Pembangunan ekonomi adalah prasyarat penting pembangunan atau restrukturisasi politik karena sekaligus menjadi material bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban.
Pembangunan ekonomi harus berjalan di atas moral ekonomi yang ada. Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa memberikan landasan moral dengan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kesetaraan/permusyawaratan, dan keadilan.
Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim bersekutu dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Baihaqi). Norma-norma tersebut kemudian secara tegas diejawantahkan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: (1) ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Dalam ayat tiga ditegaskan lagi bahwa, ”Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kedua ayat konstitusi ini perlu ditegaskan kembali sebagai tolok ukur pembangunan ekonomi kita dewasa ini.
Ekonomi dan organisasi
Pentingnya sektor ekonomi bagi pengembangan organisasi telah lama disadari, Sarekat Islam misalnya lahir dari Sarekat Dagang Islam. Begitu juga Nahdlatul Ulama lahir dari Nahdlatut Tujjar (Gerakan Dagang Santri).
Penguatan basis ekonomi ini membuat NU berdiri tegak dan bersikap nonkolaborasi (Nonko) dengan pemerintah kolonial, tanpa bantuan, tetapi bisa terus berjalan. Dalam bidang ekonomi ini NU juga mengetengahkan prinsip pembangunan ekonomi yang tertuang dalam mabadi khaira ummah (prinsip pengembangan masyarakat), yaitu amanah (terpercaya), ta’awun (gotong royong), wafa bil ’ahdi (trust), al’adl (adil), dan istiqomah (konsisten dan ulet). Inilah moral ekonomi kaum santri.
Dilihat dari amanat konstitusi dan moral ekonomi, ternyata ada banyak masalah yang kita hadapi. Pertama, sistem perekonomian dengan spirit pasar bebas dan persaingan bebas yang digerakkan oleh GATT maupun WTO dengan sendirinya bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi kita. Persaingan bebas tidak hanya menghancurkan usaha kecil, melainkan juga perusahaan nasional sehingga banyak yang pailit.
Kedua, terjadinya monopoli oleh kalangan swasta (asing) atas sektor-sektor strategis, baik bumi, air, energi, tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menolak segala bentuk monopoli terhadap sektor strategis negara. Ini karena monopoli swasta akan melumpuhkan ketahanan dan kemandirian negara. Dengan demikian, negara tidak lagi memiliki biaya untuk menggerakkan roda pemerintahannya sendiri dan tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Akhirnya negara hidup dalam lilitan utang yang mengancam kedaulatan negara.
Al Quran bahkan telah mengajarkan dalam surat al Hasyr ayat 7 yang berbunyi: ”Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Sejak awal kemerdekaan para founding fathers kita telah mendesain perekonomian kita dengan berorientasi kebangsaan dan kerakyatan. Dalam kenyataannya, mengubah orientasi ekonomi kolonial yang eksploitatif menjadi ekonomi nasional tidak mudah, perlu bertahun-tahun untuk memindahkannya. Belum lagi mengubah orientasi ekonomi kolonial yang elitis-kapitalis menjadi ekonomi kerakyatan. Ini merupakan perjuangan yang belum berakhir hingga saat ini. Pengutamaan pertumbuhan dengan mengabaikan pemerataan semasa Orde Baru telah melumpuhkan ekonomi rakyat sehingga menjadikan fondasi ekonomi nasional rapuh, sekali ditimpa krisis runtuh.
Demokrasi ekonomi
Gerakan reformasi telah cukup menghasilkan perubahan di sektor politik sehingga demokrasi politik relatif dicapai. Akan tetapi, demokrasi ekonomi justru semakin jauh dari harapan. Runtuhnya usaha rakyat, baik karena kalah dalam persaingan maupun mati karena regulasi, masih terus terjadi.
Keluhan sulitnya proses perizinan usaha semakin menyulitkan bangkitnya ekonomi rakyat. Akhirnya mereka menjadi usaha sektor informal yang tidak mendapatkan perlindungan hukum dan tidak mendapat akses permodalan. Bahkan, mereka rawan razia dan penggusuran. Padahal, mereka ini berjasa dalam menghidupi masyarakat dengan menyediakan barang murah, itulah yang dialami para pedagang kaki lima. Ironisnya, sektor ini bukan dimodali, malah mau diperas oleh pemerintah sendiri dengan dikenai pajak tinggi.
Kunci pembangunan perekonomian nasional sebenarnya tidak terlalu sulit kalau kita kembali pada norma konstitusi. Dengan dikuasainya sektor strategis, negara akan mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Sementara untuk menumbuhkan perekonomian rakyat juga tidak terlampau sulit. Sebenarnya bantuan modal tidak terlalu penting, yang terpenting menyediakan pasar. Bila produksi terserap pasar dengan harga memadai, mereka akan mencari modal sendiri. Selain itu, rakyat membutuhkan keamanan usaha walaupun tidak dimodali asal tidak diganggu dengan berbagai macam regulasi dan monopoli, termasuk menggerojok dengan barang impor, ekonomi rakyat akan tumbuh berdasar inisiatif sendiri.
Saat ini masih terjadi salah kaprah orientasi kerakyatan seorang pemimpin, yang sering ditunjukkan dengan hadir di tengah masyarakat yang sedang menderita dengan ikut bersedih. Ini sebenarnya tidak lebih hanya kepedulian personal yang tidak akan mengubah nasib rakyat. Namun, yang terpenting seorang pemimpin adalah mampu mewujudkan kepedulian tersebut dalam undang-undang dan kebijakan yang memihak pada kepentingan rakyat dan kepentingan nasional.
Untuk melindungi ekonomi rakyat dan menyelamatkan aset negara tidak biasa diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Dalam persaingan ini rakyat dalam posisi lemah, padahal jumlah mereka mayoritas. Oleh karena itu, perlu campur tangan negara untuk melindungi mereka. Demikian juga hanya pemerintah yang mampu menjaga kepentingan nasional. Penguatan pemerintah sangat penting guna melindungi kepentingan ekonomi rakyat dan ekonomi nasional. Inilah amanat dari konstitusi kita dan itu pulalah tujuan didirikannya negara Republik Indonesia.
Pancasila harus tetap menjadi landasan moral ekonomi kita, demikian juga Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin kesejahteraan masyarakat harus terus dipertahankan, dan itu tanggung jawab kita bersama. Terutama bagi yang peduli martabat bangsa dan peduli pada kesejahteraan rakyat.
SAID AQIL SIROJ Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Opini Kompas 17 Desember 2010