16 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Keanekaragaman Hayati untuk Pembangunan

Keanekaragaman Hayati untuk Pembangunan

Mohammad Fathi Royyani
Peneliti Puslit Biologi-LIPI
Ingar-bingar isu yang berkaitan dengan politik dan hukum masih menjadi berita dominan di Indonesia. Isu-isu tersebut seolah menutup banyak isu penting lainnya yang berkaitan dengan kehidupan bangsa ini. Bagaimana hasil keseriusan kita di ujung 2010 ini yang ditetapkan PBB sebagai tahun keanekaragaman hayati? Sepanjang bulan berjalan gaung dan respons kita terhadap tahun keanekaragaman hayati begitu lemah dan sayup-sayup. Padahal untuk menunjang kehidupannya, manusia membutuhkan kehadiran makhluk hidup lainnya. Keanekaragaman hayati adalah kehidupan itu sendiri, tanpa ada keanekaragaman tidak ada kehidupan.
Penetapan sebagai tahun keanekaragaman hayati membawa konsekuensi bagi bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia setelah Brasil. Bahwa keanekaragaman hayati bisa menyejahterakan masyarakat bukanlah sesuatu yang tidak bisa diraih. Lahan hutan yang kaya jenis dan tersebar di mana-mana bisa mendatangkan uang tanpa merusaknya dan membantu menyejahterakan rakyatnya. Misalnya melalui usaha-usaha pengembangan plasma nutfah yang terdapat di dalamnya, menjadi kawasan tangkapan air untuk kebutuhan manusia akan sumber daya alam, sebagai satu tempat untuk menghilangkan rasa penat, dan jasa-jasa ekosistem lainnya.
Dengan penetapan tahun keanekaragaman hayati, sudah sepatutnya arah pembangunan dan penyelesaian persoalan-persoalan seperti bencana alam, perubahan iklim, pemanasan global, dan bahkan kemiskinan merujuk ke keanekaragaman hayati.
Namun, banyak kalangan masih belum menyadari pentingnya penyelamatan suatu jenis tumbuhan atau binatang. Seolah penyelamatan jenis binatang mengabaikan kepentingan manusia. Pemikiran tersebut berdasarkan pada antroposentris, manusia sebagai pusat. Padahal, dalam kehidupan di alam satu jenis tumbuhan akan berpengaruh terhadap kehidupan jenis lainnya. Satu sama lain bergantung. Dengan demikian, menyelamatkan satu spesies tumbuhan atau binatang secara tidak langsung juga menyelamatkan kehidupan manusia.
Salah Urus Lingkungan
Kerusakan lingkungan memiliki dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung dari perusakan lingkungan adalah bencana alam yang kerap melanda wilayah yang rusak. Dampak tidak langsung adalah perubahan iklim dan hilangnya jenis. Semua dampak tersebut merugikan manusia. Perusakan tersebut terjadi selain karena perilaku masyarakat dan lemahnya peraturan yang mendukungnya.
Kepunahan jenis sudah menjadi perhatian pemimpin dunia yang berkumpul di Rio de Janaero yang menghasilkan konvensi keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity/CBD). Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani konvensi CBD itu. Konvensi tersebut tidak cukup ampuh menahan laju kepunahan jenis. Itu terbukti dari data International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang terus bertambah. Data Convention International Trade Endangered Spesies (CITES) juga menunjukkan masih maraknya penjualan flora dan fauna yang dilindungi. Setiap tahun, kuota, sebagai batas maksimum penjualan flora-fauna yang dilindungi selalu habis, bahkan beberapa item dianggap kurang.
Dari penelitian tim LIPI pada akhir 2009 di Kota Ternate, sebanyak 19 jenis mangrove dari 35 jenis yang terdapat di kota tersebut telah punah. Padahal keberadaan mangrove sangat penting tidak saja sebagai penahan laju gelombang, melainkan menjadi “rumah dan tempat kerja” berbagai satwa yang hidup di pantai. Kasus itu laksana fenomena gunung es karena masih banyak kasus kepunahan jenis lainnya di daerah-daerah lain dengan alasan dan motif yang berbeda.
Kerusakan lingkungan selain karena perilaku manusia dan lemahnya peraturan. Selain itu adanya paradigma yang salah tentang pengelolaan lingkungan. Selama ini, lingkungan hanya dianggap berarti ketika bisa menyumbangkan devisa untuk daerah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Otonomi daerah pada satu sisi memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Data tentang kerusakan lingkungan meningkat dengan tajam saat bergulirnya otonomi daerah. Dengan alasan meningkatkan PAD, para kepala daerah dengan mudah memberikan izin bagi perusahaan kelapa sawit dan penambangan. Alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit dan pertambangan sudah pada tingkat mencemaskan. Pengusaha tambang dan kelapa sawit sudah merambah hutan-hutan primer yang memiliki cadangan keanekaragaman hayati.
Semua problem yang menggelayut pada keanekaragaman hayati bermuara pada kebijakan yang lahir dari pemerintah tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan matang ilmu pengetahuan. Semua serbatergesa-gesa, termasuk kebijakan. Padahal dampak dari ketergesaan tersebut sangat parah, seperti bencana Wasior baru-baru ini. Kembali ke penelitian adalah solusi alternatif yang terencana. Butuh waktu lama memang, tetapi seperti kata pepatah China, waktu yang terbaik melakukan sesuatu adalah 20 tahun yang lalu, tetapi hari ini, saat ini, adalah kesempatan keduanya. Jadi, tunggu apa lagi.

Opini Lampung Post 17 Desember 2010