Oleh Hendar Riyadi
Menjelang pergantian tahun, tepatnya pada 23-26 Desember 2010, Muhammadiyah Jawa Barat akan melangsungkan hajat besarnya, yakni musyawarah wilayah yang ke-19 di Tasikmalaya. Pelaksanaan musyawarah ini memiliki arti sangat penting sebagai upaya transformasi kepemimpinan dan dinamisasi gerakan dalam Muhammadiyah. Transformasi kepemimpinan ini diharapkan dapat membawa nuansa baru dan angin segar bagi perubahan umat di tatar Sunda, khususnya bagi kelangsungan agenda tajdid Muhammadiyah abad kedua di Jawa Barat.
Setidaknya ada lima agenda penting untuk revitalisasi tajdid gerakan Muhammadiyah abad kedua di tatar Sunda. Pertama, tajdid pendidikan. Berkaitan dengan agenda tajdid dalam bidang pendidikan ini, Muhammadiyah sedang dihadapkan pada problem serius, khususnya berkenaan dengan masalah peningkatan mutu pendidikan. Secara kuantitas, pendidikan Muhammadiyah memang mengalami peningkatan. Mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Akan tetapi, secara kualitas pendidikan, Muhammadiyah masih menyandang citra kurang baik. Tidak banyak yang bisa dibanggakan sebagai sekolah unggulan. Oleh karena itu, diperlukan lompatan dan kerja keras dalam membangun kembali kualitas dunia pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Hal ini sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan program peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam bidang pendidikan yang dicanangkan pemerintah.
Kedua, tajdid kaderisasi. Keberadaan kader merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi perwujudan revitalisasi tajdid gerakan. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Muhammadiyah saat ini mengalami krisis kader, baik kader kesarjanaan, kader keulamaan, maupun kader keorganisasian itu sendiri.
Ketiga, tajdid kemandirian Muhammadiyah. Persoalan klasik dalam Muhammadiyah adalah masalah ketersediaan sumber daya ekonomi yang terbatas. Persoalan ini membawa dampak stagnasi tajdid Muhammadiyah di berbagai aspek.
Keempat, tajdid pemikiran keagamaan. Dalam bidang pemikiran keagamaan ini, Muhammadiyah -- meminjam ungkapan Kuntowijoyo -- masih "mengunyah-ngunyah" pemikiran lama, seolah telah kehabisan napas untuk melahirkan pemikiran baru. Wacana keagamaan yang dikembangkan lebih bersifat repetitif atau pengulangan, yakni pengkajian yang secara spesifik berkaitan dengan masalah ibadah dan bimbingan praktis keagamaan seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Kecenderungan ini mengakibatkan wacana keagamaan yang dikembangkan tidak lagi responsif terhadap persoalan-persoalan besar teologi dan kemanusiaan kontemporer.
Kelima, tajdid respons dan keberpihakan Muhammadiyah terhadap kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan. Muhammadiyah tampaknya kurang lagi peka dan responsif terhadap persoalan kemanusiaan, seperti masalah pengangguran, anak jalanan, korban trafficking, anak penyandang cacat, serta kaum lainnya yang terpinggirkan. Hingga sekarang Muhammadiyah belum dapat menjadi tenda kemanusiaan.
Pemimpin responsif
Dalam upaya revitalisasi tajdid gerakan tersebut, diperlukan modal dasar, terutama modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) dalam wujud kepemimpinan. Problem tajdid gerakan tersebut, sedikit banyak, berkaitan dengan problem kepemimpinannya. Bagaimanapun baiknya program revitalisasi tajdid gerakan yang dicanangkan, tetap saja sangat bergantung terhadap pimpinan persyarikatannya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah Jawa Barat ke depan membutuhkan pemimpin yang responsif, yang peka terhadap berbagai problem besar persyarikatan, keumatan, dan kemanusiaan. Pemimpin responsif adalah pemimpin yang bukan sekadar memenuhi kolom-kolom dalam curriculum vitae atau sekadar mencari nafkah dan batu loncatan dalam meraih kepentingan yang lebih tinggi secara ekonomi, melainkan untuk menjadikan Muhammadiyah lebih maju, peka, dan responsif serta dapat menyelesaikan berbagai persoalan besar persyarikatan, keumatan, dan kemanusiaan.
Pemimpin responsif seperti di atas tidak akan dapat dikerjakan oleh orang yang memiliki karakter kesarjanaan semata, keulamaan, atau aktivis, melainkan hanya dapat dikerjakan oleh orang yang arif yang memiliki gabungan ketiga karakter tersebut, yakni gabungan karakter kesarjanaan, keulamaan, dan aktivis sekaligus. Selain itu, satu hal yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa dalam melahirkan pemimpin responsif, bagaimanapun dibutuhkan orang yang memiliki satu komitmen atau tidak merangkap jabatan (multikomitmen). Sebab, kepengurusan yang multikomitmen akan sulit diharapkan dapat fokus dalam merespons dan menyelesaikan problem besar persyarikatan secara sistematis dan berkelanjutan. Bagaimana mungkin "pikiran yang terbelah" dapat merespons problem yang besar.
Terakhir, pemimpin responsif membutuhkan teladan yang akomodatif yang dapat merangkul berbagai komponen, termasuk angkatan mudanya untuk membangun Muhammadiyah dalam jalinan kebersamaan dan ukhuwah. Bukan pemimpin yang membuka ruang-ruang konflik dalam persyarikatan.
Selamat bermusyawarah, semoga memberikan "kado tahun baru" kepengurusan yang terbaik untuk realisasi agenda tajdid abad kedua Muhammadiyah di tatar Sunda ke depan.***
Penulis, dosen STAI Muhammadiyah Bandung.
Menjelang pergantian tahun, tepatnya pada 23-26 Desember 2010, Muhammadiyah Jawa Barat akan melangsungkan hajat besarnya, yakni musyawarah wilayah yang ke-19 di Tasikmalaya. Pelaksanaan musyawarah ini memiliki arti sangat penting sebagai upaya transformasi kepemimpinan dan dinamisasi gerakan dalam Muhammadiyah. Transformasi kepemimpinan ini diharapkan dapat membawa nuansa baru dan angin segar bagi perubahan umat di tatar Sunda, khususnya bagi kelangsungan agenda tajdid Muhammadiyah abad kedua di Jawa Barat.
Setidaknya ada lima agenda penting untuk revitalisasi tajdid gerakan Muhammadiyah abad kedua di tatar Sunda. Pertama, tajdid pendidikan. Berkaitan dengan agenda tajdid dalam bidang pendidikan ini, Muhammadiyah sedang dihadapkan pada problem serius, khususnya berkenaan dengan masalah peningkatan mutu pendidikan. Secara kuantitas, pendidikan Muhammadiyah memang mengalami peningkatan. Mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Akan tetapi, secara kualitas pendidikan, Muhammadiyah masih menyandang citra kurang baik. Tidak banyak yang bisa dibanggakan sebagai sekolah unggulan. Oleh karena itu, diperlukan lompatan dan kerja keras dalam membangun kembali kualitas dunia pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Hal ini sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan program peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam bidang pendidikan yang dicanangkan pemerintah.
Kedua, tajdid kaderisasi. Keberadaan kader merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi perwujudan revitalisasi tajdid gerakan. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Muhammadiyah saat ini mengalami krisis kader, baik kader kesarjanaan, kader keulamaan, maupun kader keorganisasian itu sendiri.
Ketiga, tajdid kemandirian Muhammadiyah. Persoalan klasik dalam Muhammadiyah adalah masalah ketersediaan sumber daya ekonomi yang terbatas. Persoalan ini membawa dampak stagnasi tajdid Muhammadiyah di berbagai aspek.
Keempat, tajdid pemikiran keagamaan. Dalam bidang pemikiran keagamaan ini, Muhammadiyah -- meminjam ungkapan Kuntowijoyo -- masih "mengunyah-ngunyah" pemikiran lama, seolah telah kehabisan napas untuk melahirkan pemikiran baru. Wacana keagamaan yang dikembangkan lebih bersifat repetitif atau pengulangan, yakni pengkajian yang secara spesifik berkaitan dengan masalah ibadah dan bimbingan praktis keagamaan seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Kecenderungan ini mengakibatkan wacana keagamaan yang dikembangkan tidak lagi responsif terhadap persoalan-persoalan besar teologi dan kemanusiaan kontemporer.
Kelima, tajdid respons dan keberpihakan Muhammadiyah terhadap kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan. Muhammadiyah tampaknya kurang lagi peka dan responsif terhadap persoalan kemanusiaan, seperti masalah pengangguran, anak jalanan, korban trafficking, anak penyandang cacat, serta kaum lainnya yang terpinggirkan. Hingga sekarang Muhammadiyah belum dapat menjadi tenda kemanusiaan.
Pemimpin responsif
Dalam upaya revitalisasi tajdid gerakan tersebut, diperlukan modal dasar, terutama modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) dalam wujud kepemimpinan. Problem tajdid gerakan tersebut, sedikit banyak, berkaitan dengan problem kepemimpinannya. Bagaimanapun baiknya program revitalisasi tajdid gerakan yang dicanangkan, tetap saja sangat bergantung terhadap pimpinan persyarikatannya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah Jawa Barat ke depan membutuhkan pemimpin yang responsif, yang peka terhadap berbagai problem besar persyarikatan, keumatan, dan kemanusiaan. Pemimpin responsif adalah pemimpin yang bukan sekadar memenuhi kolom-kolom dalam curriculum vitae atau sekadar mencari nafkah dan batu loncatan dalam meraih kepentingan yang lebih tinggi secara ekonomi, melainkan untuk menjadikan Muhammadiyah lebih maju, peka, dan responsif serta dapat menyelesaikan berbagai persoalan besar persyarikatan, keumatan, dan kemanusiaan.
Pemimpin responsif seperti di atas tidak akan dapat dikerjakan oleh orang yang memiliki karakter kesarjanaan semata, keulamaan, atau aktivis, melainkan hanya dapat dikerjakan oleh orang yang arif yang memiliki gabungan ketiga karakter tersebut, yakni gabungan karakter kesarjanaan, keulamaan, dan aktivis sekaligus. Selain itu, satu hal yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa dalam melahirkan pemimpin responsif, bagaimanapun dibutuhkan orang yang memiliki satu komitmen atau tidak merangkap jabatan (multikomitmen). Sebab, kepengurusan yang multikomitmen akan sulit diharapkan dapat fokus dalam merespons dan menyelesaikan problem besar persyarikatan secara sistematis dan berkelanjutan. Bagaimana mungkin "pikiran yang terbelah" dapat merespons problem yang besar.
Terakhir, pemimpin responsif membutuhkan teladan yang akomodatif yang dapat merangkul berbagai komponen, termasuk angkatan mudanya untuk membangun Muhammadiyah dalam jalinan kebersamaan dan ukhuwah. Bukan pemimpin yang membuka ruang-ruang konflik dalam persyarikatan.
Selamat bermusyawarah, semoga memberikan "kado tahun baru" kepengurusan yang terbaik untuk realisasi agenda tajdid abad kedua Muhammadiyah di tatar Sunda ke depan.***
Penulis, dosen STAI Muhammadiyah Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 17 Desember 2010