16 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Jogja Memang Tidak (Di)istimewa(kan)

Jogja Memang Tidak (Di)istimewa(kan)

Febrie Hastiyanto
Alumnus Sosiologi FISIP UNS Solo, saat ini tinggal di Tegal Jawa Tengah.
Dari sejumlah artikel sambung-menyambung yang dimuat Lampung Post mengenai polemik keistimewaan di Yogyakarta, sebut saja artikel Keistimewaan untuk Yogyakarta yang ditulis Oyos Saroso H.N. (4-12), atau Sri Margana yang menulis Monarki yang Melahirkan Demokrasi (6-12) dan Mengangkat Keistimewaan Rakyat oleh Syafarudin (6-12) saya menilai artikel yang ditulis Syafarudinlah yang paling menarik untuk didiskusikan.
Setidaknya Syafarudin mengambil sudut pandang (angle) berbeda: tidak melulu bicara sejarah, filosofi, dan realitas sosiologis Yogyakarta yang katanya istimewa itu, tetapi memulai inisiatif untuk merumuskan formulasi keistimewaan Yogyakarta di masa depan. Diskusi-diskusi kita sudah saatnya melangkah menjawab pertanyaan bagaimana Yogyakarta melaksanakan keistimewaannya, bukan mengapa Yogyakarta menjadi istimewa.
Saya percaya keistimewaan Yogyakarta sejatinya bukan semata-mata soal penetapan Sultan dan Pakualam sebagai gubernur dan wakil gubernur secara turun-temurun. Keistimewaan Yogyarakarta dalam benak saya sebangun dengan argumentasi Syafarudin: takhta untuk rakyat. Bagaimana gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta bekerja, berbuat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Banyak pertanyaan yang harus dijawab, termasuk oleh Sultan sendiri: adakah jaminan “keistimewaan” Yogyakarta ini memberi manfaat lebih bagi rakyat, dibandingkan sistem yang “tidak istimewa” yang diterapkan daerah lain saat ini? Kalau benar “keistimewaan” memberi manfaat bagi rakyat, bagaimana ia diimplementasikan?
Keistimewaan Simbolik
Keistimewaan Yogyakarta bagi saya hari ini masih merupakan keistimewaan simbolik. Katakanlah Sultan dan Pakualam menjadi pemimpin daerah, tapi sistem pemerintahan daerah, meliputi perencanaan, penganggaran, dan birokrasi sama persis dengan sistem pemerintahan di daerah lain. Dengan kondisi seperti ini, faktor Sultan dan Pakualam hanya merupakan variabel kepemimpinan dari keistimewaan Yogyakarta. Pertanyaannya: seberapa besar faktor kepemimpinan Sultan dan Pakualam memberi kontribusi terhadap sistem pemerintahan daerah Yogyakarta yang "istimewa".
Konsep sultan ground sebagai milik Sultan, atau katakanlah Kesultanan secara de facto belum benar-benar tuntas didudukkan dalam sistem keagrariaan di Yogyakarta. Kita tahu, sistem agraria kita mengenal hak milik perseorangan yang mereduksi konsep sultan ground. Dalam konteks keistimewaan Yogyakarta, sultan groud merupakan potensi ekonomi daerah. Kalau kita andaikan di Yogyakarta monarki telah tamat riwayatnya, maka sultan ground hari ini menjelma menjadi potensi ekonomi daerah. Bentuknya dapat berupa otonomi pemanfaatan agraria daerah, meliputi sistem perpajakan, sistem kepemilikan, dan sistem pengelolaan yang diatur seluruhnya oleh Sultan dan rakyat Yogya.
Implementasi Keistimewaan
Pertanyaan paling sulit dijawab hari ini adalah bagaimana keistimewaan Yogyakarta diformulasikan secara lebih teknis, dan bagaimana pula keistimewaan itu diimplementasikan. Harapan-harapan masyarakat Yogyakarta sebagaimana dikutip Syafarudin dari Kedaulatan Rakyat seperti mimpi untuk mendapat sekolah gratis, prioritas dalam rekruitmen tenaga kerja, atau mendapat diskon khusus saat berbelanja merupakan bentuk-bentuk riil dan hilir dari keistimewaan. Padahal sebelum konsep keistimewaan utuh diformulasikan, mustahil harapan-harapan publik ini terwujud.
Keistimewaan Yogyakarta secara sederhana harus mewujud di bidang politik dan pemerintahan, meliputi sistem birokrasi, penetapan gubernur dan wakil gubernur, skema penganggaran dan hak-hak istimewa pengelolaan pertanahan, aset, dan keuangan serta kedudukan Kesultanan dan Pura Pakualaman. Tesis bahwa Kesultanan dan Pakualaman saat ini hanya menjadi cagar budaya tidak sepenuhnya terbukti, mengingat Kesultanan dan Pakualaman secara aktif melibatkan diri dalam sistem politik dan pemerintahan di Yogyakarta ditandai dengan polemik penetapan Sultan sebagai gubernur, yang jelas-jelas merupakan pemimpin politik dan pemerintahan. Mungkin kita perlu lebih terbuka dan jujur, untuk memberi ruang lebih bagi Kesultanan dan Pakualaman sebagai institusi dalam sistem politik dan pemerintahan di Yogya. Namun, bila keterbukaan ini diberikan bukan tidak mungkin menjadi yurisprudensi bagi Kesultanan dan Kerajaan yang masih eksis keberadaannya di Tanah Air. Bila Kesultanan Yogyakarta dan Pura Pakualaman dapat membangun tesis dan argumentasi keistimewaannya secara historis, hal yang sama bukan tak mungkin dilakukan oleh kesultanan lain untuk menuntut hak istimewa yang sama.

Opini Lampung Post 17 Desember 2010