17 Februari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » BBM, Keadilan Sosial, Pajak (Subsidi), dan Harga

BBM, Keadilan Sosial, Pajak (Subsidi), dan Harga

Pemerintah masih menunggu hasil kerja Tim Kajian Pengaturan BBM Bersubsidi yang melibatkan tiga perguruan tinggi, yakni Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Indonesia. Universitas Gadjah Mada bertugas mengkaji kebijakan pengaturan BBM bersubsisdi, tim dari ITB mengkaji kesiapan infrastruktur, dan dari tim dari UI mengkaji efektivitas dan pengawasan kebijakan di lapangan. Ketua Tim Kajian Pengaturan BBM Bersubsidi Anggito Abimanyu menyampaikan beberapa opsi, yakni penaikan harga premium, pengguna kendaraan pribadi beralih ke pertamax, dan kuota konsumsi dengan penjatahan, atau pemberian subsidi bagi pertamax.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan subsidi BBM pada 2010 sebesar 181% terhadap subsidi BBM 2009. Volume BBM bersubsidi 2010 mencapai 38,2 juta kiloliter (kl) atau melampaui kuota APBN yang sebesar 36,5 juta kl. Premium merupakan jenis BBM terbanyak, yaitu sebesar 60% atau 23,1 juta kl. Adapun realisasi BBM bersubsidi 2009 sebesar 37,7 kl. Pengguna terbesar dari subsidi itu adalah transportasi darat, yakni 89% atau 32,48 juta kl. Konsumsi premium pada sektor transportasi darat didominasi mobil pribadi, yakni 53% atau 13,3 juta kl dari total konsumsi premium untuk transportasi darat. Dominannya konsumsi premium pada sektor transportasi darat oleh kendaraan pribadi dinilai kebanyakan pihak, termasuk pemerintah, merupakan kenyataan yang tidak mencerminkan keadilan. Oleh karena itu, pemerintah berencana atau mempunyai ide mulai 1 April 2011 pemilik mobil pribadi plus kendaraan dinas pemerintah diwajibkan menggunakan pertamax atau BBM nonsubsidi. Dengan memaksa kendaraan pribadi dan kendaraan dinas menggunakan BBM nonsubsidi, pemerintah terkesan lebih pro kepada rakyat kecil dengan hanya memberi santunan kepada mereka, tidak kepada kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi atas. Benarkah demikian?

Subsidi BBM, beban siapa?
Apakah benar subsidi BBM beban negara atau beban pemerintah? Benar, tapi jawaban itu tidak akurat. Implikasinya bisa mengecohkan rasa keadilan masyarakat. Menurut penulis, yang lebih akurat bila dinyatakan subsidi itu beban rakyat, beban publik, karena subsidi itu berasal dari rakyat, dari pajak. Meskipun dalam APBN sebagian penerimaan negara berasal dari laba BUMN, tetap saja dikatakan berasal dari rakyat, kecuali tegas-tegas dikatakan milik negara itu tidak identik dengan milik rakyat. Pernyataan penulis tentang BUMN itu tentunya merujuk ke Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.
Dalam konteks opini ini penulis lebih suka menyatakan pajak atau laba BUMN yang dikuasai untuk dikelola negara, bukan diterima negara untuk mempertegas bahwa pajak atau laba BUMN yang disetorkan kepada negara itu bukan untuk dimiliki, melainkan dikuasai untuk dikelola negara demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan kepemilikan atas pajak dan laba BUMN itu tetap ada di tangan rakyat. Jadi, yang digunakan dalam tulisan ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam APBN: penerimaan negara. Apabila sependapat dengan penulis bahwa sesungguhnya subsidi itu berasal dari atau beban rakyat, harus dikatakan bahwa subsidi itu beban rakyat sehingga tidak dikesankan sebuah santunan atau pemberian cuma-cuma dari negara untuk rakyat. Dengan kata lain, subsidi itu dari rakyat, dikuasai untuk dikelola negara (milik rakyat juga), untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Antara harga dan pajak
Demi keadilan, arus utama cenderung menggunakan pendekatan harga daripada subsidi (baca: pajak) untuk mengatasi persoalan kenaikan harga BBM di pasaran internasional karena mereka menganggap subsidi itu santunan negara yang tidak etis diberikan kepada atau dinikmati juga oleh kelas menengah dan kaya, apalagi superkaya. Subsidi BBM di sini rohnya disamakan dengan program bantuan langsung tunai (BLT) atau beras untuk rakyat miskin (raskin). Sesuai penjelasan tersebut, sesungguhnya baik pendekatan harga maupun pendekatan subsidi dalam isu harga BBM ini merupakan beban rakyat meski dari cara berbeda sesuai dengan namanya. Jika yang dipilih adalah pendekatan harga, semua pemilik mobil pelat hitam, baik mereka yang hanya mampu punya mobil Suzuki Carry atau Toyota Avanza maupun mereka yang kaya dan superkaya yang memiliki mobil Bentley atau Jaguar, akan dipaksa menanggung beban yang sama karena sama-sama harus membeli pertamax. Adilkah itu?
Dengan subsidi BBM, justru beban mereka yang hanya mampu mempunyai mobil Suzuki Carry atau Toyota Avanza dengan mereka yang kaya dan superkaya yang memiliki mobil Bentley atau Jaguar menjadi tidak sama. Mengapa? Karena beban mereka untuk membiayai subsidi BBM berbeda, melalui pengenaan tarif pajak penghasilan (PPh) progresif. Tarif progresif adalah turunan dari asas abilitiy to pay, serta horizontal and vertical equity. Dengan asas abilitiy to pay, serta horizontal and vertical equity, mereka yang berekonomi sama harus dibebani pajak yang sama dan yang berekonomi berbeda harus dibebani pajak berbeda. Dengan sendirinya jika subsidi BBM yang digunakan, kebijakan yang dipilih lebih memperhatikan ability to pay dan horizontal and vertical equity. Pendekatannya subsidi (baca: pajak) pada prinsipnya mengharuskan setiap kekurangan subsidi ditutupi pajak yang menjadi beban rakyat secara berbeda, bergantung pada kemampuan dan keadaan ekonominya melalui mekanisme pengenaan tarif PPh progresif. Dengan tarif PPh progresif, orang kaya dan superkaya akan membayar BBM yang disubsidi melalui mekanisme pajak progresif, bukan harga jual eceran, jauh lebih mahal daripada kelas menengah dan kelas bawah.

Subsidi BBM kepentingan publik
Subsidi BBM ini sudah menyangkut hajat hidup orang banyak. Dapat dikatakan subsidi itu sudah merupakan kepentingan publik maka sebaiknya dibiayai publik melalui mekanisme pajak, tidak begitu saja diserahkan ke mekanisme pasar. Tetap konsisten dan konsekuen membiayai subsidi dari pajak sama dengan terus menjaga asas kekeluargaan dan kegotongroyongan yang selalu diinginkan menjadi ciri khas bangsa dan negara kita. Namun, kenyataannya kebijakan yang cenderung dipilih yakni menaikkan harga eceran atau menyamakan harga eceran BBM dengan harga pasar internasional. Dengan pilihan itu, beban tambahan rakyat (marginal cost) atas adanya kenaikan harga pasar internasional ditanggung secara individual, bukan secara gotong royong berdasarkan asas kekeluargaan, sehingga si kaya dan superkaya mendapat beban yang sama rata, tetapi tidak sama rasa dengan kelas menengah. Sesuai dengan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan, seharusnya si kaya atau si kuat memberi tenaga atau energi lebih besar daripada si miskin atau si lemah.
Jika tetap konsisten dan konsekuen membiaya subsidi dari pajak, sebagai bukti negara ini tidak berubah jadi liberal, tetapi masih negara Pancasila, DPR dan pemerintah harus mengubah kembali kebijakan tarif PPh. Tarif PPh tertinggi menurut UU PPh Tahun 2000 untuk orang pribadi yang kaya dan superkaya (di atas Rp200 juta setahun) mencapai 35%, tapi kebijakan tarif untuk orang kaya dan superkaya itu sejak 2009 diturunkan menjadi 15% (di atas Rp200 juta-Rp250 juta), 25% (di atas Rp250 juta-Rp500 juta), dan 30% (di atas Rp500 juta). Tidak seperti di negara maju, perubahan tarif di negeri kita tidak mendapat perhatian besar dari publik, tidak ada riak berarti yang menentang penurunan ini, padahal berdampak besar pada keuangan publik. Sepertinya tidak ada yang menghubungkan kebijakan tarif PPh itu dengan kenyataan kesenjangan pendapatan yang masih tinggi dalam masyarakat, meski menurut angka resmi BPS Gini ratio makin mengecil.
Tarif PPh memang variabel yang memengaruhi gairah investasi di Indonesia. Namun, sesungguhnya yang lebih didambakan (signifikan) para investor atau pengusaha itu terkait dengan kebijakan perpajakan adalah adanya good governance yang di dalamnya ada rule of law atau kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas di semua sektor pelayanan publik.
Kebijakan yang menghilangkan subsidi dari pemakaian mobil pribadi yang cenderung dipilih, selain tidak adil berdasarkan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional, juga akan menambah beban tambahan pada rakyat berupa anggaran pembangunan infrastruktur dan anggaran untuk administrasi pengawasan kebijakan di lapangan. Pengaturan BBM bersubsidi tidak akan dijalankan tanpa resistensi mengingat beratnya beban yang harus ditanggung kelompok masyarakat berpenghasilan menengah.
Sebaiknya kita harus berani melakukan diferensiasi kebijakan dalam menghadapi fenomena melambungnya harga BBM karena menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan orang banyak. Jangan semuanya harus serupa dengan cara negara maju menjaga kesejahteraan rakyat mereka yang cenderung dipercayakan kepada mekanisme pasar. Memperkuat pasar akan baik pada waktunya nanti. Namun, pada saat kesenjangan sosial karena gap pendapatan dan pendidikan masih tinggi, pilihan yang paling tepat adalah tetap memberi peran lebih besar kepada negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat berdasarkan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Oleh Hadi Buana, Pemerhati perpajakan
Opini Media Indonesia 18 Februari 2011