Oleh Nana Jiwayana
Dalam kesempatan di Forum Demokrasi Bali beberapa waktu lalu, pemerintah mengatakan kondisi demokratis yang terjadi di Indonesia membawa banyak manfaat bagi negeri ini. Hal itu ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil, kondisi keamanan yang relatif kondusif, hingga tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik. Jika kita menggarisbawahi kalimat terakhir, kita tentu saja akan mengerutkan dahi. Benarkah kondisi masyarakat kita semakin sejahtera. Jika kontradiksi dari kesejahteraan ini adalah kemiskinan, kita tentu saja sulit menyepakati pernyataan pemerintah tersebut.
Berdasarkan laporan terbaru dari Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia pada 2010 ini bertambah 12,4 juta jiwa sehingga keseluruhan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 43,4 juta jiwa. Kategori miskin dalam perhitungan Bank Dunia ini disandarkan atas jumlah penghasilan di bawah Rp 6.000 per hari ("PR", 14/12). Melihat standar miskin tersebut, tentunya kita merasa sangat miris. Dibandingkan dengan pendapatan para pengemis di Kota Bandung, jumlah Rp 6.000 itu masih jauh lebih kecil. Beberapa bulan ke belakang, penulis sempat mengadakan suatu observasi berkaitan dengan jumlah pendapatan yang bisa diperoleh pengemis di Kota Bandung dengan mengambil sampel pengemis di daerah Leuwipanjang, Pasteur, dan Jalan Ottista. Dalam observasi tersebut penulis mendapatkan data bahwa pendapatan pengemis di daerah tersebut bisa mencapai Rp 50.000 hingga Rp 200.000 tiap hari. Dengan membandingkan kedua pendapatan tersebut, dapat dipastikan jumlah penduduk Indonesia yang lebih sengsara dibandingkan dengan pengemis sangatlah besar.
Dalam pandangan penulis, kemiskinan di Indonesia ini merupakan ironi besar. Negeri ini memiliki kekayaan yang melimpah disertai tanah yang begitu subur. Kemiskinan di Indonesia tak ubahnya seperti pepatah tikus mati di lumbung padi.
Kemiskinan masyarakat bagaimanapun merupakan kegagalan sistem. Ketidakmampuan negara memberikan lapangan pekerjaan merupakan salah satu faktor kian bertambahnya angka kemiskinan ini. Ketidakmampuan pemerintah dalam membuka lapangan pekerjaan memaksa sebagian rakyat kita menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Buruknya, sebagai manusia yang sangat membutuhkan pekerjaan, TKI sering dipandang sebelah mata oleh majikannya. Telah banyak kasus pelecehan terhadap rakyat kita di negeri majikan terutama yang menimpa TKW kita, juga pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Tak jarang, para TKI pun tidak diberikan gaji.
Kegagalan sistem dalam melawan kemiskinan ditandai pula dengan kesalahan pemberdayaan potensi negeri. Tanah subur yang terhampar di seluruh perdesaan di Indonesia merupakan lahan sempurna untuk menyejahterakan rakyat. Masyarakat Indonesia yang secara kultural bermata pencaharian sebagai petani hanya membutuhkan dukungan pemerintah dalam memberikan pupuk dan benih berkualitas yang terjangkau, memberikan subsidi untuk perluasan usahanya, menyediakan prasarana untuk pendistribusian hasil pertaniannya, serta membuka pasar untuk hasil pertaniannya. Akan tetapi yang terjadi, ada kesan negara sedang mencabut masyarakat Indonesia dari kehidupan kulturalnya. Pemerintah membuka pintu luas agar lahan subur di perdesaan dialihfungsikan menjadi kawasan industri.
Alih fungsi lahan pertanian ini telah berdampak banyak pada petani kita. Ketika lahan pertanian telah berubah menjadi gedung pabrik, petani hanya bisa pasrah menjadi penganggur. Kalaupun ada petani yang dipekerjakan menjadi karyawan pabrik, jumlahnya begitu terbatas dan hanya dipekerjakan pada sektor kasar, seperti pemotong rumput atau menjadi karyawan rendah lainnya.
Tak jauh berbeda dengan alih fungsi lahan pertanian menjadi pabrik, lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi vila juga sangat berpengaruh pada petani kita. Banyak petani yang awalnya begitu produktif mengolah lahan pertaniannya beralih menjadi sosok pasif sebagai penunggu vila. Contoh kasus banyak kita temukan di kawasan Puncak, Bogor, atau di kawasan vila di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.
Berbagai program mengentaskan kemiskinan memang banyak dijalankan pemerintah seperti BLT, KUR, dan PNPM untuk menekan angka kemiskinan. Sayangnya, efektivitas program tersebut belum optimal. Banyaknya program yang dibiayai utang luar negeri sering bukannya efektif, tetapi malah jadi bumerang bagi rakyat. Dengan semakin menumpuknya utang luar negeri kita, rakyat juga yang harus membayarnya.
Untuk mengentaskan kemiskinan memang dibutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh. Persoalan kemiskinan dan pengangguran tidak akan selesai hanya dengan pemaparan visi misi kosong tanpa implementasi konkret. Persoalan ini pun tidak akan selesai apabila elite hanya menjadikan masalah ini sebagai komoditas politik di mana kemiskinan ditunggangi demi kepentingan kekuasaan. Elite politik pemegang kebijakan harus bisa menghilangkan egonya dan menaruh kepentingan rakyat luas di atas kepentingan pribadi atau golongannya. Semoga dengan kesungguhan elite, rakyat Indonesia bisa terbebas dari jerat kemiskinan.***
Penulis, Ketua Litbang ECOSOC Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Dalam kesempatan di Forum Demokrasi Bali beberapa waktu lalu, pemerintah mengatakan kondisi demokratis yang terjadi di Indonesia membawa banyak manfaat bagi negeri ini. Hal itu ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil, kondisi keamanan yang relatif kondusif, hingga tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik. Jika kita menggarisbawahi kalimat terakhir, kita tentu saja akan mengerutkan dahi. Benarkah kondisi masyarakat kita semakin sejahtera. Jika kontradiksi dari kesejahteraan ini adalah kemiskinan, kita tentu saja sulit menyepakati pernyataan pemerintah tersebut.
Berdasarkan laporan terbaru dari Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia pada 2010 ini bertambah 12,4 juta jiwa sehingga keseluruhan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 43,4 juta jiwa. Kategori miskin dalam perhitungan Bank Dunia ini disandarkan atas jumlah penghasilan di bawah Rp 6.000 per hari ("PR", 14/12). Melihat standar miskin tersebut, tentunya kita merasa sangat miris. Dibandingkan dengan pendapatan para pengemis di Kota Bandung, jumlah Rp 6.000 itu masih jauh lebih kecil. Beberapa bulan ke belakang, penulis sempat mengadakan suatu observasi berkaitan dengan jumlah pendapatan yang bisa diperoleh pengemis di Kota Bandung dengan mengambil sampel pengemis di daerah Leuwipanjang, Pasteur, dan Jalan Ottista. Dalam observasi tersebut penulis mendapatkan data bahwa pendapatan pengemis di daerah tersebut bisa mencapai Rp 50.000 hingga Rp 200.000 tiap hari. Dengan membandingkan kedua pendapatan tersebut, dapat dipastikan jumlah penduduk Indonesia yang lebih sengsara dibandingkan dengan pengemis sangatlah besar.
Dalam pandangan penulis, kemiskinan di Indonesia ini merupakan ironi besar. Negeri ini memiliki kekayaan yang melimpah disertai tanah yang begitu subur. Kemiskinan di Indonesia tak ubahnya seperti pepatah tikus mati di lumbung padi.
Kemiskinan masyarakat bagaimanapun merupakan kegagalan sistem. Ketidakmampuan negara memberikan lapangan pekerjaan merupakan salah satu faktor kian bertambahnya angka kemiskinan ini. Ketidakmampuan pemerintah dalam membuka lapangan pekerjaan memaksa sebagian rakyat kita menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Buruknya, sebagai manusia yang sangat membutuhkan pekerjaan, TKI sering dipandang sebelah mata oleh majikannya. Telah banyak kasus pelecehan terhadap rakyat kita di negeri majikan terutama yang menimpa TKW kita, juga pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Tak jarang, para TKI pun tidak diberikan gaji.
Kegagalan sistem dalam melawan kemiskinan ditandai pula dengan kesalahan pemberdayaan potensi negeri. Tanah subur yang terhampar di seluruh perdesaan di Indonesia merupakan lahan sempurna untuk menyejahterakan rakyat. Masyarakat Indonesia yang secara kultural bermata pencaharian sebagai petani hanya membutuhkan dukungan pemerintah dalam memberikan pupuk dan benih berkualitas yang terjangkau, memberikan subsidi untuk perluasan usahanya, menyediakan prasarana untuk pendistribusian hasil pertaniannya, serta membuka pasar untuk hasil pertaniannya. Akan tetapi yang terjadi, ada kesan negara sedang mencabut masyarakat Indonesia dari kehidupan kulturalnya. Pemerintah membuka pintu luas agar lahan subur di perdesaan dialihfungsikan menjadi kawasan industri.
Alih fungsi lahan pertanian ini telah berdampak banyak pada petani kita. Ketika lahan pertanian telah berubah menjadi gedung pabrik, petani hanya bisa pasrah menjadi penganggur. Kalaupun ada petani yang dipekerjakan menjadi karyawan pabrik, jumlahnya begitu terbatas dan hanya dipekerjakan pada sektor kasar, seperti pemotong rumput atau menjadi karyawan rendah lainnya.
Tak jauh berbeda dengan alih fungsi lahan pertanian menjadi pabrik, lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi vila juga sangat berpengaruh pada petani kita. Banyak petani yang awalnya begitu produktif mengolah lahan pertaniannya beralih menjadi sosok pasif sebagai penunggu vila. Contoh kasus banyak kita temukan di kawasan Puncak, Bogor, atau di kawasan vila di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.
Berbagai program mengentaskan kemiskinan memang banyak dijalankan pemerintah seperti BLT, KUR, dan PNPM untuk menekan angka kemiskinan. Sayangnya, efektivitas program tersebut belum optimal. Banyaknya program yang dibiayai utang luar negeri sering bukannya efektif, tetapi malah jadi bumerang bagi rakyat. Dengan semakin menumpuknya utang luar negeri kita, rakyat juga yang harus membayarnya.
Untuk mengentaskan kemiskinan memang dibutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh. Persoalan kemiskinan dan pengangguran tidak akan selesai hanya dengan pemaparan visi misi kosong tanpa implementasi konkret. Persoalan ini pun tidak akan selesai apabila elite hanya menjadikan masalah ini sebagai komoditas politik di mana kemiskinan ditunggangi demi kepentingan kekuasaan. Elite politik pemegang kebijakan harus bisa menghilangkan egonya dan menaruh kepentingan rakyat luas di atas kepentingan pribadi atau golongannya. Semoga dengan kesungguhan elite, rakyat Indonesia bisa terbebas dari jerat kemiskinan.***
Penulis, Ketua Litbang ECOSOC Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Opini Pikiran Rakyat 17 Desember 2010