SAMPAI pengujung tahun 2010, berarti sudah hampir 10 tahun Polri mendeklarasikan semangat reformasi dengan tiga aspek sasarannya, yaitu bidang instrumental, struktural, dan kultural. Apa hasilnya? Dari beberapa survei, termasuk oleh ICW, KPK, dan Kompolnas, belum ada hasil signifikan.
Hasil survei oleh KPK yang dirilis November lalu menyebutkan pelayanan pembuatan surat izin mengemudi (SIM) dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), termasuk di Jateng, sebagai salah satu objek survei bidang pelayanan, masih rendah.
Demikian juga hasil penelitian ICW, masih menempatkan polisi pada posisi rendah dalam penegakan hukum. Terakhir (14/12), di Jakarta Kompolnas merilis hasil survei tim peneliti reformasi kepolisian dari UNS Surakarta, yang menyebutkan reformasi Polri yang berlangsung hampir 10 tahun masih belum memuaskan.
Erlyn Indarti, anggota Kompolnas menyebutkan, masyarakat melihat masih ada diskriminasi terkait penanganan kasus. Hal itu merupakan persoalan yang perlu segera dituntaskan lewat program reformasi.
Masyarakat pun mafhum bagaimana kinerja kepolisian sepanjang tahun ini. Tanpa menafikan keberhasilan mengungkap jaringan terorisme, narkoba, dan kejahatan konvensional, pada sisi lain terkuaknya dugaan kriminalisasi kasus Bibit-Chandra, pengakuan Susno Duadji tentang makelar kasus, rekening gendut sejumlah perwira polisi, serta keluyurannya Gayus ke Bali yang menyeret Kepala Rutan Mako Brimob beserta 8 anggota jaga, dan semuanya menorehkan tinta hitam.
Pergantian Kapolri dari Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada Jenderal Timur Pradopo, sangat diharapkan menjadi momen akselerasi reformasi yang sudah diprogramkan dalam grand strategy reformasi birokrasi Polri. Tanda-tanda adanya akselerasi sudah dirasakan di internal, terutama dengan kebijakan revitalisasi dalam 100 hari.
Kebijakan itu ibarat pelecut kinerja, baik di bidang pelayanan maupun penegakan hukum. Pertama; dalam bidang pelayanan sudah ditekankan transparansi pembuatan SIM dan SKCK. Kapolri menegaskan harus ada keseragaman biaya dalam pembuatan dua dokumen itu.
Transparansi Jenis pelayanan itu yang selama ini dikenal sebagai ’’pos basah’’ harus mendasarkan pada ketentuan yang berlaku. Sebagai wujud keseriusan kebijakan ini, ditegaskan tidak ada lagi pimpinan menerima ’’setoran’’ dari anggota. Ini berarti, Kapolri secara eksplisit benar-benar menginginkan pembersihan, bukan sekadar lips service.
Akankah kebijakan itu berjalan efektif ? Atau harus ada uji petik atau korban terlebih dulu, yaitu dengan menindak tegas pemangku kebijakan di kewilayahan yang masih mencoba-coba? Sebagai bentuk langkah progresif, biasanya akan lebih efektif bila ada satu atau dua sampel yang jadi korban karena akan mempunyai efek jera luar biasa pengaruhnya.
Hal ini seperti yang dikatakan Profesor Raihan, dari Universitas Islam Jakarta bahwa untuk menjalankan sebuah komitmen, harus dijalankan apa yang menjadi prosedur dan harus siap ada korbannya. Adanya korban ini, akan menjadi efektif komitmen tadi.
Kedua; dalam penegakan hukum, sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang bidang pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana sudah diatur dan harus dilaksanakan. Yaitu untuk menyidik perkara yang mudah waktunya 30 hari, perkara sedang 60 hari, sulit 90 hari, dan sangat sulit 120 hari.
Hal ini membawa konsekuensi transparansi dan masyarakat bisa lebih mengontrol proses penyidikan. Bila melewati batasan waktu tersebut, masyarakat berhak mennyakan: kenapa, mengapa, bagaimana dan seterusnya.
Ketiga; dalam hal reward and punishmet Jenderal Pradopo sudah menunjukkan komitmennya. Ketegasannya menerapkan pasal penyuapan terhadap Kompol Iwan cs terkait plesirnya Gayus ke Bali menjadi indikasi keseriusannya untuk tidak lagi melindungi anggotanya. Biasanya dalam kasus seperti itu hanya dilakukan pembinaan. Hal itu juga diterapkan atas dugaan penganiayaan tahanan oleh kapolres di Pematang Siantar yang segera dicopot dari jabatannya.
Sinyal perubahan tersebut menunjukkan Kapolri ingin membawa bahtera Polri ke dermaga yang penuh dengan empati masyarakat. Tahun depam sinyal perubahan itu makin menguat bila Polri lebih serius lagi membedah kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. (10)
— Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota
Hasil survei oleh KPK yang dirilis November lalu menyebutkan pelayanan pembuatan surat izin mengemudi (SIM) dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), termasuk di Jateng, sebagai salah satu objek survei bidang pelayanan, masih rendah.
Demikian juga hasil penelitian ICW, masih menempatkan polisi pada posisi rendah dalam penegakan hukum. Terakhir (14/12), di Jakarta Kompolnas merilis hasil survei tim peneliti reformasi kepolisian dari UNS Surakarta, yang menyebutkan reformasi Polri yang berlangsung hampir 10 tahun masih belum memuaskan.
Erlyn Indarti, anggota Kompolnas menyebutkan, masyarakat melihat masih ada diskriminasi terkait penanganan kasus. Hal itu merupakan persoalan yang perlu segera dituntaskan lewat program reformasi.
Masyarakat pun mafhum bagaimana kinerja kepolisian sepanjang tahun ini. Tanpa menafikan keberhasilan mengungkap jaringan terorisme, narkoba, dan kejahatan konvensional, pada sisi lain terkuaknya dugaan kriminalisasi kasus Bibit-Chandra, pengakuan Susno Duadji tentang makelar kasus, rekening gendut sejumlah perwira polisi, serta keluyurannya Gayus ke Bali yang menyeret Kepala Rutan Mako Brimob beserta 8 anggota jaga, dan semuanya menorehkan tinta hitam.
Pergantian Kapolri dari Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada Jenderal Timur Pradopo, sangat diharapkan menjadi momen akselerasi reformasi yang sudah diprogramkan dalam grand strategy reformasi birokrasi Polri. Tanda-tanda adanya akselerasi sudah dirasakan di internal, terutama dengan kebijakan revitalisasi dalam 100 hari.
Kebijakan itu ibarat pelecut kinerja, baik di bidang pelayanan maupun penegakan hukum. Pertama; dalam bidang pelayanan sudah ditekankan transparansi pembuatan SIM dan SKCK. Kapolri menegaskan harus ada keseragaman biaya dalam pembuatan dua dokumen itu.
Transparansi Jenis pelayanan itu yang selama ini dikenal sebagai ’’pos basah’’ harus mendasarkan pada ketentuan yang berlaku. Sebagai wujud keseriusan kebijakan ini, ditegaskan tidak ada lagi pimpinan menerima ’’setoran’’ dari anggota. Ini berarti, Kapolri secara eksplisit benar-benar menginginkan pembersihan, bukan sekadar lips service.
Akankah kebijakan itu berjalan efektif ? Atau harus ada uji petik atau korban terlebih dulu, yaitu dengan menindak tegas pemangku kebijakan di kewilayahan yang masih mencoba-coba? Sebagai bentuk langkah progresif, biasanya akan lebih efektif bila ada satu atau dua sampel yang jadi korban karena akan mempunyai efek jera luar biasa pengaruhnya.
Hal ini seperti yang dikatakan Profesor Raihan, dari Universitas Islam Jakarta bahwa untuk menjalankan sebuah komitmen, harus dijalankan apa yang menjadi prosedur dan harus siap ada korbannya. Adanya korban ini, akan menjadi efektif komitmen tadi.
Kedua; dalam penegakan hukum, sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang bidang pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana sudah diatur dan harus dilaksanakan. Yaitu untuk menyidik perkara yang mudah waktunya 30 hari, perkara sedang 60 hari, sulit 90 hari, dan sangat sulit 120 hari.
Hal ini membawa konsekuensi transparansi dan masyarakat bisa lebih mengontrol proses penyidikan. Bila melewati batasan waktu tersebut, masyarakat berhak mennyakan: kenapa, mengapa, bagaimana dan seterusnya.
Ketiga; dalam hal reward and punishmet Jenderal Pradopo sudah menunjukkan komitmennya. Ketegasannya menerapkan pasal penyuapan terhadap Kompol Iwan cs terkait plesirnya Gayus ke Bali menjadi indikasi keseriusannya untuk tidak lagi melindungi anggotanya. Biasanya dalam kasus seperti itu hanya dilakukan pembinaan. Hal itu juga diterapkan atas dugaan penganiayaan tahanan oleh kapolres di Pematang Siantar yang segera dicopot dari jabatannya.
Sinyal perubahan tersebut menunjukkan Kapolri ingin membawa bahtera Polri ke dermaga yang penuh dengan empati masyarakat. Tahun depam sinyal perubahan itu makin menguat bila Polri lebih serius lagi membedah kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. (10)
— Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota
Wacana Suara Merdeka 17 Desember 2010