16 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Toleransi Antarperadaban

Toleransi Antarperadaban

Imam Mustofa

Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia

Tregedi runtuhnya menara kembar WTC seolah menjadi peristiwa yang membenarkan tesis Samuel P Huntington tentang benturan peradaban (clash of civilization).  Menurut murid Bernard Lewis ini, pasca terjadinya perang dingin yang akan terjadi adalah perang antarperadaban.

Peradaban yang dimaksud dalam tesis Huntington adalah entitas kultural atau pengelompokan kultural tertinggi dengan unsur-unsur objektifnya memiliki kesamaan, seperti bahasa, sejarah, agama, adat, institusi, dan subjektivitas identifikasi diri masyarakat. Suatu peradaban bisa mencakup beberapa negara-bangsa atau satu negara-bangsa saja. Di antara peradaban besar itu adalah peradaban Barat, Islam, Amerika Latin, Cina, dan Jepang.

Rivalitas
Peradaban yang tumbuh dan menjadi identitas budaya tidak jarang menimbulkan saling curiga, rivalitas, ketegangan, dan bahkan sampai menimbulkan konflik peradaban. Konflik tersebut bisa saja bersumber dari perbedaan ideologi dan persepsi terhadap iptek.

Menurut Huntington, sebagaimana dinukil Hamid Fahmi Zarkasyi (2007), di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga kini, hanya Islamlah satu-satunya peradaban yang berpotensi besar dan mengguncang peradaban Barat sebagaimana dibuktikan dalam sejarah. Ia melihat Islam sebagai tantangan Barat terpenting dan karena itu ia menyarankan persatuan dan kesatuan antara Amerika dan Eropa ditingkatkan untuk menghadapi Islam. Persatuan bukan hanya dalam bentuk militer dan ekonomi, namun juga moralitas dan nilai-nilai Barat. Amerika dan bangsa-bangsa Barat lain hendaknya menyebarkan nilai-nilai tersebut kepada peradaban lain. Huntington mengarahkan Barat untuk memberikan perhatian khusus kepada Islam.

Pada dasarnya, masyarakat dunia sampai saat ini, khususnya Barat, memahami Islam sebagai sebuah peradaban yang kaya akan konsep-konsep keilmuan, alam semesta, manusia, jiwa, kebahagiaan, dan sebagainya. Namun, apa substansi ajaran Islam dan apa pentingnya bagi peradaban manusia tampaknya ditutup-tutupi oleh kebanyakan orang Barat. Barat lebih melihat Islam sebagai agama yang mengancam peradaban Barat. Bahkan, sebagaimana diungkapkan Fawaz A Gerges (2002), Islam dilihat oleh banyak orang Amerika sebagai budaya yang bermusuhan dan merupakan ancaman bagi kepentingan dan nilai-nilai budaya mereka.

Namun demikian, ada sebagian tokoh dan intelektual Barat, seperti John L Esposito, Noam Chomsky, dan Robert W Hefner yang cukup memahami Islam. Begitu juga kalangan Islam moderat memahami pola pikir Barat, khusunya dalam politik internasional. Oleh karena itu, dialog dalam rangka menumbuhkembangkan toleransi antarperadaban menjadi suatu yang sangat urgen. Hal ini demi saling memahami dan menerima kebudayaan satu sama lain, sehingga benturan peradaban yang dikemukakan oleh Huntington tidak menjadi kenyataan.

Dialog
Dialog antarperadaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintahan dan civil society, dengan tujuan utama adalah timbulnya saling pengertian dan kerja sama sehingga tercipta sikap toleran antarperadaban. Dialog dipahami sebagai conversation of cultures yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menuntut perenungan dan rasa empati. Perbedaan peradaban mengharuskan-meminjam Habermas-suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.

Dialog antarperadaban sebagai upaya untuk mencari titik temu (common platform) yang dalam bahasa Alquran ialah kalimatun sawa'. Titik temu ini bisa berupa upaya untuk menghadapi dan menyelesaikan tantangan bersama (common challenges), seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, penegakan HAM, terorisme, dan korupsi. Bukan hanya itu, dialog perlu dilakukan sebagai upaya untuk saling memahami dan menghargai atas berbagai perbedaan persepsi terhadap isu-isu tertentu.

Hal ini semakin urgen untuk dilakukan setelah mencuatnya isu terorisme yang diseret ke arah sentimen agama. Bahkan, akhir-akhir ini banyak aksi yang dilakukan sebagian kalangan yang sangat tidak toleran dan menyinggung perasaan penganut agama tertentu, khususnya Islam. Sebagai contoh, publikasi karikatur Nabi Muhammad Saw; oleh surat kabar Jyllands Posten, pembuatan film Fitna oleh Gertz Wilder; dan yang terbaru adalah pembakaran Alquran oleh dua orang pendukung Pendeta Terry Jones (pendeta sebuah gereja kecil di Florida AS), Pendeta Bob Old dan Pendeta Danny Allen. Pembakaran Alquran tersebut dilakukan pada acara peringatan tragedi runtuhnya double WTC pada 11 September 2010 yang lalu.

Dialog dilakukan karena disadari adanya perbedaan atau bahkan konflik karena dunia berkarakter plural. Pluralisme peradaban merupakan perbedaan perspektif dalam memahami dunia. Pluralisme peradaban agak berbeda dengan pluralisme jenis-jenis lain, seperti gender, ras, agama, dan suku. Pluralisme peradaban juga agak berbeda dengan multikulturalisme yang diartikan sebagai kemajemukan budaya dalam sebuah komunitas negara-bangsa.

Manusia sebagai khalifah Allah berkewajiban membangun peradaban di muka bumi ini. Peradaban yang dibangun harus didasari nilai-nilai moral agar tercipta sikap yang saling memahami dan menghargai, meskipun terjadi perbedaan. Hal ini sangat perlu demi terciptanya toleransi antarperadaban untuk mencapai masyarakat dunia yang penuh keadilan, keamanan, dan ketenteraman dalam bingkai multikultur, budaya, dan peradaban.