06 Januari 2011

» Home » Kompas » Opini » Demokrasi Para Tukang

Demokrasi Para Tukang

Demokrasi tak ayal menyimpan segurat sinisme tua. Demokrasi adalah konsep yang digagas secara sinis oleh mereka yang memiliki keistimewaan memerintah.
Para senior, aristokrat, teknokrat, dan orang berpunya adalah arsitek demokrasi. Mereka mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan oleh mereka yang tak berhak: kaum miskin, buruh, dan juga perempuan.
Demokrasi di mata mereka adalah sebentuk degenerasi. Degenerasi terjadi ketika pemerintahan merosot dari tangan yang kompeten ke tangan yang inkompeten. Demokrasi seyogianya bukan kedaulatan demos, melainkan ”orang-orang yang berhak”. Sinisme tua itu saya temukan pada secarik artikel Komaruddin Hidayat (Kompas, 5/1) yang menyarikan kuliah Wapres Boediono di UIN.
Degenerasi?
Boediono menyebut dua hadangan besar bagi agenda demokratisasi: disfungsionalitas dan degenerasi. Disfungsionalitas terjadi ketika demokratisasi tidak berjalan paralel dengan manajemen publik. Maka, berbagai petaka sosial terjadi di mana-mana. Kelaparan, pengangguran, dan kriminalitas memicu kemarahan sosial. Kemarahan sosial bukan semata ditujukan kepada rezim yang berkuasa, melainkan demokrasi sebagai format politik itu sendiri. Rakyat rindu format politik yang tak bising dan tertib. Totalitarianisme pun menunggu di ujung jalan demokratisasi yang mengalami disfungsionalitas.
Degenerasi terjadi ketika kepentingan pribadi dan publik bercampur aduk. Birokrasi diisi oleh politikus yang inkompeten atau pengusaha yang ”mata duitan”. Akibatnya layanan sosial amburadul. Campur aduk antara yang politis dan yang birokratis mengganggu obyektivitas, profesionalitas, dan akuntabilitas manajemen publik. Muaranya, rakyat kembali menjadi korban. Ini semua terjadi ketika pemerintahan bukan di tangan para ahli (des savants). Pemerintahan para ahli merosot menjadi pemerintahan mereka yang tak berhak.
Premis Boediono menyelipkan sebuah antagonisme tua antara yang kompeten dan yang inkompeten. Disebut tua karena itu bertolak dari pembagian platonik antara yang berpengetahuan dan yang tidak. Plato kita tahu mematok politik sebagai ruang bagi mereka yang berpengetahuan. Mereka yang bodoh jangan ambil bagian. Pikiran Platonik ini berseberangan dengan demokrasi yang sejatinya adalah kesetaraan dan bukan hierarki. Hierarki sendiri adalah corak monarki. Demokrasi di benak Boediono pun tak lebih dari pseudomonarki, khususnya monarki para aristokrat pikiran.
Dua sinyalemen Boediono terhadap demokrasi menyisakan pertanyaan. Pertama, apakah demokrasi hanyalah soal manajemen publik? Demokrasi lebih luas dari sekadar manajemen publik. Demokrasi adalah kesetaraan bersuara tanpa memandang latar belakang sosial, kultur, dan pikiran.
Ukuran ekonomi jangan dikenakan kepada demokrasi sebagai proyek politik. Ekonomi adalah akibat susulan dari demokratisasi politik. Oikonomia bukan syarat, melainkan akibat dari polis. Saya teringat Amartya Sen yang menolak trade off antara demokrasi dan kesejahteraan. Sen menyebut bahwa kebebasan bersuara adalah faktor penentu kesejahteraan, bukan sebaliknya.
Kedua, apakah urusan manajemen publik sungguh harus dipisahkan dari politik? Saya tak perlu meminjam teori politik untuk menjawab pertanyaan itu. Kenyataan empiris yang terjadi di Surakarta sudah lebih dari cukup. Wali Kota Surakarta Joko Widodo adalah kader partai politik yang setia pada ideologi politik partainya. Bertolak dari pegangan politik itu, dia memerintah Surakarta. Kebijakan publik lahir dari ideologi politik yang dibatinkannya, bukan kompetensi. Politik adalah muasal manajemen publik. Apabila politik dikatakan merusak, maka persoalannya bukan pada politik itu sendiri, melainkan pada merosotnya politik menjadi transaksi dan negosiasi, bukan lagi seni mengabdikan diri.
Demokrasi kaum bisu
Kekeliruan fundamental Boediono terletak pada paralelisme antara komunitas politik dan komunitas sosial. Komunitas sosial tersusun atas berbagai kelompok yang terpartisi rapi berdasarkan jender, pekerjaan, dan pendapatan. Ruang pun terpartisi berdasarkan distribusi sosial itu. Buruh perempuan bekerja di bagian penjahitan, buruh laki-laki di distribusi. Jender menentukan ruang kerja. Dalam benak Boediono, partisi pun terbentuk antara politisi dan birokrat. Politisi berdebat di Senayan, birokrat bekerja di Medan Merdeka. Keduanya tak boleh bercampur.
Padahal, komunitas sosial berbeda dengan komunitas politik. Komunitas politik tidak dipartisi berdasarkan jender, pekerjaan, dan pendapatan. Buruh yang bekerja di pabrik tiba-tiba beraksi teatrikal di depan Istana Merdeka. Buruh yang biasa mengajukan tuntutan ekonomi tiba-tiba menuntut pemakzulan. Politik adalah ketakterdugaan. Ini yang dilenyapkan oleh paralelisme komunitas sosial dengan politik.
Komunitas sosial yang dipartisi rapat membisukan mereka yang tak berhak. Politik demokrasi bukan soal kompetensi, melainkan perebutan suara. Namun, politik bukan urusan merebut suara rakyat, melainkan rakyat merebut haknya sendiri untuk bersuara.
Kekeliruan fundamental kedua Boediono terletak pada kesalahpahaman terhadap politik itu sendiri. Politik bukan mengurus publik dengan pembagian pekerjaan yang niscaya. Politik sebagai manajemen publik justru mengabaikan kualitas politik dari warga seperti buruh, perempuan, dan kaum miskin. Politik bukan imperatif untuk buruh agar produktif demi pertumbuhan ekonomi. Politik sejatinya adalah pembukaan ruang bagi buruh untuk mengartikulasikan diri sebagai subyek politik. Dengan kata lain, politik bukan urusan perut belaka. Kesejahteraan penting, tetapi bukan yang terutama.
Politik adalah konfrontasi terhadap rezim yang mengelola publik seperti mengelola barang. Korban lumpur Lapindo tidak butuh kategorisasi untuk penggantian rugi. Korban lumpur Lapindo membutuhkan ruang untuk mengajukan tuntutan-tuntutan politis yang tak terduga. Ruang yang tak dapat diberikan pemerintahan, melainkan direbut sendiri oleh para korban. Menjadi politis tidak membutuhkan uluran tangan kekuasaan. Menjadi politis adalah perlawanan terhadap kekuasaan manajerial-administratif yang mendehumanisasi.
Demokrasi bekerja sepenuhnya untuk mereka yang bisu atau dibisukan. Kompetensi bukan isu utama demokrasi. Partisi atau pemilahan kerja juga bukan watak utama demokrasi. Itu semua adalah watak manajemen, demokrasi tak dapat direduksi menjadi urusan manajerial.
Apabila demokrasi senapas dengan manajemen, maka saya menganjurkan untuk menarik semua wakil partai politik di kabinet. Kabinet lebih baik berisi para manajer yang berpengetahuan, tetapi miskin ideologi politik. Itukah demokrasi yang kita impikan bersama? Mungkin sebagian akan mengiyakan. Selamat bermimpi.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia
Opini Kompas 6 Januari 2010