Kisah tragedi yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri memang seperti tak ada habisnya. Lagi-lagi tenaga kerja wanita asal Indonesia bernasib nahas di Arab Saudi. Sumiati, perempuan asal NTB, disiksa habis-habisan.
Kikim Komalasari, warga Cianjur, Jawa Barat, dipukuli hingga tewas dan mayatnya dibuang. Husna yang bekerja di Madinah memiliki nasib yang sama, mengalami penyiksaan yang keji. Mereka menyabung nyawa. Tapi, mereka terlupakan dan diabaikan. Tetes air mata dan keringat bagai tak ada artinya. Sementara mereka membawa devisa langsung ke desa-desa. Profesi mereka adalah solusi alternatif yang masuk akal, di saat pemerintah negeri sendiri gagal mencari jalan keluar atas persoalan pengangguran dan kemiskinan. Ironis memang. Itulah sepenggal potret kondisi tenaga kerja Indonesia (TKI) kita di luar negeri yang kerapkali dilupakan dalam proses pembangunan.
Negara sering menyebut mereka sebagai pahlawan devisa. Namun, pada saat bersamaan, dengan mata telanjang kita teramat sering menyaksikan nihilnya peran negara atas geliat tenaga kerja Indonesia tersebut. Tak hanya itu, berbagai persoalan yang membelit mereka pun kerapkali tak ada perlindungan hukum yang jelas. Cerita tentang TKI di luar negeri memang selalu saja mewartakan kisah perih yang terdedah di depan mata. Bukan saja karena seringnya banyak kasus yang menimpa mereka mulai penganiayaan, pemerasan, kekerasan, hingga perlindungan hukum yang tidak jelas, melainkan juga karena seringkali ia diikuti oleh berkembangnya praktik perdagangan manusia (trafficking).Kikim Komalasari, warga Cianjur, Jawa Barat, dipukuli hingga tewas dan mayatnya dibuang. Husna yang bekerja di Madinah memiliki nasib yang sama, mengalami penyiksaan yang keji. Mereka menyabung nyawa. Tapi, mereka terlupakan dan diabaikan. Tetes air mata dan keringat bagai tak ada artinya. Sementara mereka membawa devisa langsung ke desa-desa. Profesi mereka adalah solusi alternatif yang masuk akal, di saat pemerintah negeri sendiri gagal mencari jalan keluar atas persoalan pengangguran dan kemiskinan. Ironis memang. Itulah sepenggal potret kondisi tenaga kerja Indonesia (TKI) kita di luar negeri yang kerapkali dilupakan dalam proses pembangunan.
Yang menjadi problem krusial dan lebih penting dari semuanya adalah bahwa selama ini keberadaan mereka seringkali terlupakan dalam setiap kebijakan. Tindakan yang diambil pemerintah seringkali hanya bersifat reaktif-artifisial ketika muncul masalah (misalnya usulan membekali telepon seluler bagi para TKI), dan bukan kebijakan jangka panjang dalam bentuk regulasi yang punya kekuatan hukum. Akibatnya, persoalan TKI telah menjadi soal klasik seperti berputar dalam lingkaran setan dan menyusuri lorong gelap tak berujung. Munculnya kembali kasus-kasus penyiksaan terhadap TKI, bahkan di beberapa negara hingga saat ini ada yang terancam hukuman mati akhirnya memunculkan sebuah gugatan: perlindungan hukum macam apa yang diberikan negara selama ini?
Perlindungan
Negara dalam hal ini tampaknya perlu lebih cermat lagi untuk melihat kembali serta mengidentifikasi persoalan-persoalan apa saja yang sesungguhnya menjadi “penyakit” dalam soal TKI untuk kemudian melakukan “diagnosa” atas problem yang mereka hadapi. Di sinilah kemudian diperlukan kebijakan dan perlindungan hukum yang jelas kepada mereka. Dalam konteks inilah menjadi sangat mendesak bagi Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan buruh migran (International Convention the Rights of All Migrant Workes and Members of Their Families of 1990).
Tanpa ratifikasi, sulit bagi Indonesia untuk menuntut keadilan bagi buruh migran yang mengalami tindak kekerasan. Persoalan TKI tidak bisa dibiarkan dari tahun ke tahun hanya menjadi tragedi kemanusiaan atas nama pembangunan. Negara perlu diingatkan bahwa kelompok tenaga kerja yang dianggap pahlawan devisa tersebut seharusnya ditempatkan pada posisi yang memungkinkan mereka diperhitungkan dalam setiap proses kebijakan dan mendapat perlindungan hukum.
Kesadaran ini saya kira perlu diinjeksikan terus-menerus karena ternyata sangat minim sekali kepedulian dan peran-peran pemerintah dalam mengatasi berbagai hal yang menimpa buruh migran. Kasus-kasus penyiksaan yang masih saja menimpa TKI serta yang menghadapi hukuman mati di beberapa negara kiranya menjadi contoh paling nyata. Dalam kasus Sumiati misalnya, alih-alih membuat jurus mengatasi kasus TKI, pemerintah justru mencari kambing hitam dengan menuding pihak swasta yang menjadi sumber masalah.
Stereotip Marginal
Yang lebih memprihatinkan, selama ini keterlibatan kelompok migran juga sering dipandang sebagai kelompok marginal. Beberapa hal yang ikut memberi andil dalam proses pemarginalan tersebut antara lain ada stereotip konseptual yang selama ini berkembang bahwa keputusan menjadi TKI dipandang sebagai sebuah respons rasional atas kemiskinan di daerah asal. Akibatnya, stereotip tersebut telah melemahkan posisi TKI dalam seluruh proses aktivitas pasar internasional.
Buruknya posisi tawar pekerja tersebut makin diperparah dengan kebijakan penempatan tenaga kerja internasional yang tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat untuk memberikan jaminan perlindungan kepada migran pekerja. Kasus yang sering dialami TKI di beberapa negara seperti Arab Saudi dan Malaysia kiranya cukup bisa menggambarkan akan hal tersebut. Dari situlah sesungguhnya menjadi wajar kalau kemudian aktivitas migrasi yang berlangsung terutama di negara-negara berkembang bergerak tanpa mekanisme yang memungkinkan keterlibatan mereka dalam kegiatan pasar global terjamin secara politis maupun hukum. Karena itu, seringkali keberadaan pekerja migran hanya diperah dan dieksploitasi.
Aktivitas buruh migran/TKI tersebut seringkali tidak pernah dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam proses pembangunan baik secara mikro maupun makro. Akibatnya, jarang sekali dipikirkan kebijakan publik yang berpihak pada mereka. Realitas buruh migran dengan demikian menjadi sebuah realitas ekonomi-politik yang benar-benar terlupakan. Dari berbagai persoalan yang terus saja membelit TKI sampai saat ini, sudah saatnya perlu ditata kembali sistem perekrutan dan pengiriman TKI yang lebih manusiawi dan profesional. Tanpa itu, yang akan terjadi adalah bahwa TKI Indonesia hanya akan menorehkan noda di negeri-negeri seberang.
Perlu disusun sebuah kebijakan besar yang mampu menangani TKI secara manusiawi, tertib, dan profesional. Ke depan ada beberapa hal yang saya kira perlu dipertimbangkan. Pertama, membuat reorientasi program pembangunan melalui perencanaan yang matang dengan memprioritaskan terciptanya peluang-peluang usaha. Kedua, perlunya pemerintah mempertimbangkan terciptanya peluang kerja berdasarkan kekuatan dan potensi ekonomi lokal. Terakhir, kalaupun pengiriman TKI tetap menjadi pilihan, negara perlu menciptakan perangkat aturan yang jelas sebagai dasar hukum untuk melakukan kontrol serta melindungi seluruh aktivitas migrasi.
Akhirnya, dengan alasan apa pun, negara harus bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada para buruh migran. Mengapa? Harus diakui bahwa besarnya mobilitas TKI di luar negeri salah satunya karena pembangunan yang timpang dan gagal dalam memberi nisbah kue pembangunan kepada seluruh lapisan masyarakat.(*)
Achmad Maulani
Peneliti Ekonomi Politik pada Pusat Studi Asia Pasifik UGM Yogyakarta
Opini Okezone 9 Desember 2010