06 Januari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » Out of Court Settlement untuk Keterlanjuran Pemanfaatan Kawasan Hutan

Out of Court Settlement untuk Keterlanjuran Pemanfaatan Kawasan Hutan

Oleh : Sarluhut Napitupulu
Perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, beroperasi tanpa izin pelepasan kawasan atau izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan, ternyata telah lama marak tumbuh di seluruh Indonesia.
Luasnya bahkan mencapai jutaan hektar. Lihatlah, di daerah Kalbar dan Kalteng, luasan perkebunan kelapa sawit tanpa izin mencapai 1 juta hektar dibuka oleh sekitar 77 perusahaan dan koperasi .
Di Sumut, kondisi serupa terjadi di Kawasan Hutan Padang Lawas Register 40. Seluas 178.508 ha kawasan hutan tersebut kini hampir seluruhnya telah menjadi perkebunan kelapa sawit, dikelola masyarakat, perorangan, koperasi, yayasan, PMDN, PMA, dan PTPN. Telah mensejahterahkan sekitar 150 ribu jiwa masyarakat adat setempat yang hidup di kawasan tersebut (selama 7 generasi). Bahkan BPN telah menerbitkan 8000 buku tanah (Sertifikat Hak Milik) atas kawasan tersebut.
Data ini tentu mengherankan. Mengapa bisa terjadi proses pembiaran (bahkan pembusukan) sehingga perkebunan kelapa sawit dan pertambangan bisa beroperasi di kawasan hutan? Mengapa Kementerian Kehutanan selaku pihak yang mengklaim lahan itu sebagai kawasan hutan tak merawatnya? Mengapa tak dicari solusi penyelesaian yang bersifat win-win solution? Mengapa ya ?
Mungkin terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan itu, akhirnya Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, melayangkan surat tertanggal 14 September 2010 kepada Jaksa Agung, memohon pertimbangan hukum atas keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan tersebut. Sebelumnya, fakta tersebut telah diserahkan Menhut kepada Tim terpadu Penanganan Pelanggaran Kehutanan (dibentuk Januari 2010) – tim terdiri dari Kemenhut, KPK, Kejagung dan Polri.
Tanpa Sepengetahuan Menhut
Dalam suratnya, pokok permasalahan diajukan Menhut antara lain adalah banyak terdapat HGU dan Izin Lokasi Perkebunan berada didalam kawasan hutan yang belum mendapat izin/persetujuan pelepasan kawasan hutan dari Menhut. Banyak terbit Izin Konsesi Kegiatan Pertambangan di dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, tanpa seizin dan sepengetahuan Menhut. Terdapat penguasaan lahan oleh masyarakat untuk permukiman, perladangan, persawahan, di dalam kawasan hutan.
Jaksa Agung Hendarman Supandji (saat itu), melalui suratnya tertanggal 21 September 2010, memberikan pertimbangan hukum atas permohonan Menhut tersebut. Pertimbangan hukum diberikan dalam upaya paduserasi antara pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan No 41/1999 dengan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang RTRW Nasional yang dilaksanakan Pemerintahan di daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih peruntukan kawasan hutan untuk usaha kehutanan dengan usaha yang bersifat non hutan.
Menurut Jaksa Agung, bahwa jika terdapat adanya bukti pendukung terjadinya tumpang tindih dari pelaksanaan UU Tata Ruang dengan UU lainnya, terhadap sebuah lahan yang menjadi objek sengketa, maka pihak Kemenhut wajib untuk membuktikan tentang batas-batas kawasan hutan yang didukung oleh data fisik berupa patok dan batas-batas kawasan hutan yang sesuai dengan peta/gambar kawasan hutan yang telah disahkan oleh pemerintah.
Pada kenyataannya, tertulis di surat Jaksa Agung, data fisik berupa tanda/patok batas kawasan hutan yang ada di lapangan tidak dapat ditemukan lagi. Masih lumayan kalau sudah ditata batas tapi patoknya hilang, masih bisa di rekonstruksi. Fakta di lapangan, justru dominan banyak yang belum ditata batas, karena belum sempat, biaya tak punya (yang diukur jutaan kilometer dengan hitungan kasar per kilometer menelan biaya sekitar Rp4 juta). Padahal, pengukuhan kawasan hutan penting untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan tersebut.
Secara umum kondisi seperti tersebut di atas terjadi di seluruh Indonesia. Bahkan, setelah terjadi proses pemekaran-pemekaran kabupaten dan provinsi, kondisi tata batas tersebut semakin tak jelas. Maka tak heran, pembangunan infrastruktur untuk daerah daerah pemekaran marak terjadi di kawasan hutan.
Oleh karena itu pengembalian batas kawasan hutan yang tidak ditemukan dilapangan sulit ditentukan kembali secara objektif tentang batas-batas kawasan hutan yang sebenarnya. Dengan demikian secara yuridis penentuan dan penilaian adanya unsur-unsur tentang kualifikasi perbuatan melanggar hukum kawasan hutan sulit/tidak dapat untuk dibuktikan.
Maka, masih tulis Jaksa Agung, sebagai pertimbangan hukum dalam hal Kemenhut memiliki bukti pendukung adanya Peraturan Daerah tentang pelaksanaan UU No 26 Tahun 2007 tentang RTRW Nasional yang tumpang tindih dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka sewajarnya ditempuh upaya penyelesaiannya melalui jalur out of court settlement (penyelesaian masalah diluar persidangan/peradilan).
Pada prinsipnya, proses out of court settlement adalah tidak merugikan investor atau pengusaha yang memiliki izin usaha, karena dalam kegiatan usaha telah menghasilkan pemberdayaan manusia dalam lingkungan usahanya.
Di dalam doktrin penegakan hukum keperdataan, kualifikasi hukum bagi pihak pengusaha yang telah memiliki izin berdasarkan Peraturan Daerah, maka secara yuridis digolongkan sebagai pihak yang berkualitas atau sebagai pihak yang dinilai beriktikad baik atau goedetrouw, oleh karena itu harus dilindungi secara hukum.
Berdasarkan dogma hukum, hasil dari proses out of court settlement diwujudkan dalam Berita Acara Kesepakatan Damai. Dan menurut ketentuan pasal 1858 KUH Perdata merumuskan bahwa posisi hukum akta kesepakatan damai adalah diidentikkan sebagai putusan hakim terakhir yang berkekuatan hukum tetap, sehingga memiliki nilai eksekutorial.
Pertimbangan hukum Jaksa Agung berupa out of court settlement ini memang sebuah solusi terbaik dalam penyelesaian kasus-kasus keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan. Solusi tersebut menuju ke arah win-win solution, melingkupi kepentingan masyarakat banyak, kepentingan kawasan dan lingkungan hidup, dan kepentingan investasi yang sudah tertanam.
Pertanyaannya, apakah pertimbangan hukum dari Jaksa Agung yang solutif tersebut, telah dilaksanakan oleh pihak Kemenhut selaku pihak yang memohon pertimbangan hukum? Jawaban cerdas tentu sangat dinantikan masyarakat.***
Penulis: Sekretaris Lembaga Peduli Hutan Indonesia.
Opin Analisa Daily 6 Januari 2011