HAKIM Mahkamah Konstitusi (MK) kebakaran jenggot karena dituduh menerima suap. Peristiwa bermula adanya salinan putusan MK ”palsu” dari salah seorang panitera, ditambah sinyalemen Refly Harun dalam artikelnya di sebuah koran pada 25 Oktober 2010 berjudul ”MK Masih Bersih?”. Tulisan itu mengungkap adanya praktik suap senilai miliaran rupiah.
Ketua MK Mahfud MD bereaksi keras dengan melontarkan pernyataan bombastis sebagaimana dikutif sejumlah media, dan ia bersedia mundur dari jabatannya jika tuduhan itu terbukti. Berakhir pada pembentukan tim investigasi internal yang diketuai Refly dan sejumlah tokoh kredibel, dan membeberkan sejumlah bukti permulaan adanya suap, melibatkan seorang bupati, hakim dan keluarganya, serta panitera. Belakangan sejumlah hakim menolaknya, bahkan balik melaporkan ke KPK. (SM, 10-11/12/10)
Sesungguhnya tudingan adanya suap di tubuh MK menunjukkan bahwa kini tak ada lagi lembaga hukum yang bersih di mata publik.
Sebelumnya MK masih dianggap institusi yang relatif bersih, terutama ketika hanya menanggani masalah pengujian UU atas UUD 1945, sengketa antarlembaga negara, serta perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Namun saat pendulum kekuasaan kehakiman berubah, yakni Mahkamah Agung (MA) tak lagi menanggani sengketa hasil pilkada karena kekuasaan itu diberikan pemerintah ke MK, di sinilah mulai berembus isu suap.
Harus diakui bahwa sengketa pilkada adalah kasus politik yang rawan dimanipulasi menjadi kasus yang bisa ”dimainkan” karena para pemohon dan termohon dalam sengketa itu adalah calon kepala daerah yang sebagian besar konglomerat lokal yang ingin berkuasa di daerah. Mereka tak segan memainkan aneka jurus, termasuk menyuap, agar bisa memenangi sengketa tersebut.
Di antara sejumlah kasus yang ditangani MK, dan melahirkan kecurigaan publik adanya permainan adalah sengketa pilkada Kota Waringin Barat Kalimantan Tengah, yang putusannya hanya berdasar pada dugaan pelanggaran pidana politik uang yang masif, sistematis, dan terstruktur, serta mendiskualifikasi salah satu pasangan calon. Namun putusan MK inkonsisten pada kasus yang sama di Kabupaten Mandailing Natal Sumatra Utara karena putusannya adalah pilkada ulang. Inkonsistensi ini melahirkan kecurigaan publik pada independensi lembaga ini. (SM, 21/07/10).
Dirunut dari aspek ekonomi, sengketa pilkada adalah kasus berbiaya tinggi, sebab semua pemohon dan termohon dari seluruh Indonesia yang harus datang ke Jakarta untuk bersidang. Sejumlah pengurus KPU daerah menceritakan bahwa untuk mendatangkan saksi-saksi dalam sidang MK, ditambah akomodasi, makan, dan menyiapkan bukti-bukti hukum, butuh dana ratusan juta rupiah.
Menyiasati Bukti Belum lagi bila dari luar Jawa, biaya yang dikeluarkan bisa lipat dua. Pada titik ini mudah disinyalir keinginan untuk menang dalam sengketa pilkada di MK cukup besar dengan cara apapun, termasuk menyuap, memalsukan bukti hukum, dan saksi palsu.
Apalagi tugas hakim dalam mengadili bersifat judex juris, yakni memutus perkara berdasar pembuktian administrasi dan tertulis, bukan judex fictie yakni memutus perkara berdasarkan bukti material dan uji sahih di lapangan. Karena itulah terkadang kemenangan pemohon dalam sengketa pilkada lebih pada karena ”kecerdasan” menyiasati bukti dan saksi di hadapan hakim.
Dari sisi internal, sengketa pilkada adalah satu-satunya kasus yang berpotensi menghasilkan uang, dibandingkan kasus lain yang ditangani. Penghuni gedung MK (panitera, karyawan, staf, dan hakim) adalah manusia biasa yang bisa saja tergoda.
Jika logika suap ini benar dan juga sinyalemen Refly Harun adanya sejumlah fakta yang dia lihat dan alami sendiri selama jadi staf ahli, dan juga selaku pengacara dalam berbagai kasus yang pernah ia tangani maka patut diapresiasi sikap ketua MK yang membentuk tim investigasi internal, dengan kewenangan yang luas dan kuat untuk menguak jejaring gelap praktik suap. Tetapi harus diakui bahwa mengungkap praktik suap bukan perkara mudah.
Karena itu, jika persoalannya adalah untuk memulihkan citra MK serta kehormatan dan keluhuran moral para hakimnya maka tak ada jalan lain kecuali menerima hasil kerja tim investigasi tersebut. (10).
— Agus Riewanto, kandidat doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta
Ketua MK Mahfud MD bereaksi keras dengan melontarkan pernyataan bombastis sebagaimana dikutif sejumlah media, dan ia bersedia mundur dari jabatannya jika tuduhan itu terbukti. Berakhir pada pembentukan tim investigasi internal yang diketuai Refly dan sejumlah tokoh kredibel, dan membeberkan sejumlah bukti permulaan adanya suap, melibatkan seorang bupati, hakim dan keluarganya, serta panitera. Belakangan sejumlah hakim menolaknya, bahkan balik melaporkan ke KPK. (SM, 10-11/12/10)
Sesungguhnya tudingan adanya suap di tubuh MK menunjukkan bahwa kini tak ada lagi lembaga hukum yang bersih di mata publik.
Sebelumnya MK masih dianggap institusi yang relatif bersih, terutama ketika hanya menanggani masalah pengujian UU atas UUD 1945, sengketa antarlembaga negara, serta perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Namun saat pendulum kekuasaan kehakiman berubah, yakni Mahkamah Agung (MA) tak lagi menanggani sengketa hasil pilkada karena kekuasaan itu diberikan pemerintah ke MK, di sinilah mulai berembus isu suap.
Harus diakui bahwa sengketa pilkada adalah kasus politik yang rawan dimanipulasi menjadi kasus yang bisa ”dimainkan” karena para pemohon dan termohon dalam sengketa itu adalah calon kepala daerah yang sebagian besar konglomerat lokal yang ingin berkuasa di daerah. Mereka tak segan memainkan aneka jurus, termasuk menyuap, agar bisa memenangi sengketa tersebut.
Di antara sejumlah kasus yang ditangani MK, dan melahirkan kecurigaan publik adanya permainan adalah sengketa pilkada Kota Waringin Barat Kalimantan Tengah, yang putusannya hanya berdasar pada dugaan pelanggaran pidana politik uang yang masif, sistematis, dan terstruktur, serta mendiskualifikasi salah satu pasangan calon. Namun putusan MK inkonsisten pada kasus yang sama di Kabupaten Mandailing Natal Sumatra Utara karena putusannya adalah pilkada ulang. Inkonsistensi ini melahirkan kecurigaan publik pada independensi lembaga ini. (SM, 21/07/10).
Dirunut dari aspek ekonomi, sengketa pilkada adalah kasus berbiaya tinggi, sebab semua pemohon dan termohon dari seluruh Indonesia yang harus datang ke Jakarta untuk bersidang. Sejumlah pengurus KPU daerah menceritakan bahwa untuk mendatangkan saksi-saksi dalam sidang MK, ditambah akomodasi, makan, dan menyiapkan bukti-bukti hukum, butuh dana ratusan juta rupiah.
Menyiasati Bukti Belum lagi bila dari luar Jawa, biaya yang dikeluarkan bisa lipat dua. Pada titik ini mudah disinyalir keinginan untuk menang dalam sengketa pilkada di MK cukup besar dengan cara apapun, termasuk menyuap, memalsukan bukti hukum, dan saksi palsu.
Apalagi tugas hakim dalam mengadili bersifat judex juris, yakni memutus perkara berdasar pembuktian administrasi dan tertulis, bukan judex fictie yakni memutus perkara berdasarkan bukti material dan uji sahih di lapangan. Karena itulah terkadang kemenangan pemohon dalam sengketa pilkada lebih pada karena ”kecerdasan” menyiasati bukti dan saksi di hadapan hakim.
Dari sisi internal, sengketa pilkada adalah satu-satunya kasus yang berpotensi menghasilkan uang, dibandingkan kasus lain yang ditangani. Penghuni gedung MK (panitera, karyawan, staf, dan hakim) adalah manusia biasa yang bisa saja tergoda.
Jika logika suap ini benar dan juga sinyalemen Refly Harun adanya sejumlah fakta yang dia lihat dan alami sendiri selama jadi staf ahli, dan juga selaku pengacara dalam berbagai kasus yang pernah ia tangani maka patut diapresiasi sikap ketua MK yang membentuk tim investigasi internal, dengan kewenangan yang luas dan kuat untuk menguak jejaring gelap praktik suap. Tetapi harus diakui bahwa mengungkap praktik suap bukan perkara mudah.
Karena itu, jika persoalannya adalah untuk memulihkan citra MK serta kehormatan dan keluhuran moral para hakimnya maka tak ada jalan lain kecuali menerima hasil kerja tim investigasi tersebut. (10).
— Agus Riewanto, kandidat doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta
Wacana Suara Merdeka 17 Desember 2010