06 Januari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Einstein dan Koruptor

Einstein dan Koruptor

Oleh Bambang Satriya, Guru besar dan dosen luar biasa Universitas Ma-Chung dan UIN Malang

”Kita telah melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini,” demikian ajakan Edwin Markham yang ditujukan kepada setiap pengemban amanat negara untuk menyejarahkan produk hukum dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Pengemban merupakan sosok manusia yang sudah pintar melafalkan hukum, namun belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka bisa hafal pasal-pasal di luar kepalanya, tetapi belum tentu bernyali besar dalam memperjuangkan penegakannya.

FAKTA di tahun 2010 ini, sosok pintar yang hafal hukum di Indonesia, masih sulit diajak menerapkan dalam tugas dan kewenangannya, terutama saat hukum dihadapkan pada elemen penjahat berkategori extra ordinary crime seperti koruptor. Tidak sedikit dari mereka yang berpendidikan strata-2 dan strata-3 serta mengikuti berbagai pelatihan melawan koruptor. Namun, ternyata gagal mengedukasikan dirinya jadi pemberantas, dan sebaliknya jadi objek yang diberantas.

Terhadap kasus korupsi di negeri ini, siapa pun yang diangkat sebagai lembaga penanggulangan korupsi semacam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetaplah wajib diposisikan menjadi lembaga yang layak dikontrol. Tidak boleh dibiarkan punya hak imunitas, atau dipraduga sebagai institusi paling bersih yang tidak mungkin ternoda atau tergoda oleh limbah korupsi.

Institusi jadi kumpulan manusia penghafal tatanan (hukum), namun belum tentu 'bernyawa' saat menghadapi superioritas mafioso kekuasaan di negeri ini. Mengapa demikian?

Sejarah telah mengajarkan, sekurang-kurangnya sejak zaman Orde Baru, bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah atau mendapatkan amanat untuk mengawasi kinerja birokrasi dan aparat penegak hukum, ternyata tidak cukup tangguh dalam mengawasi perilaku birokrat dan aparat strategis negara, termasuk aparat penegak hukum yang bermental kleptokrat.

Memang seperti kata Tanuwijaya (2009), kalau diposisikan secara riil, teroris sejati di negeri ini adalah koruptor, karena koruptor merupakan penjahat kerah putih atau istilah Edwind Sutherland pelaku 'white collar crime', yang punya kemampuan istimewa di bidang intelektualitas, pengolahan kekuasaan atau manajemen birokrasi, jaringan yang memadai, dan target-target yang jauh hari sudah dikalkulasi secara sistemik.

Apa yang dilakukan koruptor selama ini jelas bukan disebabkan kesulitan ekonomi, tetapi dominan oleh keserakahan dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada rakyat dan negara. Koruptor tidak mau tahu kalau akibat perbuatannya ini, rakyat bisa hidup sekarat. Ekonomi bangsa karut-marut, daya beli rakyat menurun, merangsang booming kejahatan lain seperti bersemainya, meminjam kata Jeffri Winters 'utang najis' atau utang jahat (criminal dept), dan jatuhnya citra bangsa di mata negara-negara lain.

Keistimewaan koruptor itulah yang membuat tidak gampangnya kekuatan lain yang berdiri di garis kebenaran dan keadilan, serta pembelaan hak-hak rakyat untuk memberantasnya. Begitu mencuat keinginan moral, politik, dan hukum untuk berjihad melawan koruptor, maka koruptornya juga menyiapkan berbagai jurus yang bisa diandalkan untuk berkelit dan memenangi pertarungan.

Gejalanya belakangan ini, syahwat negara (pemerintah) untuk memerangi korupsi juga menghadapi kepiawaian koruptor itu. Bahkan kepiawaian ini terasa lebih kuat atau 'digdaya' daripada kemampuan aparat. Aparat yang seharusnya bisa mengerahkan segala bentuk senjatanya dalam memaksimalkan bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) perkara korupsi, sepertinya sedang menghadapi tembok besar yang membuatnya kehilangan keberdayaannya.

Ketika institusi peradilan itu kurang bergairah atau 'lemah syahwat' di dalam menangani perkara korupsi, gugatan yang patut diajukan adalah ke mana institusi-institusi yang selama ini dibentuk atau mendeklarasikan dirinya sebagai pengawas korupsi? Masihkah mereka ini menjalankan amanatnya sebagai lembaga pengawas korupsi ataukah sebagai lembaga yang sedang atau telah terdistorsi oleh korupsi, sehingga di dalam dirinya juga melekat penyakit lemah mental?

Merasionalitaskan sudut kegagalan aparat penegak hukum dalam berjihad melawan korupsi, dapat terbaca dari indikasinya yang menunjukkan bahwa lembaga pengawas selama ini masih belum cukup progresif dan pola 'law enformenet'-nya tak berbasis yuridis, egalitarian, dan akuntabilitas. Aparat penegak hukum masih terkondisikan berkompetisi dalam menjaring koruptor secara transparan dan egalitarian jika institusi pengawasnya mampu menjalankan fungsi kontrolnya secara penuh.

Pemerintah yang membentuk berbagai lembaga pengawas seperti Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Pengawas Kepolisian, Kehakiman, dan lainnya sejatinya merupakan bentuk 'sindiran' atau apresiasi kekecewaan, distorsi kredibilitas terhadap kinerja aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga yang mendapatkan mandat sebagai pengawas dan pemberantas korupsi.

SBY barangkali sudah mengevaluasi kalau lembaga pengawas yang selama ini diberi kepercayaan menangani korupsi belum maksimal 'jemput bola' dan hanya menunggu datangnya laporan kasus korupsi. Dengan dibentuknya lembaga pendatang baru seperti satgas antimafia hukum, SBY membuat semacam lembaga pengawas tandingan yang ditargetkan bisa mempercepat laju penanganan korupsi di negeri ini.

Dalam perjalanan KPK saja misalnya, masih terkesan kuat kalau lembaga ini belum maksimal, objektif, jujur, dan adil dalam menangani sejumlah kasus yang diduga berdasarkan bukti permulaan layak dikategorikan korupsi. Tidak sedikit kasus korupsi yang tipenya 'korupsi kelas gurita', yang tidak atau belum disentuh oleh KPK.

Semestinya KPK tidak perlu membeda-bedakan besar kecilnya kasus dan mengandung muatan politik tidaknya kasus, karena kinerjanya sudah disumpah untuk menjalankan profesinya ini dengan prinsip jujur, adil, dan egaliter.

Dalam kasus tersebut, kita layak memperhatikan apa yang diingatkan oleh Albert Einstein, bahwa 'kejahatan terbesar bukanlah dilakukan oleh pelakunya, tetapi oleh kita yang mendiamkan kejahatan itu terjadi'. Artinya, meskipun SBY telah membentuk lembaga baru untuk mengawasi penanganan kasus korupsi, kita juga wajib memberdayakan kontrol, selalu membuka mata, dan memasang telinga terhadap kinerja lembaga baru ini dan kinerja lembaga-lembaga lama yang mengemban amanat menangani dan mengawasi jalannya sistem peradilan pidana kasus korupsi.

Kalau peran itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kitalah yang layak menanggung dosa, karena kita sama artinya dengan membuka kran bersemainya kasus korupsi di negeri ini.

Dalam kasus korupsi di Indonesia ini, kita layak menjatuhkan sikap praduga lebih dulu terhadap setiap bentuk politik penanggulangan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Pasalnya, apa yang dilakukan pemerintah ini layaknya dokter yang sedang sakit yang berusaha menyembuhkan penyakitnya sendiri, padahal kalau penyakitnya itu di dalam dan sedang menghegemoni dirinya, maka ini jelas berat sekali.

Selain itu, hingga sekarang berbagai kasus korupsi besar di beberapa waktu lalu seperti Century masih belum jelas politik penanggulangan, khususnya pengawasan terhadap penegakan hukumnya. Masyarakat hanya diseret untuk menyikapi kasus-kasus yang baru seumur jagung, sementara tersangka korupsi yang nilainya ratusan triliun rupiah dibiarkan menikmati udara segar kebebasan.

Dalam tataran itu, jelas penanganan korupsi masih di kisaran 'memanaskan' target tertentu, sedangkan yang lainnya dibiarkan lenyap ditelan sejarah mencuatnya peristiwa-peristiwa besar di Tanah Air. Hukum masih digerakkan oleh mesin yang mengarahkan untuk 'memihak' yang kuat. 
Opini Media Indonesia 7 Januari 2010