Perempatan jalan merupakan tempat yang sangat berbahaya di kota manapun di dunia terlebih lebih di kota Medan karena resiko terjadinya kecelakaan jauh lebih besar dikarenakan faktor manusia. Perempatan jalan di kota Medan walau telah dilengkapi dengan lampu pengatur lalu lintas dan pos pengintai polisi nan mewah tetapi semrawutnya tidak berkurang. Di kota Medan, lampu pengatur lalu lintas itu manfaatnya tidak jelas walau rata rata pengemudi tidak buta warna. Pelanggaran batas pemberhentian di lampu lalu lintas sudah menjadi pemandangan harian. Makin lama lampu merah menyala, maka yang berbaris baris melewati batas lampu merah makin padat dan hal ini jauh lebih parah lagi di Jakarta. Di Jakarta bahkan nyaris tak tersisa lahan untuk mobil atau kenderaan yang akan lewat karena sebagian besar diserobot oleh pengendara yang tak sabaran menunggu lampu berubah jadi hijau. Di Medan, perempatan jalan juga merupakan tempat jajanan kilat karena banyaknya pedagang asongan seperti bocah penjual kipang, penjual koran, pengemis, pengamen, penjual minuman kemasan, penjual kemoceng, tukang pembersih kaca mobil dan sebagainya. Mereka dengan alasan kesulitan ekonomi menentang maut dengan berjualan keliling sesuka hati tanpa memperhatikan keselamatan jiwa dan seolah olah mereka menentang para pengemudi dengan slogan "siapa yang menabrak aku harus menanggung biaya pengobatanku dan bahkan biaya rumah tanggaku". Di perempatan jalan dimana saat lampu lalu lintas menyala merah menandakan kenderaan jenis apapun bahkan sepeda wajib berhenti. Lain lubuk lain pula ikannya, di kota Medan yang "budayanya" beda dengan kota beradab lainnya di dunia, lampu merah yang menyala tidak berarti harus berhenti karena sebagian besar sepeda motor akan jalan terus dan tidak jarang mobil mewah juga ikut menerobos. Di setiap perempatan jalan juga terdapat pos polisi baik yang di darat atau yang melayang 2 meter di atas darat nampaknya sama sekali tidak berfungsi membuat pengendara lebih disiplin dan tertib dan bahkan para pelanggar lalu lintas melenggang tepat di depan hidung polisi tanpa ada perasaan salah. Para polisi juga nampaknya enggan menindak para pelaku pelanggaran lalu lintas karena takut dituding melakukan pungutan liar (pungli). Tampaknya polisi tidak percaya diri (PD) karena takut diberitakan di koran, padahal bila tugas dijalankan dengan baik bahkan bila perlu disidangkan ke pengadilan, kebenaran tetap akan menang. Bila perlu polisi yang menandatangani surat tilang tersebut setelah selesai persidangan diberikan reward 2,5 persen dari jumlah uang denda yang dibayarkan atas jasanya menilang kenderaan yang bersalah. Hal ini mungkin bisa memacu semangat para polisi lebih rajin menangkap pelanggar lalu lintas tapi dengan syarat jangan sesuka hati menilang orang karena bisa dituntut balik seandainya polisi menyalahgunakan haknya. Pelanggaran peraturan lalu lintas di kota Medan sudah memasuki tingkat yang sangat parah. Kalau dulu lebih banyak angkutan umum kota (angkot) yang menerobos lampu pengatur lalu lintas, saat ini porsi penerobos juga dikuasai oleh kenderaan pribadi karena sebagian supir angkot sekarang bisa menjadi supir mobil pribadi sehingga tabiat lama dilestarikan. Pelanggaran ketertiban lalu lintas tak jarang terjadi di perempatan Jalan Sudirman dengan Jalan Diponegoro, padahal inilah jalan protokol terelit di kota Medan dan bahkan rumah kediamaan bapak Kapolda juga berada di sana. Para bocah penjual kipang juga masuk ke daerah elit (Jalan Sudirman) dan mereka sering menimbulkan kewaswasan dari para pengendara kenderaan karena bocah bocah ini (terkecil umur 3 tahun) sama sekali tidak takut dengan kencangnya kenderaan yang saling mengejar lampu hijau. Tak jarang para bocah ini mengerumuni kenderaan sehingga saat lampu hijau menyala kenderaan tersebut tidak bisa maju karena takut menyenggol salah satu dari anak anak tersebut dan hal ini terjadi di depan rumah kediaman bapak walikota Medan. Perempatan jalan di jalan ke luar bandara Polonia juga terkenal sebagai pusat jajanan pesawat miniatur dan pengemis. Pintu depan menyambut wisatawan lokal dan internasional tercoreng dengan ketidaktertiban yang tergambarkan di sana. Sebagai warga kota Medan tentu kita merasa terusik dengan dibiarkannya tindakan melanggar peraturan yang seolah olah dilestarikan tersebut. Siapakah yang merasa harus bertanggung jawab atas kesemerawutan tersebut ? Hartono Taslim Jl.Listrik 6 Medan 20112 Opini Analisa Daily 6 Januari 2011 |
06 Januari 2011
Maut Mengintai di Perempatan Jalan
Thank You!