24 Juni 2011

» Home » Opini » Republika » Korporasi dan Krisis Pangan

Korporasi dan Krisis Pangan

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Indonesia diyakini kembali masuk radar investasi global. Ini ditandai membaiknya peringkat daya saing global Indonesia yang naik 10 di antara negara G-20 lainnya. Kini, Indonesia ada di urutan ke-44 dari 139 negara yang masuk dalam Global Competitiveness Index (GCI) 2010-2011.

Selain itu, untuk pertama kalinya, Indonesia dipercaya menggelar Forum Ekonomi Dunia Asia Timur (WEF-EA). Dari pertemuan pekan lalu itu, menurut pemerintah, ada investasi 10 miliar dolar AS. Terkait pertanian, sebanyak 14 korporasi multinasional, seperti Nestle, Monsanto, Cargill, Unilever, Danone bersedia jadi pembeli produk pangan Indonesia. Kerja sama dinamai 20-20-20: meningkatkan produksi pangan 20 persen, menekan emisi gas rumah kaca (GRK) 20 persen, dan menekan kemiskinan 20 persen.

Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup kian membaik. Pada 1914, penduduk dunia 1,6 miliar dan pada 2025 diperkirakan jadi 8 miliar. Tahun 1900, bayi lelaki dan perempuan bisa hidup hingga usia 46-48 tahun. Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun.

Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit, degradasi lingkungan meluas, ketersediaan air makin terbatas, dan emisi gas rumah kaca yang tak terkendali membuat anomali iklim dan cuaca kian sulit diprediksi. Kelaparan makin sulit dilenyapkan dari muka bumi, bahkan kini jumlahnya mencapai 1,1 miliar. Proses produksi pangan yang selaras alam diyakini bisa mendongkrak produksi, menekan emisi GRK, dan mengurangi kemiskinan.

Bukan hal baru terjalin kerja sama petani dan perusahaan atau korporasi. Sebagai pencetak kekayaan dan laba, juga bukan hal baru korporasi bisa memupuk keuntungan dari bahan baku yang dihasilkan petani. Masalahnya, patut disayangkan, cara meraih kekayaan dilakukan dengan cara memeras keringat petani sampai habis tanpa memberi imbalan yang sepadan.

Korporasi multinasional pertama di negeri ini, VOC (1602-1800), adalah catatan yang baik ikhwal sejarah eksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani, oleh korporasi. Lewat praktik eksploitasi, VOC bahkan bisa memiliki tentara seperti negara. Lewat VOC yang diteruskan dengan praktik Tanam Paksa (1830-1870), Belanda memupuk pundi-pundi kekayaan. Hanya dari tebu, Belanda seperti menemukan emas sehingga menjuluki "gabus tempat pengapungan Holland".

Kini, eksploitasi atau penjajahan melalui cara-cara koersif seperti era VOC atau Tanam Paksa kian sulit ditemukan. Sebagai gantinya, korporasi memakai mekanisme pasar untuk memuluskan praktik penjajahan. Ini, antara lain, ditandai munculnya sistem rantai pangan (agrifood chain) oleh korporasi multinasional (MNCs). Sistem ini menghubungkan mata rantai dari sejak gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan. Artinya, sektor pangan-mulai produksi, perdagangan, pengolahan dan ritel-tak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga makin terkonsentrasi.

Menurut South Center (2005), 85-90 persen perdagangan pangan dunia dikontrol hanya lima MNCs; 75 persen perdagangan serealia dikuasai dua MNCs; dua MNCs menguasai 50 persen perdagangan dan produksi pisang; tiga MNCs menguasai 83 persen perdagangan kakao; tiga MNCs menguasai 85 persen perdagangan teh; lima MNCs menguasai 70 persen produksi tembakau; tujuh MNCs menguasai 83 persen produksi dan perdagangan gula; empat MNCs menguasai hampir 2/3 pasar pestisida, ¼ bibit (termasuk paten) dan menguasai 100 persen pasar global bibit transgenik.

Dengan penguasaan pasar seperti itu, MNCs bisa mengontrol harga input pertanian, mempraktikan perjanjian jual-beli yang tidak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga super murah.

Sebagai ilustrasi, Wal-Mart di AS, misalnya, memanfaatkan suplai yang berlebih untuk mendepak pemasok lama dan menekan harga pisang dari 1,08 euro (2002) jadi 0,74 euro (2004). Akibatnya, petani pisang di Kosta Rika sebagai pemasok merugi dan tidak bisa membayar buruh dengan upah minimum. Sebab, tiap 1 dolar AS harga pisang di Kosta Rika 57 persen jatuh ke MNCs.

Untung besar diraih korporasi dengan memeras petani lewat dua cara (double squeezing): mematok harga input dan olahan dengan harga tinggi dan menekan harga beli komoditas petani serendah mungkin. Akibatnya, harga-harga komoditas primer di pasar dunia terus merosot. Sebaliknya, harga yang dibayar oleh konsumen untuk produk olahan atau produk jadi terus meningkat. Jadi, mekanisme pasar yang didesain korporasi tidak hanya merugikan petani, tetapi juga memeras konsumen.

MNCs juga memanfaatkan lembaga-lembaga multilateral, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk memuluskan tujuan. Di bawah tekanan dan lobi-lobi korporasi atas nama
globalisasi, IMF dan Bank Dunia mendesak pemerintah di banyak negara agar menerapkan kebijakan neoliberal. Pemerintah dipinggirkan dan bisnis memegang kendali berbagai area publik yang semula dikelola dan jadi domain negara.

Noreena Hertz (1999) menyebut gejala ini sebagai "pengambilalihan diam-diam" (silent take-over). Korporasi menjelma jadi institusi dominan yang kekuasaan dan pengaruhnya melebihi negara dan komunitas sipil. Dalam hal pertanian, lewat promosi led-export production model pertanian berubah secara radikal: dari terdiversifikasi dalam skala kecil jadi model ekspor-industrial yang digerakkan korporasi, seperti Monsanto, Cargill, dan Syntega.

Perubahan ini diikuti tergerusnya kearifan dan kekayaan hayati lokal yang selama berabad-abad terbukti bisa menjamin ketahanan pangan warga. Kini, setelah mengadopsi sistem monokultur, petani bergantung asupan kimiawi dan paket teknologi korporasi global yang memonopoli dua pertiga pasar global pestisida dan seperempat penjualan bibit global berikut patennya. Kebijakan led-export production berdampak langsung pada terciptanya situasi-situasi genting saat ini: ratusan juta petani gurem yang dulunya mandiri, petani kehilangan tanah, kehilangan pekerjaan, kehilangan sumber pangan, dan kelaparan.

Menjadi krusial jika salah satu kesepakatan WEF-EA menjadikan korporasi sebagai jawaban krisis pangan. Bukankah korporasi pencipta dan penyebab krisis pangan? Alih-alih mendongkrak produksi pangan, menekan emisi GRK, dan menurunkan kemiskinan, mengatasi krisis pangan dengan melibatkan korporasi bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.
Opini Republika 24 Juni 2011