Kepedulian kita terhadap sektor kelautan dan perikanan masih belum sistematis.
Kepedulian baru muncul ketika ada kasus-kasus tertentu saja, seperti penangkapan aparat pengawas kita oleh tentara Malaysia, kasus pasir laut, Ambalat, lepasnya Sipadan-Ligitan, dan seterusnya. Artinya, kepedulian muncul ketika kasusnya menyangkut isu geopolitik dan harga diri bangsa.
Sebaliknya, isu sosial ekonomi dan lingkungan belum menyentuh hati pemerintah. Tergesernya isu sosial-ekonomi itu sekaligus menggeser kepedulian pemerintah kepada nasib nelayan. Siapa peduli ketika nelayan tak melaut karena kesulitan bahan bakar, modal, cuaca tak bersahabat, atau lautnya tercemar?
Padahal, justru nelayan punya potensi peran secara geopolitik sehingga mereka berhak untuk dipedulikan dan dibela.
Cara pandang baru
Cara pandang terhadap nelayan memang harus diubah. Nelayan tidak semata pelaku ekonomi yang menghasilkan protein hewani, tetapi harus ditempatkan sebagai bagian dari pilar sabuk pengaman nasional. Karena itu, peran barunya adalah peran geopolitik. Dalam peran baru ini, nelayan harus dipersenjatai, bukan dengan senjata betulan, melainkan dengan memberdayakan secara ekonomi.
Dalam konteks pertahanan secara ekstrinsik, nelayan memiliki peran sebagai ”pengawas” laut yang selalu berkoordinasi dengan aparat. Dengan demikian, penting mendidik mereka untuk memperkuat nasionalisme, memahami isu-isu pertahanan serta secara teknis mampu menggunakan alat-alat komunikasi di laut. Untuk itulah butuh wadah asosiasi nelayan untuk melancarkan proses ini.
Namun, reposisi nelayan ke arah peran geopolitik tetap sangat bergantung pada posisi sosial ekonominya. Dalam perspektif geopolitik, wilayah perbatasan tidak hanya harus diisi pertahanan militer yang tangguh, tetapi juga didukung aktivitas ekonomi yang tangguh pula. Sipadan dan Ligitan lepas karena alasan lemahnya kita memanfaatkan pulau itu untuk aktivitas ekonomi.
Dalam konteks pertahanan secara intrinsik, nelayan harus berdaya secara ekonomi untuk menopang peran geopolitik tersebut. Jika nelayan kita cukup tangguh, maka nelayan asing takut memasuki wilayah laut kita. Pertanyaannya, bagaimana membuat nelayan kita tangguh?
Pertama, modernisasi alat tangkap menjadi keniscayaan. Fadel Muhammad sudah mencanangkan program penguatan armada penangkapan, yang ditunggu segera implementasinya. Dalam jangka pendek, alokasi program tersebut bisa difokuskan untuk nelayan perbatasan. Ini pun tidak boleh lepas dari desain industrialisasi perikanan, termasuk di dalamnya aspek pasar dan pengelolaan sumber daya, sehingga upaya ini tidak malah merusak sumber daya.
Meski demikian, untuk memperkuat armada nelayan butuh penanganan khusus. Pengalaman kegagalan program bantuan kapal umumnya terjadi karena tidak diikuti dengan kesiapan modal kerja, keterampilan menangani mesin, pemahaman kondisi sumber daya, adaptasi alat tangkap baru, manajemen usaha, dan sikap mental.
Mengubah nelayan dari armada kecil menjadi besar, dari harian menjadi mingguan atau bulanan, tidaklah mudah. Ini tidak sesederhana transfer kepemilikan kapal dari pemerintah ke nelayan. Akan tetapi, hal itu juga bukan hal yang mustahil.
Tradisional, tapi tangguh
Pengalaman modernisasi di Pekalongan tahun 1970-1980 menunjukkan, nelayan tradisional bisa menjadi nelayan tangguh. Pengusaha-pengusaha perikanan di Pekalongan saat ini umumnya berlatar belakang sebagai anak buah kapal pada kapal-kapal milik nelayan Bagansiapi-api. Proses pendampingan pemilik kapal terhadap calon pemilik kapal menjadi kunci keberhasilan modernisasi tersebut.
Kedua, perlu pembenahan infrastruktur wilayah perbatasan untuk menunjang pemberdayaan nelayan. Ekonomi akan tumbuh dengan baik jika infrastrukturnya baik. Saat ini sangatlah mungkin memperkuat infrastruktur karena Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mendapatkan alokasi terbesar pada RAPBN 2011 dengan Rp 56,5 triliun. Begitu pula Kementerian Pertahanan di urutan ketiga sebesar Rp 45,2 triliun. Dari dana-dana sebesar itu, berapa yang dialokasikan untuk menunjang pengembangan infrastruktur perbatasan maupun pertahanan di laut?
Jika nelayan berdaya di laut, maka sama saja mereka menjadi pilar pertahanan bangsa. Peran strategis ini harus dihargai. Karena itu, agenda wajibnya adalah memberdayakan nelayan dan melindungi mereka dari berbagai ancaman ekologis, perdagangan, dan politik. Jangan hanya reaktif setelah ada kejadian, tetapi juga harus proaktif memasukkan hal tersebut menjadi bagian desain besar sebagai bangsa bahari.
Dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk tidak peduli kepada nelayan karena nelayan penting secara geopolitik.
Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB; Penulis Buku Ekologi-Politik Nelayan
Opini Kompas 17 Desember 2010