24 Juni 2011

» Home » Opini » Republika » TKW dan Pola Pendidikan

TKW dan Pola Pendidikan

Dr Acep Aripudin
Dosen Jurusan Ilmu Pengembangan Masyarakat Islam
FIDKOM UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Problem TKI di luar negeri kembali menjadi sorotan setelah media massa memberitakan tentang nasib TKI yang dikenai hukuman pancung di Arab Saudi. Kasus seperti itu sebenarnya bukan hal baru karena sebelumnya kasus pemerkosaan, penyiksaan sadis, hingga TKI gila dan kasus serupa juga sering terjadi. Hukum di Arab Saudi memberi sanksi terhadap pembunuh dengan apa yang disebut qishas, yaitu sanksi setimpal atas tindakan melanggar hukum, termasuk sanksi yang berkaitan dengan had (jamak: hudud).

Namun, apa pun kekurangan TKI, mereka adalah pekerja keras, berani, dan ulet. Mereka berani meninggalkan keluarga karena hidup di negeri sendiri sangat susah. Akan tetapi, di balik kesungguhannya, mereka mencari nafkah yang halal. Masalahnya, mengapa mereka sering memperoleh perlakuan kasar dari majikannya di tempat kerja dan terjadi berulang kali?

Problem ini cukup jelas, tetapi tidak mudah memecahkannya karena problem TKI tidak hanya muncul dari satu sumber, tetapi juga dari berbagai sumber yang satu dengan lainnya yang saling terkait. Pertama ialah problem dalam TKI sendiri. Mereka, para TKI, yang datang ke negara tujuan umumnya memiliki sumber daya manusia lemah, terutama keterampilan, ilmu pengetahuan, dan pemahaman tradisi budaya masyarakat di negeri tujuan kerja.

Sadar akan kelemahan tersebut, para TKI kemudian mengambil sudut kerja yang "kurang layak", yaitu pegawai rumah tangga. Sektor lapangan kerja ini memang tidak menuntut keterampilan terlatih dan pendidikan memadai. Lulusan SD juga bisa menjadi pegawai rumah tangga.

Dugaan demikian ternyata tidak benar karena nyatanya bahwa menjadi pegawai apa pun dibutuhkan keterampilan memadai, apalagi bekerja dalam rumah tangga yang tentu lebih memiliki risiko besar apabila terjadi kesalahan atau kelalaian. Misalnya, mereka, para TKI, harus mampu berkomunikasi dalam berbagai level, seperti dengan majikan laki-laki, perempuan, dan anak-anaknya. Tanpa keterampilan komunikasi memadai, mereka akan cenderung menghadapi banyak masalah.

Problem penting lainnya, yaitu pengetahuan para TKI tentang tradisi atau budaya masyarakat negara tempat tujuan kerja. Pengetahuan tentang budaya masyarakat negara tujuan ialah sistem politik, hukum, dan ideologi yang dianut. Kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap TKI di Arab Saudi juga tidak luput dari problem tersebut.

Arab Saudi, misalnya, memiliki sistem politik monarki atau kerajaan. Oleh karena itu, persoalan apa pun sebenarnya dapat diselesaikan oleh keputusan raja, termasuk memberi pengampunan terhadap rakyat atau siapa saja yang terkena sanksi hukum. Ideologi yang dipakai oleh penguasa dan mayoritas rakyat Arab Saudi ialah Wahabiah yang memang dalam beberapa sisi memiliki warna serupa dengan sistem politik yang berlaku, sementara sistem hukum yang dipraktikkan ialah syariat Islam yang bercorak Wahabi.

Tradisi dan pranata kenegaraan Arab Saudi seperti di atas barangkali sangat sedikit dikenali TKI pada umumnya meskipun memiliki agama sama, Islam. Padahal, sebagaimana realitasnya, Muslim di Arab Saudi dengan Muslim di Indonesia sangat berbeda meskipun memiliki prinsip keyakinan yang sama. Moderasi dan "Islam warna" sangat melekat dalam tradisi Muslim Indonesia.

Kenyataan demikian berbeda dengan yang berlaku di Arab Saudi yang dalam banyak kasus lebih berwarna homogen, hitam-putih, rigiditas, dan tekstual, kecuali pada kasus hukum pancung karena hukum pancung itu sendiri tidak ada dalam Islam. Lepas dari penghormatan terhadap hak-hak warga untuk menggunakan hukum tertentu, hukum pancung terasa sudah saatnya dipertimbangkan untuk diganti dengan hukum "pancung" yang lebih humanis sesuai maksud dan spirit diberlakukannya suatu hukum (maqasid as-syari'ah).

Pengetahuan para TKI tentang pranata budaya masyarakat negeri tujuan kerja sangat penting jika tidak mau terulang kembali kasus-kasus mengerikan seperti yang menimpa Ruyati. Pada kasus lain, seperti perkosaan terhadap TKI yang dilakukan majikannya, misalnya, ada yang beranggapan bahwa kejadian tersebut tidak bisa dilepaskan dari tradisi Arab lama.

Oleh karena itu, para TKI dan calon-calon TKI kemudian harus mempersiapkan diri dengan mental, pengetahuan, dan keterampilan memadai agar tidak mudah ditipu oleh para majikan di tempat kerja. Problem psikologis yang dialami para TKI ketika bekerja pasti terjadi apabila situasi dan harapan bekerja tidak sesuai impian.

Semangat materialisme tanpa mempertimbangkan kecakapan dan keterampilan demikian sebenarnya hanya menumbuhkan dan menimbun watak-watak nekat dan berpikir instan.

Pelatihan, pengawasan, dan perlindungan terhadap TKI di luar negeri disentuh dan baru pada tahap pengiriman besar-besaran karena minimnya koordinasi dan lemahnya pengawasan. Padahal, posisi institusi tersebut sangat strategis apabila dilibatkan secara penuh dalam penanganan masalah TKI di luar negeri.

Diplomasi dan bargaining politik perwakilan Indonesia di luar negeri juga dinilai masih sangat lemah sehingga tidak menjadi harapan dan gantungan berbagai masalah yang dihadapi TKI. Sikap TKI untuk bekerja di luar negeri sebenarnya merupakan pilihan hidup yang sesuai dengan perintah agama, tetapi penanganannya membutuhkan kesungguhan dan perlindungan ekstra.

Pemerintah dan lembaga profesional lainnya, termasuk perusahaan pengirim TKI, harus bahu-membahu memecahkan persoalan ini. Mereka termasuk pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penanganan dan pengawasan keselamatan TKI. Kurangnya sosialisasi dan pengenalan budaya-budaya Timur Tengah, bahasa Arab, khususnya, mungkin merupakan bukti lemahnya sistem pendidikan yang dibangun di negeri kita. Kekurangan-kekurangan itulah yang seharusnya diperbaiki bersama-sama.

Opini Republika 23 Juni 2011