01 Februari 2012

» Home » 1 Februari 2012 » Opini » Suara Merdeka » Kejahatan dengan Kekerasan

Kejahatan dengan Kekerasan

Kejahatan dengan Kekerasan. PELAKU kejahatan dengan kekerasan di siang bolong kini makin nekat. Mereka tidak lagi takut beraksi di tengah keramaian. Modusnya pun sadis dan terencana. Berboncengan motor, lalu satu atau dua dari mereka berhenti di depan sasaran, bisa toko emas, perumahan ataupun perorangan.

Bersamaan dengan itu, pelaku menodongkan senjata (bisa senjata api atau senjata tajam), dan bila ada tanda-tanda korban melawan, mereka mencederainya. Setelah itu, bahkan kadang dengan tenang pelaku melenggang membawa jarahannya.

Ataupun kasus model perampokan, yang pelakunya tidak mengindahkan petugas pengawal, satpam, atau sejenisnya. Mereka menyikat siapa pun yang menghalangi aksinya. Banyaknya kasus kejahatan dengan kekerasan di tengah masyarakat memunculkan pertanyaan, apakah penjahat kini makin nekat atau petugas keamanan lengah? Atau ada instrumen lain yang melahirkan fenomena itu kendati di sisi lain jajaran kepolisian juga menangkap pelakunya.  Sepertinya tertangkap satu, tumbuh seribu.

Ada tiga analisis yang disampaikan oleh M Sofyan terkait fenomena tersebut. Pertama; kecenderungan menurunnya wibawa aparat di mata pelaku kejahatan.
Pelaku menganggap aparat akan bertindak hati-hati bila terpaksa menggunakan senjata api, lebih-lebih di tempat ramai. Banyaknya kejadian polisi salah tembak atau salah sasaran saat mengejar penjahat menjadi mind power. Penjahat tahu belum ada instrumen hukum yang melemahkan posisinya bila terpaksa menembak atau melukai petugas.

Padahal di negara lain, misalnya Amerika Serikat atau Singapura, instrumen hukum sangat melindungi polisi yang bertugas. Siapa pun yang mencederai, lebih-lebih sampai menghilangkan nyawa, mendapat hukuman sangat berat. Hal ini sangat efektif untuk menekan brutalisme penjahat terhadap hamba wet.
Kedua; tren kejahahatan dengan kekerasan tumbuh secara linier seiring dengan gejala meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan kerah putih atau white collar crime. Pelaku kejahatan dengan kekerasan, misalnya perampok, atau mereka yang bertindak secara konvensional dengan mengedepankan otot, ingin membuktikan sikap cemburu mereka kpada pelaku kejahatan kerah putih, seperti pembobol ATM, rekening (seperti kasus Melinda Dee), yang bekerja dengan otak namun hasilnya milyaran rupiah dan hukumannya tidak seberat mereka yang melakukan kejahatan dengan kekerasan.

Hukuman Berat

Ketiga; variabel siginifikan terhadap masalah tingginya pengangguran, ketimpangan ekonomi di masyarakat, dan kesulitan sosial yang antara satu dan lainnya tidak bisa dipisahkan. Kemiskinan yang membelenggu sebagian besar masyarakat lapis bawah menjadi faktor kriminogen fenomena kejahatan di siang bolong.
Sepertinya tidak ada jalan lain untuk mengatasi fenomena kejahatan sadis di siang bolong, meskipun aparat kepolisian sudah menerapkan pola preventif, seperti patroli, penjagaan, dan pengawalan, faktanya penjahat sangat tahu pola itu. Bahkan, seandainya harus head to head dengan polisi, sepertinya mereka sudah siap. Jalan yang bisa diupayakan oleh masyarakat, dan ini sering dilakukan kepolisian adalah dengan mengupayakan pemutus mata rantai antara niat dan kesempatan bagi pelaku kejahatan.

Artinya, niat pelaku kejahatan menjadi tertutup manakala siapa pun tidak memberi kesempatan, misalnya berupa kesiapsiagaan, segera tanggap, peduli, dan berani melawan. Memang, pilihan sikap berani melawan terbukti bisa menghalang-halangi, atau menggagalkan aksi kejahatan, tapi risikonya juga besar, yaitu keselamatan jiwa. Inilah dilematisnya.

Sebagai bentuk kepedulian atas fenomena itu, kini saatnya penegak hukum, baik penuntut umum maupun hakim, berani pula mengajukan tuntutan hukuman maksimal beserta pemberatannya. Pasalnya pelaku merupakan residivis, dan karena itu hakim tidak perlu ragu mengetuk vonis sesuai dengan tuntutan maksimal itu. (10)

— Herie Purwanto SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
Opini, Suara Merdeka, 1 Februari 2012,