01 Februari 2012

» Home » 1 Februari 2012 » Opini » Suara Merdeka » Mengurangi Konsumsi Beras

Mengurangi Konsumsi Beras

Mengurangi Konsumsi Beras. SETELAH mampu berswasembada beras pada 1984, sekarang kita menjadi negara pengimpor komoditas itu. Menurut IRRI (2011), Indonesia mengimpor 17,6% beras dunia, di bawah Filipina dan Nigeria. Sampai Juli 2011, kita sudah mengimpor 1,57 juta ton atau senilai Rp 7,04 triliun.


Dari produksinya, negara kita menduduki urutan ketiga setelah China dan India. Produksi 2010 mencapai 37,6 juta ton dengan konsumsi 33,4 juta ton.
Sementara China dan India masing-masing 194,3 juta ton (30,7%) dan 148,3 juta ton (21,6%). Produksi per hektare petani kita juga cukup tinggi, di bawah Jepang, China, dan Vietnam, tapi lebih tinggi ketimbang Thailand, Filipina, dan Malaysia.

UNCTAD (2008) menaksir selama 1962-2002 jumlah konsumsi beras naik hampir 40%. Di ASEAN, konsumsi per kapita Indonesia termasuk tertinggi, berimbang dengan Myanmar dan Laos. Kementerian Pertanian menyebut angka 139,15 kg per tahun atau 0,38 kg per hari.
Beras masih merupakan sumber kalori dominan masyarakat di Asia. Menurut ADB (2009), tahun 2007 sekitar 50% sumber kalori masyarakat Indonesia, Vietnam, dan Filipina berasal dari beras. Meskipun lebih rendah dari Bangladesh (70%), angkanya lebih tinggi ketimbang China dan Korea Selatan (27%) dan India (30%). Besaran itu memang mengalami penurunan, dan untuk Indonesia sejak 1990 mengalami penurunan dari 55,2% menjadi 48,8% pada 2007.

Menjadi Inferior

Hasil studi Mears (1981), Ito (1989), dan Matriz (2010) mencatat elastisitas pendapatan untuk konsumsi beras di beberapa negara Asia makin lama makin kecil. Ada hubungan makin meningkatnya pendapatan dengan makin menurunnya konsumsi beras.
Dalam ilmu ekonomi, barang yang jumlah permintaannya makin berkurang akibat meningkatnya pendapatan disebut barang inferior.

Beras cenderung dianggap barang inferior di negara berpenghasilan tinggi seperti Jepang dan Korea Selatan. Juga di negara pengekspor seperti Thailand dan Vietnam, dan di emerging economies seperti China dan India. Gejala serupa ditemukan di Indonesia, makin tinggi pendapatan seseorang konsumsi beras makin berkurang. Pemenuhan karbohidrat dan kalori bergeser ke sumber nonberas, dan hal itu juga dipengaruhi kecenderungan dari gaya hidup.

Pernahkah kita membayangkan Indonesia menjadi negara pengekspor beras? Dengan tingkat produksi dan konsumsi seperti sekarang, sulit diwujudkan. Apalagi di Jawa yang merupakan lumbung padi, gencar terjadi alih fungsi lahan pertanian padi. Pencetakan lahan baru di luar Jawa tidak memberikan hasil signifikan.

Prediksi jumlah produksi dan konsumsi juga sering terjadi silang pendapat, belum lagi menyangkut luas tanam dan panen. Antarinstitusi pemerintah, seperti Kementerian Pertanian dan BPS sering berbeda angka dan importir pemburu rente memanfaatkan kondisi itu untuk mengimpor beras.

Angka konsumsi beras per kapita versi Kementerian Pertanian 139,1 kg per tahun, namun prediksi BPS 113,5 kg. Penurunan 26 kg beras per kapita per tahun menambah persediaan gabah kering giling (GKG) 6 juta ton. Jika konsumsi dapat dikurangi maka Indonesia terbebas dari impor dan dapat menjadi eksportir beras.
Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada beras berisiko pada rapuhnya kebutuhan pangan. Sekali pun potensi bahan pangan alternatif kita besar dan beragam, pengembangannya tidak mudah. Peta jalan pembangunan pertanian selama ini juga jarang membahas penurunan konsumsi.

Kita juga dihadapkan pada ber-bagai kendala, termasuk sosial bu-daya dan psikologis. Beras masih sering dianggap makanan superior, sedangkan nonberas seperti umbi dan biji-bijian adalah inferior.
Kesadaran akan pentingnya mewujudkan kedaulatan pangan sudah lama disuarakan. Tidak sekadar berorientasi pada swasembada beras tetapi lebih dari itu sebagai pemenuhan pangan yang berdampak pada aspek politik, sosial, dan kedaulatan bangsa.

Harus ada kemauan politik untuk mengawal sektor pertanian dan pangan supaya tidak termarginalkan oleh arus industrialisasi dan kapital berskala besar. (10)

— Prof Dr Waridin, Ketua Pro-di Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Undip, Penyeleng-gara Program Beasiswa Unggulan Kemendikbud
Opini, Suara Merdeka, 1 Februari 2012