SALATIGA makin memesona sejak kota ini menata pertamanan dan trotoarnya. Kota yang sebagian wilayahnya berbukit dan berlembah dengan paronama indah itu, seperti pernah berhenti berdenyut. Kota ini makin hari makin berdegub, terutama menjelang akhir pekan tiba, banyak pelancong memadati kota.
Di salah satu jejaring facebook terungkap Salatiga diakui makin cantik, ’’...liburan tahun baru ke Salatiga saja, sekarang tambah cantik lo, taman dan trotoarnya tertata rapi, sambil kita wisata berdokar ria seperti dulu, kita bisa menikmati aneka jajanan dan sepoi-poinya Jensoed malam hari. Sungguh, aku tunggu kabar dari keluargamu...’’
Kalimat itu senada dengan ungkapan konsultan kepariwisataan Indra Subrata di sela-sela pemberian penghargaan Jateng Wisata Award 2010 di Hotel Santika Semarang.
’’Salatiga mempunyai potensi besar untuk diwujudkan menjadi kota wisata, perlu dibangun objek dan atraksi wisata. Diterimanya penghargaan Jateng Wisata Award oleh Dreamland, tertatanya taman kota, ada kehidupan malam di tengah kota, banyak ikon seperti enting-enting gepuk, nasi tumpang, dan ikon busana batik pumpungan, pada saatnya nanti Salatiga mudah dikembangkan sebagai kota tujuan wisata.’’
Saat ini yang dibutuhkan adalah penanda atau identitas seperti bangunan Tugu di Yogyakarta. Landmark itu untuk ikon (brand) Salatiga dalam memulai memasarkan kota sambil menunggu terbangunnya objek taman wisata.
Ikon berupa tugu tidak sekadar untuk pajangan, namun akan berfungsi pula sebagai daya tarik dalam memasarkan kota, supaya lebih banyak dikunjungi pelancong.
Salah satu contoh Tugu Jam Gadang. Bagi pelancong ke kota Padang, seolah-olah merasa ada sesuatu yang kurang bila belum menatap jam gadang (besar) itu atau berfoto di bawahnya.
Tugu di Yogyakarta pun begitu identiknya dengan Kota Gudeg itu, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah, tidak sekadar foto di depan tugu, bahkan ada yang memeluk dan menciumnya.
Branding seperti ini diperlukan sebagai salah satu daya tarik pemasaran kota, salah satu magnet orang untuk datang, pelancong akan berbelanja pada pasar-pasar tradisional di sekitarnya atau menikmati kuliner khas.
Strategi Pemasaran
Salatiga memiliki Tugu Tamansari. Awal bangunan itu berdiri dihiasi patung banteng tanduknya mengarah ke Semarang, konon menyimbolkan kemenangan melawan penjajah Belanda yang bermarkas di Semarang. Seiring dengan perkembangan zaman, tugu itu mengalami empat kali pemugaran.
Dalam upaya mempercantik kota, salah satu yang perlu dilakukan adalah melakukan benchmaking, melihat competitive advantage yang dimilikinya, membandingkan pada kota-kota lainnya. Manfaat kompetisi ini untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan penataan kota. Ternyata Salatiga berhasil melihat competitive advantage melalui studi banding pada daerah lain.
Menyadari salah satu yang akan menjadi daya tarik bagi Salatiga adalah Tugu Tamansari dan sekitarnya yang banyak menyimpan catatan sejarah, seperti rumah dinas wali kota, gedung Bank Jateng, bangunan gereja, Hotel Mutiara, Kantor Pos, dan beberapa bangungan bersejarah lainnya, maka dilakukan sayembara desain Tugu Tamansari, dipersiapkan untuk magnet kota.
Sejak beberapa tahun silam Salatiga mempunyai asa kota tujuan wisata. Untuk mewujudkannya, setapak demi setapak telah tampak keindahannya. Tertatanya trotoar, taman-taman bunga pada beberapa sudut-sudut jalan akan menjadi daya dukung mewujudkan harapan kota wisata.
Sambil menunggu terbangunnya objek taman wisata, kiranya pembangunan Tugu Tamansari dibutuhkan sebagai landmark. Magnet dalam waktu dekat untuk menambah kunjungan wisata, sekaligus tanda berakhirnya rangkaian pembangunan wali kota sekarang dan sebagai pembangkit inspirasi dan semangat melanjutkan pembangunan bagi penerusnya.
Rencana pembangunan Tugu Tamansari adalah salah satu strategi pemasaran kota oleh Wali Kota John M Manoppo SH. Dengan berpegang pada konsep ecocultural city, mempertahankan heritage di sekitarnya untuk menjaga karakter kota tua, kota saujana, tugu ’’baru’’ kiranya diperlukan sebagai ikon, dan tonggak spirit pembangunan berkelanjutan. (10)
— Bambang Pamulardi MSi, PNS dan perajin batik plumpungan ’’Prasasti’’ Salatiga
Di salah satu jejaring facebook terungkap Salatiga diakui makin cantik, ’’...liburan tahun baru ke Salatiga saja, sekarang tambah cantik lo, taman dan trotoarnya tertata rapi, sambil kita wisata berdokar ria seperti dulu, kita bisa menikmati aneka jajanan dan sepoi-poinya Jensoed malam hari. Sungguh, aku tunggu kabar dari keluargamu...’’
Kalimat itu senada dengan ungkapan konsultan kepariwisataan Indra Subrata di sela-sela pemberian penghargaan Jateng Wisata Award 2010 di Hotel Santika Semarang.
’’Salatiga mempunyai potensi besar untuk diwujudkan menjadi kota wisata, perlu dibangun objek dan atraksi wisata. Diterimanya penghargaan Jateng Wisata Award oleh Dreamland, tertatanya taman kota, ada kehidupan malam di tengah kota, banyak ikon seperti enting-enting gepuk, nasi tumpang, dan ikon busana batik pumpungan, pada saatnya nanti Salatiga mudah dikembangkan sebagai kota tujuan wisata.’’
Saat ini yang dibutuhkan adalah penanda atau identitas seperti bangunan Tugu di Yogyakarta. Landmark itu untuk ikon (brand) Salatiga dalam memulai memasarkan kota sambil menunggu terbangunnya objek taman wisata.
Ikon berupa tugu tidak sekadar untuk pajangan, namun akan berfungsi pula sebagai daya tarik dalam memasarkan kota, supaya lebih banyak dikunjungi pelancong.
Salah satu contoh Tugu Jam Gadang. Bagi pelancong ke kota Padang, seolah-olah merasa ada sesuatu yang kurang bila belum menatap jam gadang (besar) itu atau berfoto di bawahnya.
Tugu di Yogyakarta pun begitu identiknya dengan Kota Gudeg itu, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah, tidak sekadar foto di depan tugu, bahkan ada yang memeluk dan menciumnya.
Branding seperti ini diperlukan sebagai salah satu daya tarik pemasaran kota, salah satu magnet orang untuk datang, pelancong akan berbelanja pada pasar-pasar tradisional di sekitarnya atau menikmati kuliner khas.
Strategi Pemasaran
Salatiga memiliki Tugu Tamansari. Awal bangunan itu berdiri dihiasi patung banteng tanduknya mengarah ke Semarang, konon menyimbolkan kemenangan melawan penjajah Belanda yang bermarkas di Semarang. Seiring dengan perkembangan zaman, tugu itu mengalami empat kali pemugaran.
Dalam upaya mempercantik kota, salah satu yang perlu dilakukan adalah melakukan benchmaking, melihat competitive advantage yang dimilikinya, membandingkan pada kota-kota lainnya. Manfaat kompetisi ini untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan penataan kota. Ternyata Salatiga berhasil melihat competitive advantage melalui studi banding pada daerah lain.
Menyadari salah satu yang akan menjadi daya tarik bagi Salatiga adalah Tugu Tamansari dan sekitarnya yang banyak menyimpan catatan sejarah, seperti rumah dinas wali kota, gedung Bank Jateng, bangunan gereja, Hotel Mutiara, Kantor Pos, dan beberapa bangungan bersejarah lainnya, maka dilakukan sayembara desain Tugu Tamansari, dipersiapkan untuk magnet kota.
Sejak beberapa tahun silam Salatiga mempunyai asa kota tujuan wisata. Untuk mewujudkannya, setapak demi setapak telah tampak keindahannya. Tertatanya trotoar, taman-taman bunga pada beberapa sudut-sudut jalan akan menjadi daya dukung mewujudkan harapan kota wisata.
Sambil menunggu terbangunnya objek taman wisata, kiranya pembangunan Tugu Tamansari dibutuhkan sebagai landmark. Magnet dalam waktu dekat untuk menambah kunjungan wisata, sekaligus tanda berakhirnya rangkaian pembangunan wali kota sekarang dan sebagai pembangkit inspirasi dan semangat melanjutkan pembangunan bagi penerusnya.
Rencana pembangunan Tugu Tamansari adalah salah satu strategi pemasaran kota oleh Wali Kota John M Manoppo SH. Dengan berpegang pada konsep ecocultural city, mempertahankan heritage di sekitarnya untuk menjaga karakter kota tua, kota saujana, tugu ’’baru’’ kiranya diperlukan sebagai ikon, dan tonggak spirit pembangunan berkelanjutan. (10)
— Bambang Pamulardi MSi, PNS dan perajin batik plumpungan ’’Prasasti’’ Salatiga
Opini Suara Merdeka 6 januari 2010