Sikap hormat dan bakti kepada para ibu tecermin pada peringatan Hari Ibu. Delapan puluh negara memperingatinya pada tanggal berbeda-beda. Kita di Indonesia memperingatinya minggu depan.
Menurut sejarah, Inggris yang memulai tradisi ini berabad-abad lalu. Masyarakat Inggris waktu itu memilih hari Minggu keempat sekitar Maret dan awal April. Pada abad 18, para pembantu di rumah-rumah orang kaya sengaja diliburkan pada Hari Ibu agar mereka bisa bersama ibu masing-masing. Kebiasaan itu berhenti setelah Revolusi Industri mengubah gaya hidup masyarakat Inggris.
Di Amerika, dan banyak negara lainnya, Hari Ibu jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei. Di Amerika, pada hari itu anak-anak membebaskan para ibu dari kesibukan dapur. Sebaliknya, sebagai tanda kasih dan terima kasih, merekalah yang melayani para ibu.
Hari Ibu di Indonesia mengandung unsur politis. Tanggal 22 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia mengadakan pertemuan pertama di Yogyakarta, disemangati Sumpah Pemuda dua bulan sebelumnya. Sepuluh tahun kemudian, 1938, dalam kongresnya di Bandung, 28 Desember diresmikan menjadi Hari Ibu, yang dikukuhkan dan menjadi hari nasional berdasarkan keppres tertanggal 16 Desember 1959.
Memaknai egaliter
Peringatan Hari Ibu di Indonesia bersifat politis karena terimbas gerakan perempuan sedunia yang ingin mengubah peran tradisionalnya. Gerakan yang juga bermula di Inggris pada abad 18 itu kemudian menyebar ke banyak negara, mencakup kalangan luas. Kaum perempuan ingin dapat menentukan sendiri karier maupun pola kehidupan mereka; ingin mendapatkan hak sama seperti yang diperoleh laki-laki. Bentuk gerakan itu beragam, dari yang moderat sampai yang radikal. Yang disebut gerakan Women's Lib dengan cepat menyebar ke Amerika dan negara-negara Eropa pada tahun 1960-1970-an.
Kongres Perempuan Indonesia sejak berdiri sampai saat ini telah berganti-ganti nama, sampai akhirnya bermuara pada nama Kongres Wanita Indonesia. Visi dan misinya terus berkembang. Bila pada awalnya Hari Ibu lebih untuk mengenang semangat perjuangan kaum perempuan demi peningkatan mutu kehidupan bangsa, sekarang maknanya meluas; sesuai dengan penafsiran dan pilihan perempuan tentang perannya dalam pembangunan masyarakat, tanpa merendahkan martabat maupun merugikan masyarakat.
Tentang martabat perempuan, secara universal benih-benih egaliter antara laki-laki dan perempuan baru mulai tumbuh pada abad 19, kemudian persamaan hak baru pada abad 20 berangsur dilembagakan; suatu proses yang meliputi hak sama bagi perempuan untuk terjun ke masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah sama.
Kenyataan di Indonesia sekarang: umumnya perempuan masih rikuh dan dibuat rikuh untuk memakai haknya secara penuh. Kepekaan rasa keibuan membuat perempuan saling mengamati; juga membuat perempuan tidak semena-mena memajukan diri. Tradisi, agama, dan pendidikan memberi pengaruh. Prasangka yang menjurus pada diskriminasi vertikal (atas-bawah) maupun horizontal (antarsederajat) masih terus membayangi. Di samping itu, perempuan memang memiliki tanggung jawab dan hak istimewa untuk membina anak dari lahir sampai dewasa; tugas berat yang memerlukan usaha keras dan pemahaman psikologis. Lembaga pendidikan mungkin menjadi sumber ilmu pengetahuan, tetapi tidak mampu memberikan asah-asih-asuh seperti yang diberikan ibu.
Seiring dengan kemajuan perempuan sekarang, keraguan laki-laki maupun perempuan dalam menjalankan peran masing-masing di keluarga baru bisa berubah bila semua berkesempatan mengembangkan potensi tanpa pertimbangan fisiologis maupun psikologis. Mungkinkah? Selalu ada saja pihak-pihak yang mengambil sikap ekstrem. Feminisme, misalnya, sering berkonotasi negatif karena ada sikap radikal pada sebagian penganutnya. Misalnya ada saja yang ingin bebas dari tugas mengandung dan mengasuh anak. Sementara itu, faktanya karena alasan biologis dan psikologis, kewajiban tersebut tidak mungkin dipindahtugaskan. Sebenarnya feminisme, seperti ideologi-ideologi lain, pun memiliki serangkaian resep perubahan yang positif.
Toleransi di lapangan kerja
Peningkatan pendidikan dan perolehan hak sama menimbulkan konsekuensi dalam interaksi antargender. Jumlah perempuan yang memasuki lapangan kerja, yang semula menjadi monopoli laki-laki, terus meningkat. Timbul persoalan 'aksi dan reaksi'.
Ada buku menarik The Quiet Rebel (1985) karya Dr Glynis M Breakwell, ahli psikologi berkebangsaan Inggris yang pernah mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Inggris, termasuk Oxford dan Surrey. Tulisannya didasarkan pada penelitian kualitatif. Intinya dia berkesimpulan: jumlah perempuan karier masih kecil. Bagi mereka, lapangan kerja bukanlah taman mawar untuk tamasya. Mereka akan menjumpai pohon-pohon mawar berduri. Kebanyakan perempuan pernah mengalami diskriminasi gender. Sebagian malahan terus-menerus mengalaminya. Dunia kerja memberi tantangan berat. Berhasil tidaknya bergantung pada daya tahan dan kemampuan. Jangan berharap ada yang akan membantu karena ini masalah pribadi.
Sekalipun perempuan karier sudah berbulat tekad, lapangan kerja tetap saja menuntut kesiapan mental seperti ketika petinju akan memasuki ring. Masalahnya, tidak banyak kolega laki-laki yang memiliki sikap akomodatif. Umumnya mereka menganggap kedatangan perempuan karier, terutama untuk jabatan penting, sebagai ancaman. Jabatan itu sendiri kemudian mereka anggap kehilangan kesan macho, tidak gagah lagi. Dr Breakwell mengutip seorang laki-laki muda, doktor ahli kimia: "Saya bergabung dengan tim riset dipimpin perempuan muda sebaya. Kemampuannya tidak diragukan, tetapi saya sulit menerima keputusannya tanpa membantah. Saya ingin membuktikan bahwa memiliki keunggulan, yang rasanya tidak perlu saya tunjukkan kalau bosnya laki-laki. Rasanya tidak nyaman disuruh mengerjakan sesuatu di depan perempuan-perempuan anggota staf lainnya. Saya sendiri heran mengapa bersikap demikian. Selama ini saya sungguh-sungguh merasa bersikap egaliter."
Laki-laki yang merasa terancam oleh perempuan karier memberikan reaksi berbeda-beda. Di bawah sadar, ada yang mengambil sikap sebagai gamesman yang merasa harus menaklukkan, atau sebagai joker yang niatnya menertawakan. Tujuannya sama: untuk mempermalukan, membuat tidak nyaman, dan menganggap remeh.
Rasanya banyak perempuan karier pernah mengalami sandungan di tempat kerja. Semakin tinggi dia menjulang, semakin keras badai menerjang. Dalam situasi yang relatif normal pun, masih ada persoalan dalam interaksi antarteman sekerja. Menurut Dr Breakwell, interaksi antarmanusia memiliki pola sama. Ketika laki-laki memerlukan model dalam interaksinya dengan kolega perempuan, mereka sering merujuk pada model hubungan yang mereka kenal di rumah: kolega perempuan dianggap sebagai ibu, sebagai istri, atau sebagai anak. Jelas, impor pola interaksi domestik ke tempat kerja merugikan perempuan karier.
Sandungan-sandungan akan selalu ada di tempat kerja, apakah untuk laki-laki, lebih-lebih untuk perempuan. Namun, simak pendapat Ibu Kartini lebih seabad yang lalu: air mata perempuan tampaknya tidak akan mengalir sia-sia sebab ikut menumbuhkan benih-benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang menyehatkan generasi mendatang (Door Duisternis Tot Licht, 1902).
Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
Menurut sejarah, Inggris yang memulai tradisi ini berabad-abad lalu. Masyarakat Inggris waktu itu memilih hari Minggu keempat sekitar Maret dan awal April. Pada abad 18, para pembantu di rumah-rumah orang kaya sengaja diliburkan pada Hari Ibu agar mereka bisa bersama ibu masing-masing. Kebiasaan itu berhenti setelah Revolusi Industri mengubah gaya hidup masyarakat Inggris.
Di Amerika, dan banyak negara lainnya, Hari Ibu jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei. Di Amerika, pada hari itu anak-anak membebaskan para ibu dari kesibukan dapur. Sebaliknya, sebagai tanda kasih dan terima kasih, merekalah yang melayani para ibu.
Hari Ibu di Indonesia mengandung unsur politis. Tanggal 22 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia mengadakan pertemuan pertama di Yogyakarta, disemangati Sumpah Pemuda dua bulan sebelumnya. Sepuluh tahun kemudian, 1938, dalam kongresnya di Bandung, 28 Desember diresmikan menjadi Hari Ibu, yang dikukuhkan dan menjadi hari nasional berdasarkan keppres tertanggal 16 Desember 1959.
Memaknai egaliter
Peringatan Hari Ibu di Indonesia bersifat politis karena terimbas gerakan perempuan sedunia yang ingin mengubah peran tradisionalnya. Gerakan yang juga bermula di Inggris pada abad 18 itu kemudian menyebar ke banyak negara, mencakup kalangan luas. Kaum perempuan ingin dapat menentukan sendiri karier maupun pola kehidupan mereka; ingin mendapatkan hak sama seperti yang diperoleh laki-laki. Bentuk gerakan itu beragam, dari yang moderat sampai yang radikal. Yang disebut gerakan Women's Lib dengan cepat menyebar ke Amerika dan negara-negara Eropa pada tahun 1960-1970-an.
Kongres Perempuan Indonesia sejak berdiri sampai saat ini telah berganti-ganti nama, sampai akhirnya bermuara pada nama Kongres Wanita Indonesia. Visi dan misinya terus berkembang. Bila pada awalnya Hari Ibu lebih untuk mengenang semangat perjuangan kaum perempuan demi peningkatan mutu kehidupan bangsa, sekarang maknanya meluas; sesuai dengan penafsiran dan pilihan perempuan tentang perannya dalam pembangunan masyarakat, tanpa merendahkan martabat maupun merugikan masyarakat.
Tentang martabat perempuan, secara universal benih-benih egaliter antara laki-laki dan perempuan baru mulai tumbuh pada abad 19, kemudian persamaan hak baru pada abad 20 berangsur dilembagakan; suatu proses yang meliputi hak sama bagi perempuan untuk terjun ke masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah sama.
Kenyataan di Indonesia sekarang: umumnya perempuan masih rikuh dan dibuat rikuh untuk memakai haknya secara penuh. Kepekaan rasa keibuan membuat perempuan saling mengamati; juga membuat perempuan tidak semena-mena memajukan diri. Tradisi, agama, dan pendidikan memberi pengaruh. Prasangka yang menjurus pada diskriminasi vertikal (atas-bawah) maupun horizontal (antarsederajat) masih terus membayangi. Di samping itu, perempuan memang memiliki tanggung jawab dan hak istimewa untuk membina anak dari lahir sampai dewasa; tugas berat yang memerlukan usaha keras dan pemahaman psikologis. Lembaga pendidikan mungkin menjadi sumber ilmu pengetahuan, tetapi tidak mampu memberikan asah-asih-asuh seperti yang diberikan ibu.
Seiring dengan kemajuan perempuan sekarang, keraguan laki-laki maupun perempuan dalam menjalankan peran masing-masing di keluarga baru bisa berubah bila semua berkesempatan mengembangkan potensi tanpa pertimbangan fisiologis maupun psikologis. Mungkinkah? Selalu ada saja pihak-pihak yang mengambil sikap ekstrem. Feminisme, misalnya, sering berkonotasi negatif karena ada sikap radikal pada sebagian penganutnya. Misalnya ada saja yang ingin bebas dari tugas mengandung dan mengasuh anak. Sementara itu, faktanya karena alasan biologis dan psikologis, kewajiban tersebut tidak mungkin dipindahtugaskan. Sebenarnya feminisme, seperti ideologi-ideologi lain, pun memiliki serangkaian resep perubahan yang positif.
Toleransi di lapangan kerja
Peningkatan pendidikan dan perolehan hak sama menimbulkan konsekuensi dalam interaksi antargender. Jumlah perempuan yang memasuki lapangan kerja, yang semula menjadi monopoli laki-laki, terus meningkat. Timbul persoalan 'aksi dan reaksi'.
Ada buku menarik The Quiet Rebel (1985) karya Dr Glynis M Breakwell, ahli psikologi berkebangsaan Inggris yang pernah mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Inggris, termasuk Oxford dan Surrey. Tulisannya didasarkan pada penelitian kualitatif. Intinya dia berkesimpulan: jumlah perempuan karier masih kecil. Bagi mereka, lapangan kerja bukanlah taman mawar untuk tamasya. Mereka akan menjumpai pohon-pohon mawar berduri. Kebanyakan perempuan pernah mengalami diskriminasi gender. Sebagian malahan terus-menerus mengalaminya. Dunia kerja memberi tantangan berat. Berhasil tidaknya bergantung pada daya tahan dan kemampuan. Jangan berharap ada yang akan membantu karena ini masalah pribadi.
Sekalipun perempuan karier sudah berbulat tekad, lapangan kerja tetap saja menuntut kesiapan mental seperti ketika petinju akan memasuki ring. Masalahnya, tidak banyak kolega laki-laki yang memiliki sikap akomodatif. Umumnya mereka menganggap kedatangan perempuan karier, terutama untuk jabatan penting, sebagai ancaman. Jabatan itu sendiri kemudian mereka anggap kehilangan kesan macho, tidak gagah lagi. Dr Breakwell mengutip seorang laki-laki muda, doktor ahli kimia: "Saya bergabung dengan tim riset dipimpin perempuan muda sebaya. Kemampuannya tidak diragukan, tetapi saya sulit menerima keputusannya tanpa membantah. Saya ingin membuktikan bahwa memiliki keunggulan, yang rasanya tidak perlu saya tunjukkan kalau bosnya laki-laki. Rasanya tidak nyaman disuruh mengerjakan sesuatu di depan perempuan-perempuan anggota staf lainnya. Saya sendiri heran mengapa bersikap demikian. Selama ini saya sungguh-sungguh merasa bersikap egaliter."
Laki-laki yang merasa terancam oleh perempuan karier memberikan reaksi berbeda-beda. Di bawah sadar, ada yang mengambil sikap sebagai gamesman yang merasa harus menaklukkan, atau sebagai joker yang niatnya menertawakan. Tujuannya sama: untuk mempermalukan, membuat tidak nyaman, dan menganggap remeh.
Rasanya banyak perempuan karier pernah mengalami sandungan di tempat kerja. Semakin tinggi dia menjulang, semakin keras badai menerjang. Dalam situasi yang relatif normal pun, masih ada persoalan dalam interaksi antarteman sekerja. Menurut Dr Breakwell, interaksi antarmanusia memiliki pola sama. Ketika laki-laki memerlukan model dalam interaksinya dengan kolega perempuan, mereka sering merujuk pada model hubungan yang mereka kenal di rumah: kolega perempuan dianggap sebagai ibu, sebagai istri, atau sebagai anak. Jelas, impor pola interaksi domestik ke tempat kerja merugikan perempuan karier.
Sandungan-sandungan akan selalu ada di tempat kerja, apakah untuk laki-laki, lebih-lebih untuk perempuan. Namun, simak pendapat Ibu Kartini lebih seabad yang lalu: air mata perempuan tampaknya tidak akan mengalir sia-sia sebab ikut menumbuhkan benih-benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang menyehatkan generasi mendatang (Door Duisternis Tot Licht, 1902).
Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group