20 Februari 2011

» Home » Opini » Republika » Ahmadiyah Sebagai Pseudo-enemies

Ahmadiyah Sebagai Pseudo-enemies

Prof Dr Ali Maschan Moesa MSi
Anggota Komisi VIII DPR RI


Dalam dua pekan terakhir, bangsa ini mengalami sejumlah aksi kekerasan. Yang terbesar adalah tragedi Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, lalu disusul dengan kekerasan di Temanggung, dan berikutnya penyerangan lembaga pendidikan Islam (pesantren) di Bangil, Pasuruan.

Tragedi di atas memiliki triggering factor serupa, yaitu nuansa konflik di ranah relasi agama. Fakta tersebut-untuk kesekian kali-mendalilkan bahwa nilai dogmatika setiap agama tak ubahnya dua sisi mata uang.

Pertama, bersifat dogmatis dan eksklusif. Dalam perspektif ini, kehadiran agama sebagai suatu kebenaran mutlak pada gilirannya memosisikan ajaran agama ataupun keyakinan lain di luar dirinya dianggap salah, sesat, dan harus dianggap musuh yang mengancam. Faktor inilah lantas dilegitimasi menjadi klaim kebenaran (truth claim) dari ruang domestik agama ke ruang publik (public sphere). Akibatnya, tak jarang terjadi clash of truth antar keyakinan dalam proses penyebaran misi agama. Kedua, wajah agama yang menyerukan signifikansi nilai-nilai kedamaian, kemanusiaan, dan keadilan.

Ahmadiyah dan dilema SKB

Penyikapan terhadap keyakinan jemaat Ahmadiyah masih kerap bernuansa konflik, sehingga tragedi yang terjadi di Cikeusik hanyalah satu dari serangkaian penyikapan anarkis terhadap kelompok ini.

Di satu sisi, keyakinan Ahmadiyah pada domain teologis juga tidak bisa dibenarkan, karena keyakinan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW jelas bertentangan dengan Islam. Porosnya adalah perbedaan tafsir atas predikat Nabi Muhammad SAW sebagai khatam al-anbiya'. Bagi jumhur ulama, khatam berarti penutup, akhir, dan terakhir. Sehingga tidak ada nabi setelah beliau.

Sementara bagi Ahmadiyah, khatam lebih dimaknai secara harfiah sebagai cincin, yang melingkupi seluruh nabi dan rasul Allah SWT. Karena itu, menurut mereka, setelah Nabi Muhammad SAW masih ada nabi yang bernama Mirza Ghulam Ahmad.

Namun, aliran Ahmadiyah tidaklah satu. Terdapat beberapa aliran yang meyakini posisi Mirza Ghulam Ahmad secara berbeda. Di antaranya kelompok yang memosisikannya hanya sebagai imam atau pembaru (mujaddid). Namun, apa pun penafsiran dan kesalahan pemahaman mereka tidak boleh menjadi dalih untuk melegalkan aksi kekerasan terhadap jemaat ini.

Setelah dua tahun lebih usia Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, ternyata tidak menghilangkan eskpresi kekerasan atas Ahmadiyah. Menteri Agama pun lantas menyerukan untuk mengevaluasi ulang SKB. Pertama, SKB semangatnya adalah pembinaan terhadap Ahmadiyah, namun diputarbalikkan menjadi semangat pelarangan, sehingga jemaat Ahmadiyah menanggung beban sosial.

Kedua, belum ada formula praktis di tingkat operasional untuk menerapkan pembinaan secara konkret, termasuk strategi, pola, mekanisme, dan program pembinaan pada jemaat Ahmadiyah.

Ancaman kerukunan

Maraknya perilaku kekerasan atas nama agama diduga sebagai respons atas paham radikalisme agama. Kondisi ini sungguh mengkhawatirkan, mengingat kalangan radikal mulai berani menunjukkan intensitas kekerasan dalam setiap gerakannya. Padahal, setiap agama mengajarkan tidak ada toleransi bagi kekerasan dalam bentuk apa pun.

Pemerintah, tokoh agama, dan seluruh pemimpin masyarakat dituntut lebih arif menyikapi masalah ini. Pemerintah melalui lembaga berwenang, utamanya pihak kepolisian, semestinya mampu mengantisipasi kondisi konfliktual ini agar tidak ada kesan realitas empiris yang menjurus uncontrolable. Jangan sampai perilaku kekerasan menjadi budaya dan mengikis nilai-nilai kebinekaan.

Tokoh agama seyogianya bersikap bijak dan sejuk, dan tidak seharusnya muncul pernyataan yang kian memancing panasnya suasana. Dalam konteks inilah, dialog menjadi media paling realistis untuk menyelesaikan beragam konflik sentimen keagamaan.

Dalam khazanah Islam, terdapat tiga domain persaudaraan. Pertama, ukhuwah basyariyah (persaudaraan antarmanusia). Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia-tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, dan bahkan agama-adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Nabi SAW mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain, apa pun latar belakangnya.

Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa harus dijalin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut.

Ketiga, ukhuwah islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum maupun spiritualitas. Perbedaan tersebut memang kerap menimbulkan ketegangan antarumat Islam. Namun, perbedaan dapat diselesaikan dengan damai dan dialog. Alquran mengajarkan wa jaadiulhum bi al-lati hiya ahsan (dialog dengan pola yang paling baik).

Kita berharap ormas Islam di Indonesia selayaknya apresiatif dalam menyikapi beragam persoalan yang berpotensi mengancam keutuhan bangsa ini. Kita semua harus mengembalikan keberagamaan dalam ranah yang moderat (al-tawassuth), seimbang (al-tawazun), toleran (al-tasamuh), dan jalan tengah (al-i'tidal); berkebalikan dengan kekerasan (al-tatharruf) dan teror (al-irhab).

Umat beragama harus menyadari bahwa selama ini mereka sering kali menghabiskan energinya untuk menghadapi musuh-musuh semu (pseudo-enemies), sehingga terjebak ke dalam primordialisme sempit yang sering berimplikasi terhadap timbulnya kedukaan manusia (human pain) karena tindakan anarkis.

Musuh sejati umat beragama bukanlah umat yang berkeyakinan lain atau berbeda, melainkan tantangan kontemporer berupa kaburnya arah masa depan kemanusiaan, peradaban, dan segenap ekses kerusakan lainnya. Wallah yahdina ila ash-shirath al-mustaqim. Amin.
Opini Republika 19 Februari 2011