24 Juni 2011

» Home » Opini » Republika » Harlah ke-88 Nahdlatul Ulama Dari NU untuk Indonesia

Harlah ke-88 Nahdlatul Ulama Dari NU untuk Indonesia

Muhammadun AS
Alumnus PP Sunan Ampel Jombang, Penekun Kajian Historiografi Indonesia
Kontemporer


Pada 16 Rajab 1432 H/18 Juni 2001, Nahdlatul Ulama (NU) berusia 88 tahun. Usia menjelang seabad ini penting untuk menjadi refleksi organisasi NU dalam menyusun strategi perjuangannya. Hiruk-pikuk sosial politik dan makin gencarnya arus globalisasi menghadirkan tantangan serius bagi NU, sehingga NU perlu meneguhkan kembali spirit perjuangan yang telah ditanamkan para pendiri serta mencipta inovasi baru dalam gerakan dakwahnya. Ini tak lain agar NU bisa terus menjawab persoalan zaman dengan kaidah kemaslahatan publik yang selalu dipegangi.

Membaca jejak NU jelang seabad sekarang ini tak bisa dilepaskan dari Kota Surabaya. Di Surabaya inilah jejak-jejak NU terpahat, baik dalam artefak fisik maupun artefak imajinatif. Jejak-jejak itu menjadi sumber energi bagi NU untuk tetap eksis dengan jati dirinya. Jejak-jejak terpantul di Surabaya, seperti dalam daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya. Daerah itu menjadi tempat rapat para kiai sebelum NU berdiri. Kemudian, rumah KH A Wahab Hasbulllah di Kampung Kawatan, Surabaya, merupakan tempat lahirnya organisasi NU pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926.

Para kiai yang berkumpul di rumah KH A Wahab Hasbullah datang dari Jawa dan
Madura. Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh beberapa ulama senior yang
berpengaruh, seperti KH Hasyim Asy'ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH
R Asnawi (Kudus), KH Ma'sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH
Nahrowi, KH Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah
Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan
Abdul Qohar (Kertosono), dan KH Abdullah Faqih (Gresik).

Para kiai sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Para kiai juga sepakat mendirikan organisasi (jam'iyah). Jam'iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama'ah, seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Surabaya, 1344 H).

Bukan itu saja, Surabaya memantulkan jejaknya untuk NU. Sejak 1926-1950,
kantor pusat NU berada di Surabaya. Sejak 1926-1945, kantor PBNU berada di
Jl Sasak No 32, Surabaya, yang tak lain adalah rumah H Hasan Gipo (Presiden PBNU 1926-1934). Saat Surabaya direbut Belanda pada 10 November 1945, KH Muhammad Dahlan, konsul NU Jawa Timur, memindahkan ke Jl Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan.

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor PBNU ke Jl Dr Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948, meletus pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Agresi Militer Belanda II, kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya. Sejak ibu kota RI kembali ke Jakarta pada 1950, PBNU baru pindah ke Jakarta.

Masa-masa NU di Surabaya merupakan masa generasi perintis sehingga mewariskan jejak agung ihwal prinsip, visi, misi, dan gerak perjuangan. Selain sebagai perintis NU, para kiai waktu itu juga para perintis pesantren ternama di Indonesia saat ini. Kiai Hasyim Asy'ari sebagai pendiri Pesantren Tebu Ireng, Kiai Bisri Syansuri sebagai pendiri Pesantren Denanyar Jombang, dan sebagainya. Tak salah kalau sekarang ini para generasi awal selalu dirindukan dalam berbagai forum NU, baik dalam muktamar, munas, konferensi, maupun sidang pleno.

Menegakkan NKRI
Walaupun saat itu berkantor di Surabaya, NU sudah menunjukkan visi kebangsaannya dalam menjaga dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini dibuktikan dengan perjuangan para kiai yang selalu mengumandangkan Indonesia merdeka. Kiai Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar NU pernah ditahan Jepang karena mambangkang, tidak mau menyembah matahari, saikere. Kiai Hasyim tidak ingin Indonesia membungkuk kepada penjajah. Indonesia harus tegak, berdiri dengan sekuat tenaga, walaupun nyawa taruhannya. Penjara tidak membuat Kiai Hasyim berubah pendirian.

Kemudian, tatkala Belanda melakukan Agresi Militer I pascakemerdekaan, Kiai
Hasyim menyerukan resolusi jihad menentang penjajah pada 22 Oktober 1945.

Resolusi tersebut mewajibkan perang melawan penjajah dalam dalam lingkaran 94 km. Resolusi itu berbunyi: "...

Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe
Fardloe 'ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedodoekan moesoeh. Bagi orang-orang jadi berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalau dikerdjakan sebagian sadja) …"
(Resolusi Jihad NU 1945).

Kemudian saat negara menetapkan Pancasila sebagai dasar negara pada awal 1982, NU merupakan organisasi sosial keagamaan pertama yang menetapkan Pancasila sebagai asas tunggalnya.

Hal itu terjadi dalam Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Kiai Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid saat itu menjadi inisiator gerakan NU untuk Pancasila. Kemudian saat reformasi bergulir pada 1998, kala organisasi kembali berbaju agama, NU tetap menjaga visi kebangsaannya. NU selalu tampil untuk menjaga, menegakkan kedaulatan NKRI.

Sekarang, kala gemuruh negara agama sedang gencar, NU bahkan meneguhkan
pilar kebangsaan kita. NU tetap setia dengan NKRI, menolak mendirikan negara
agama dan menegakkan pilar berbangsa (NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bineka
Tunggal Ika). Kiai Wahid Hasyim sejak 1945-jelang kemerdekaan-sudah
mencontohkan bahwa NU setuju dengan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

NU akhirnya setuju Pancasila sebagai dasar negara. Itu sudah dilakukan Kiai
Wahid Hasyim sebagai wakil NU dalam BPUPKI dan PPKI.

Sejak di Surabaya, NU bersenyawa dengan NKRI. Pantulan gagasan dan pemikiran dari Surabaya itulah yang terus memantulkan cahaya keikhlasan NU dalam berjuang untuk Indonesia.

Opini Republika 21 Juni 2011