Oleh : Hari Murti, S.Sos
Sebenarnya ide untuk memberikan ponsel bagi TKI sebagai salahsatu upaya melindungi mereka adalah ide yang positif.
Dengan adanya ponsel, maka masalah-masalah TKI di luar negeri akan dapat diketahui kasus per kasus secara detail dan cepat. Selain itu, ponsel merupakan akses yang hampir merata ke semua orang sehingga apabila ada masalah, maka hubungan dengan pihak pemerintah dapat dilakukan dengan cepat. Maka, ide untuk memberikan ponsel layak untuk diapresiasi. Hanya saja, jangan terlalu berharap banyak dari efektifitas ponsel dalam melindungi TKI dari aspek komunikasinya.
Apa yang perlu menjadi pertimbangan soal ide pemberian ponsel adalah bahwa ponsel merupakan media komunikasi personal. Karakter ponsel sebagai media komunikasi personal adalah komunikasinya cenderung informal. Situasi informal ini kurang relevan dengan tradisi pemerintahan kita yang sering kali mengukur tingkat penting atau tidaknya sebuah persoalan dari formalitas yang terlihat oleh mata. Padahal, dalam upaya melindungi TKI di luar negeri, bentuk komunikasi yang sangat dibutuhkan adalah komunikasi internasional yang formal. Jadi, komunikasi yang dibutuhkan sebenarnya adalah komunikasi antardua negara dengan posisi yang sejajar. Lalu posisi ponsel dalam konteks komunikasi antarnegara adalah sebagai komponen pendukung saja, bukan yang utama. Padahal, telah terbentuk opini di mata publik bahwa ponsel nantinya sebagai media utama dalam melindungi TKI.
Dalam konteks komunikasi antarnegara, ponsel kurang mendapat tempat signifikan untuk diperhitungkan. Jangankan antarnegara, bahkan dalam negara sendiri pun komunikasi rakyat pada pemerintah via ponsel sering diabaikan. Contoh, meskipun secara informal, banyak anggota masyarakat yang mengetahui nomor pribadi petugas berwenang dan mengadukan persoalan mereka melalui ponsel, tetapi informasi diragukan karena ponsel tidak bisa membawa alat bukti yang bisa dijadikan dasar untuk mengambil tindakan. "Ah, orang iseng-iseng saja itu", katanya. Pernah ada berita tentang Presiden SBY yang merasa terganggu karena ponselnya sering mendapat pesan singkat dari seorang warga yang mengadukan persoalan SUTET yang melalui tanah mereka.
Hambatan teknis komunikasi dari dalam negeri pun bukan tidak terjadi seandainya ponsel benar-benar diadakan bagi TKI. Contoh, begitu ditetapkan beberapa nomor resmi untuk menjadi nomor aduan, akan masuk sangat banyak informasi tentang masalah TKI. Yang muncul dari situasi seperti ini adalah terlalu banyak masalah yang terjadi pada TKI sehingga harus diadakan seleksi mana masalah yang prioritas dan yang tidak. Padahal, soal prioritas atau tidak adalah soal empiris langsung dengan mata kepala orang untuk menilainya. Kemampuan komunikasi para TKI yang mengadu akan memengaruhi nilai masalah yang akan disampaikannya. Dengan kata lain, orang yang kurang bisa menggunakan komunikasi secara konseptual untuk menyampaikan masalahnya akan mendapat sambutan yang tidak sepadan.
Malah, pengadaan ponsel bagi TKI akan menimbulkan harapan besar bagi mereka. Harapan yang besar bisa menimbulkan kekecewaan yang juga sangat besar kalau ternyata mereka tidak merasakan pelayanan yang bersifat personal juga dari pemerintah. Jelaslah pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah per masalah secara personal TKI. Yang bisa dilakukan hanyalah mengalisifikasikan masalah TKI dan kemudian menyelesaikannya secara sekaligus pada masalah yang sejenis. Dalam situasi seperti ini, akan ada kesalahpahaman antara TKI dengan pihak berwenang di Indonesia. Sebab, TKI akan menganggap bahwa ponsel adalah media utama mereka mencari perlindungan, tetapi sistem hukum yang berlaku di banyak negara belum mengakomodir kehadiran ponsel dalam upaya mencegah terjadinya kejahatan.
Itu hambatan teknis komunikasi ponsel dari sisi dalam negeri. Dari sisi luar negeri, terlalu banyak hambatan teknis nonkomunikasi selama ini yang kita ketahui, seperti majikan yang menahan paspor sehingga posisi TKI semakin lemah, ada juga yang tidak digaji sehingga biaya untuk menggunakan ponsel untuk mengadu juga menjadi persoalan, juga adanya peraturan yang melarang pekerja untuk menggunakan ponsel di saat bekerja, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Padahal, tindakan kejahatan bisa terjadi kapan saja dan selalu mencari cara agar tidak ada bukti kejahatannya. Dengan kata lain, kalau gaji saja pun sering tidak dibayar dan malah dianiaya, bagaimana lagi kalau mereka ketahuan memegang ponsel untuk mengakses bantuan. Ponsel malah semakin membahayakan mereka.
Maka, sebaiknya pemberian ponsel dikesampingkan terlebih dahulu. Sebab, ponsel itu sebenarnya sudah lama dimiliki oleh TKI. Tetapi selama ini, nomor tujuan atau kesempatan untuk menggunakan ponsel untuk mengadu pun mereka tak punya. Jadi, akan lebih baik jika dilakukan komunikasi internasional dengan menggunakan tekanan oleh media massa terhadap negara yang di dalamnya terdapat warga negara yang telah melakukan kejahatan terhadap TKI. Akan lebih baik jika pemerintah memberikan sebuah pesan yang menjadikan kebesaran negara Indonesia sebagai media pengantar pesan
itu. Caranya bisa bermacam-macam, seperti mencontoh tindakan Presiden Pilipina Gloria M. Arroyo yang menjemput seorang warganya yang dianiaya, atau juga menegur keras negara yang tidak memberikan perlindungan bagi hak asasi manusia, dan langkah yang paling diterima adalah melakukan MoU dengan negara tersebut.
Saya justru khawatir jika ide pemberian ponsel akan menyampaikan pesan kepada negara tujuan TKI bahwa pemerintah kita seolah kehabisan akal dalam melindungi TKI. Atau malah akan muncul di kalangan mereka seolah pemerintah kita agak takut dalam menghadapi pemerintah asing untuk maju di meja perundingan atau meja hijau dengan menjadikan saluran informal ponsel sebagai jalan tengah untuk melindungi TKI sambil menghindari konfrontasi dengan negara lain. Saya perlu jelaskan bahwa ponsel cukup efektif untuk menjaga anak kita yang sedang bersekolah agar tidak terlambat menjemput, tetapi tidak cukup efektif untuk menjaga warga negara kita yang mencari nafkah di negeri orang.
Komunikasikan dengan Tindakan
Sifat ponsel sebagai media komunikasi adalah verbal. Ia hanya bisa menyampaikan informasi ekplisit. Padahal, dalam hal perlindungan terhadap TKI, komunikasi nonverbal berupa tindakan yang serius dalam melindungi TKI akan jauh lebih efektif. Komunikasi nonverbal tindakan menyampaikan pesan ribuan kali lebih konseptual dan efektif dibanding verbal. Tindakan menggunakan bahasa tubuh oleh para pemimpin kita dalam melindungi TKI akan menimbulkan kesan sungguh-sungguh yang ditangkap pihak luar negeri.
Begitulah hendaknya pemerintah kita dalam melindungi TKI di luar negeri. Pemerintah harus bertindak dengan tegas terhadap negara yang di dalamnya telah terjadi sebuah tindakan kejahatan terhadap warga negara kita. Contohnya adalah permintaan Arab Saudi agar Indonesia tidak terlalu reaktif dalam masalah TKI yang tewas dan luka itu. Karena apa Arab Saudi seperti itu ? Karena reaksi kita yang cepat dan keras soal tewasnya Kikim dan terlukanya Sumiati telah terbaca oleh mereka sebagai sebuah tindakan yang serius, bukan sekadar kata-kata melulu.
Dalam hal komunikasi tindakan ini, posisi ponsel jika benar-benar direalisasikan, adalah sebagai pemertegas pesan komunikasi tindakan tersebut. Bahwa dengan memberikan ponsel menunjukkan bahwa pemerintah kita sampai sejauh itu memikirkan keselamatan rakyatnya di luar negeri. Itulah sebenarnya pesan yang harus disebar pemerintah dalam rencana memberikan ponsel itu. Jadi ponsel bukan, sekadar alat menerima pesan dari TKI, tetapi justru yang lebih utama adalah pemberian ponsel itu untuk menyampaikan pesan kepada luar negeri bahwa kita peduli pada keselamatan TKI di luar negeri sampai hal yang paling detail dan personal, sedetail dan sepersonal ponsel.
Opini Analisa Daily 16 Desember 2010