16 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Hijrah, Asyura, dan Kekuasaan

Hijrah, Asyura, dan Kekuasaan

Nur Islam
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan, alumnus Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Hijrahnya Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah tidak sekadar persoalan teologis spiritual dan sosial. Salah satu aspek terpenting dari peristiwa yang sangat bersejarah tersebut dan tidak bisa dipisahkan begitu saja adalah adanya nilai-nilai dan praktek politik.
Sejarah mencatat bahwa untuk mengembangkan dakwah Islam di Mekah sangat sulit. Secara ekonomi, sosial, dan politik, kehadiran Islam oleh kalangan pengusaha, bangsawan, dan elite politik lokal Mekah dianggap sebagai ancaman serius. Penguasa Quraisy memprediksi Islam sebagai kekuatan yang dapat merontokkan kekuasaan yang mereka bangun dan dinikmati oleh beberapa generasi.
Islam dengan membawa nilai transformasi dan spirit baru di segala bidang kehidupan bagi penduduk Mekah dinilai tidak sesuai dengan ajaran dan budaya yang saat itu dianut oleh masyarakat,. Terlebih bagi para konglomerat, bangsawan, dan elite politik. Mereka sangat terusik.
Sebelum Islam hadir, mereka telah "dienakkan" dengan situasi yang ada. Perbudakan yang telah membudaya, tiba-tiba dihapus. Persamaan hak manusia secara universal, termasuk hak berpolitik dianggap akan menghilangkan wibawa dan eksistensi para bangsawan, penguasa, dan elite politik. Feodalisme telah dianut dan dipraktekkan ratusan tahun di sana juga diprediksi akan rontok.
Untuk mencegah berkembangnya Islam lebih jauh, konglomerat, bangsawan, dan elite politik berusaha keras menghambat dakwah Islam. Segala bentuk intimidasi dari yang ringan hingga ancaman pembunuhan henti-hentinya dilancarkan oleh musyrikin. Konspirasi jahat mereka membuat Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya untuk mengubah strategi dakwahnya.
Dalam situasi sulit itu, Allah swt. memerintahkan Rasulullah untuk hijrah, meninggalkan Mekah menuju Madinah, dulu bernama Yasyrif. Di Madinah, Nabi Muhammad disambut komunitas umat Islam (kaum Anshor) yang sebelum kedatangan Rasulullah telah memeluk Islam. Di Madinah, penduduknya lebih toleran, terbuka, dan taat hukum dibandingkan dengan penduduk Mekah.
Elite politik dan bangsawan Mekah dikenal sangat feodal, intoleran, dan tidak demokratis. Sikap dan perilaku prakmatis petinggi di Mekah juga melekat dalam kehidupan sehari-hari. Harmonisasi antarmasyarakat sulit dan korupsi merajarela.
Islam berkembang pesat di Madinah. Di Madinah inilah terbentuknya negara Islam dan Muhammad sebagai kepala negaranya. Kehidupan berbangsa dan bernegara di Madinah dengan Islam sebagai acuan hidup di segala lini kehidupan menjadi contoh utama peradaban dunia yang belum tertandingi hingga saat ini.
Sayang, sistem kenegaraan yang dibangun oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin itu tidak dapat dipraktekkan dengan baik oleh "penguasa" puluhan tahun sesudah peristiwa hijrah. Puncaknya ketika meninggalnya Mu'awiyah dan digantikan anaknya Yazid. Yazid dengan "dinasti Mu'awiyah" ditolak untuk memimpin atau menjadi "penguasa" atas umat Islam.
Salah satu yang "menolak" keras "kekuasaan" Yazid adalah Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad. Husein tidak mau membaiat atau menolak karena Yazid dianggap tidak layak: pemabuk, penjudi, serta perilaku buruk lainnya serta sangat represif terhadap rakyatnya.
Merasa terganggu, Yazid dengan arogansi kekuasaannya mengerahkan balatentaranya balik menentang Husein dan umat yang prokebenaran. Singkatnya, terjadilah tragedi kemanusiaan yang memilukan dalam sejarah manusia di Karbala, Iraq. Husein dan sejumlah umat yang menegakkan kebenaran yang berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah gugur dibunuh oleh pasukan Yazid Ibnu Mu’awiyah yang dipimpim Ibnu Ziyad.
Peristiwa terbunuhnya Husein yang terjadi pada 81 Hijriah atau 680 Masehi salah satunya dicatat sebagai bentuk perlawanan terhadap kezaliman kepada penguasa zalim yang merusak sendi-sendi kehidupan yang telah dibangun oleh Rasulullah beserta sahabatnya di Madinah.
Kajadian yang memilukan di pinggir Sungai Eufrat, Karbala, Irak, dikenang sebagai tragedi Asyura. Tragedi Asyura terjadi pada 10 Muharam. Pada Asyura ini pula Nabi Musa dan pengikut setianya yang beriman kepada Allah diselamatkan dari kejaran Firaun dan rezimnya. Bulan Muharam juga merupakan salah satu bulan yang utama, antara lain pada bulan inilah kiblat salat umat Islam berpindah dari Yerusalem ke Kakbah Mekah.
Sebelum peristiwa Asyura (tragedi pembantaian keluarga Nabi Muhammad oleh rezim penguasa zalim), umat Islam disunahkan untuk berpuasa Asyura, tanggal 9 dan 10 Muharam atau 10 Muharam.
Berpuasa Asyura di bulan Muharam dengan ikhlas, antara lain kita diingatkan untuk menahan diri berbuat sewenang-wenang, represif, destruktif terhadap rakyat seperti dilakukan Yazid. Bagaimanapun, kekuasaan adalah amanah dan sementara. Kekuasaan bukan untuk menindas rakyat seperti dilakukan Yazid atau Firaun terhadap Nabi Musa dan umatnya yang beriman kepada Allah.
Sudah saatnya kita hijrah dari perilaku yang demikian. Sebaliknya, semangat hijrah Nabi Muhammad hendaknya menjadi spirit baru dalam mengelola kekuasaan menuju rakyat yang adil, makmur, sejahtera, menenteramkan dalam naungan ampunan Allah swt. Wallahualam bisawab. 
Opini Lampung Post 17 Desember 2010