16 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Independensi KPU

Independensi KPU

Oleh: Sigit Pamungkas
(Dosen Pascasarjana Ilmu Politik UGM)

Masih empat tahun lagi, tapi kualitas pemilu 2014 kini sedang dalam pertaruhan. Pemilu 2014 akan kembali menjadi laboratorium percobaan. Kemungkinan itu akan menjadi kenyataan apabila revisi tentang UU penyelenggaraan pemilu yang saat ini dilakukan DPR berhasil menyepakati perubahan tentang komposisi komisioner KPU. Beberapa partai, terutama PDIP dan Golkar, menghendaki komisioner KPU dapat berasal dari partai politik, partisan. PD dan PAN masih bertahan agar KPU diisi oleh individu-individu independen.

Argumen perubahan terutama terkait dengan kualitas pemilu 2009. Dalam pemilu tersebut, komisioner dari jalur independen dianggap gagal membawa pemilu berjalan dengan standar kualitas yang baik. Pemilu berjalan buruk dan bahkan disebut sebagai pemilu terburuk dalam sejarah pemilu-pemilu pada era transisi.

Jika memakai standar internasional kualitas penyelenggaraan pemilu, pemilu kemarin memang hanya memenuhi empat dari sepuluh standar pemilu yang berkualitas (Schmidt, 2010). Pemilu kemarin berhasil dalam menjamin kebebasan berekspresi, reportase yang cukup berimbang terhadap partai dan kandidat, kondisi yang damai untuk pelaksanaan pemilu, serta resolusi penyelesaian berfungsi dengan baik.

Sementara itu, pemilu kemarin gagal dalam hal menyusun daftar pemilih yang akurat, transparansi proses penghitungan suara, dan ketersediaan informasi kepada pemilih. Publikasi hasil yang tidak dapat diaudit, absennya pelatihan yang baik bagi staf pemilu, dan rendahnya keterlibatan civil society dalam seluruh aspek proses pemilu merupakan kegagalan lain dalam pemilu kemarin.


Salah Diagnosis
Komisioner KPU sekarang ini memang pantas untuk bertanggung jawab terhadap munculnya arus balik agar partai politik turut serta mengelola pemilu. Pada masa mereka, pemilu gagal memenuhi standar kualitas pemilu yang pernah diletakkan oleh komisioner KPU sebelumnya. Meskipun demikian, itu tidak sepenuhnya kesalahan mereka. Sebab, KPU 2009 sejak awal dibentuk memang telah didesain untuk tidak bekerja secara profesional.

Kenyataan itu sangat terlihat dari keseluruhan proses rekruitmen yang tidak masuk akal dan jauh dari profesionalitas. Pemerintah dan partai politik berperan atas hal itu.  Pemerintah mendesain metode seleksi yang memastikan orang-orang terbaik dalam bidangnya tidak lolos seleksi. Sementara itu, partai politik berperan memilih komisioner yang dianggap sebagai "orang kita". Kualifikasi pemerintah dan partai dalam menyeleksi bukan pertimbangan profesionalitas, melainkan keberpihakan. Tujuannya adalah agar kepentingan pemerintah dan partai dapat dititipkan dan jika perlu memengaruhi dan  mengontrol keputusan yang diambil oleh KPU.

Komisioner KPU di tengah jalan kemudian lompat pagar menjadi pengurus partai politik hanya satu gejala permukaan yang menunjukkan sekaligus memperkuat bahwa komisioner KPU "orang  kita". Dengan demikian, proses politik dalam rekruitmen KPU sesungguhnya menjadi sebab paling besar dalam menghadirkan pemilu yang tidak profesional.

Watak Organisasi
Mengubah sumber rekruitmen komisioner KPU dari independen ke partai politik kemudian menjadi tidak relevan. Penolakan bukan hanya karena persoalan keliru dalam mendiagnosis penyebab kegagalan pemilu kemarin. Lebih jauh adalah berkaitan dengan konsekuensi yang muncul dari sebuah pengorganisasian politik. Perilaku  organisasi sedikit banyak adalah dipengaruhi oleh bagaimana sebuah kelembagaan diorganisasi sebab setiap pengorganisasian politik memiliki watak tersendiri (Skocpol, 1992).

Pada konteks itu, pengelolaan pemilu yang  profesional sesungguhnya adalah watak dari pengorganisasian kelembagaan yang independen. Jika dalam perjalanan pemilu kemudian tidak berjalan dengan baik, ia tidak lebih dari sebuah kecelakaan sejarah.  Profesionalitas adalah watak dasar dari pengorganisasian yang independen karena nirkonflik kepentingan. Sebaliknya, ketika KPU tersusun dari para  partisan, pelaksanaan pemilu yang profesional adalah tidak lebih dari sebuah keberuntungan atau berkah sejarah. Sebab, mengikuti logika Olson, watak dasar dari kelembagaan pemilu yang partisan adalah konfliktual. Akibatnya, potensi gagal pemilu adalah lebih besar sukses pemilu. Keberadaan partisan pemilu melahirkan konflik kepentingan dan senantiasa menjebaknya dalam standar ganda yang tidak berkesudahan.

Pelaksanaan pemilu 1999 yang diisi oleh partisan pemilu tidak lepas dari situasi ini. Dibalik cerita suksesnya, saat itu konflik partai di KPU sangat mencolok sehingga keputusan KPU beberapa kali melalui voting dan dalam tubuh KPU melahirkan faksi-faksi politik. Fenomena itu sekaligus menggugurkan tentang idealitas pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan oleh partisan politik. Pengorganisasian KPU dengan melibatkan partisan politik dengan demikian lebih memastikan pelaksanaan pemilu yang tidak profesional dibandingkan sebaliknya.

Dengan demikian, jalan terbaik bagi profesionalitas dan kredibilitas pemilu adalah komisioner KPU tetap berasal dari jalur independen. Perubahan undang-undang penyelenggara pemilu sebaiknya diarahkan untuk memastikan mereka yang profesional,  kredibel, dan memiliki kompetensi berkaitan dengan pemilu yang akan terpilih. 

Selain itu, penting juga untuk memastikan adanya kontrol atas perilaku komisioner KPU. Dalam banyak kasus, KPU sering kali bertindak semena-mena terhadap pelaksanaan pemilu sehingga menciptakan rasa tidak adil dan protes dari peserta pemilu maupun  masyarakat umum.

Terakhir, yang tidak kalah penting adalah ketika masa pemilu sudah berjalan, memberikan kepercayaan kepada komisioner KPU bekerja secara profesional perlu dilakukan. Partai politik harus menjauhkan diri dari kecenderungan untuk menang pemilu dengan memanfaatkan jasa komisioner KPU.
Opini Republika 17 Desember 2010
(-)