya telah menjadi budaya bangsa, melainkan sudah begitu sistemis dan sudah menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri dan berjalan secara terstruktur sehingga merupakan kejahatan struktural yang meliputi sistem organisasi dan struktur kekuasaan. Karena itulah, korupsi menjadi sangat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial hingga dapat membelenggu kekuasaan. Inilah yang menggiring seorang penguasa dalam ketidakberdayaan.

Dalam hal ini, siapa pun yang menjadi presiden yang naik ke tampuk kekuasaan, ia akan langsung terbelenggu oleh budaya korupsi dengan jaringannya yang sudah begitu sistemis dan menggurita dengan jari-jarinya yang sangat kokoh dan siap melilitnya. Apalagi, jika seorang presiden pada awal masa kekuasaan sudah dapat terbaca kelambanannya menangani korupsi dan mudah tergoda oleh iming-iming uang yang sejak lama dikuasai oleh para konglomerat hitam yang memiliki kekuatan ekonomi (economic power) dalam mengendalikan negara, sekaligus sebagai pengendali mafia hukum. Dan bukan tidak mungkin, seorang presiden dan/atau keluarganya yang lemah dan mudah didikte, gampang tergoda untuk diselingkuhi dan terjebak dalam perangkap mafia hukum.

Apa jadinya jika dalam menjalankan roda kekuasaan, seorang presiden terus didikte dan dikendalikan oleh kekuatan gurita mafia hukum yang telah berjalan terstruktur dan sistemis, baik di lingkungan ekonomi, sosial, politik, maupun di lingkungan kekuasaan? Karena itu, menyerahkan pemberantasan korupsi dan pembasmian mafia hukum kepada penguasa bersama para penegak hukum, kepolisian, dan kejaksaan yang gemar berselingkuh dengan para koruptor dan para mafioso hukum, sebenarnya hanya menggantang asap dan menggantungkan pemberantasan korupsi ke dalam perangkap sistem mafia hukum.

Selanjutnya, rakyat hanya sebagai penonton yang selalu tidak berdaya menyaksikan hukum yang terus-menerus dipermainkan oleh para mafioso yang terdiri atas penguasa, para penegak hukum, dan para koruptor kakap. Dan dalam permainan itu, para koruptor yang memiliki uang tentu akan selalu keluar sebagai pemenangnya. Sebagaimana kata-kata bijak sahabat Ali bin Abi Thalib, "Kebatilan yang terorganisasi akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi."
Opini Republika 9 Desember 2010