06 Januari 2011

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » "Quo Vadis" Bandung Agamis?

"Quo Vadis" Bandung Agamis?

Oleh LUTHFI AFANDI
Akhirnya, di pengujung 2010 (30/12), DPRD Kota Bandung melalui pemungutan suara (voting) menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol (Pikiran Rakyat, 2/1). Sejak diusulkan Pemkot Bandung hingga pembahasan di DPRD, draf tersebut sudah banyak menuai penolakan berbagai pihak, baik ormas Islam, ulama, mahasiswa, guru, siswa, hingga ibu rumah tangga.
Tercatat, beberapa kali umat Islam Kota Bandung melakukan aksi penolakan raperda yang isinya cenderung melegalisasi minuman keras (minuman keras). Pada 11 Februari 2010 dilakukan aksi perdana penolakan minuman keras. Puncaknya, pada 1 Juni 2010 hampir 1.000 umat Islam mendatangi Gedung DPRD Kota Bandung menyampaikan aspirasi penolakan raperda yang berisi pelegalan minuman keras. Sebelumnya, sekitar 5.000 ulama/ustaz juga menolak raperda tersebut dalam bentuk pernyataan tertulis yang diumumkan ke media pada 10 Mei 2010.
Penolakan masyarakat bukannya tanpa alasan karena raperda tersebut dianggap lebih merupakan upaya legalisasi minuman keras ketimbang pelarangan. Indikasi legalisasi bisa dilihat dari pasal yang menyebutkan, minuman beralkohol boleh diperdagangkan di hotel bintang 3, 4, dan 5, restoran bertanda talam selaka dan talam kencana, pub, diskotek, dan karaoke.
Berbagai alasan yang dilontarkan beberapa pihak yang menginginkan pelegalan minuman keras pun telah terbantahkan. Alasan banyaknya turis asing ke Bandung terbantahkan dengan fakta bahwa tujuan utama mereka ke Bandung bukan karena minuman keras. Justru orang bandung harus bangga dan percaya diri menawarkan minuman khasnya yang sehat dan halal semacam bandrek kepada para turis asing. Begitupun alasan bahwa Bandung adalah kota plural yang tidak hanya dihuni oleh orang Islam, terbantahkan oleh realitas bahwa masalah minuman keras bukan sekadar masalah umat Islam karena dampaknya sangat mengancam semua generasi dan tidak memandang agama.
Alasan bahwa pelarangan minuman keras bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi pun tidak berdasar sama sekali. Bahkan, menurut Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, makna pengendalian dalam Keppres 3/1997 itu bisa juga bermakna dilarang total tergantung kepada daerah masing-masing. Alasan akan terjadinya pengangguran akibat dilarangnya minuman keras pun hanya alasan yang dibuat-buat karena justru minuman keraslah yang membuat masyarakat tidak produktif dan memicu kriminalitas, bahkan pabrik minuman keras sekalipun tentu tidak akan mau menerima karyawan yang suka mabuk-mabukan.
Bantahan terhadap alasan tersebut pun telah dilayangkan. Namun, sebagaimana pepatah, anjing menggonggong, kafilah berlalu, anggota DPRD Kota Bandung tampaknya sudah "tuli" dari kritik masyarakat, "bebal" dari nasihat ulama sehingga perkara yang sudah jelas keharamannya menurut agama dan jelas dampak negatifnya dari aspek kesehatan, moral, dan sosial kemasyarakatan tidak lagi menjadi pertimbangan. Tampaknya, mereka lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha minuman keras ketimbang keselamatan akhlak generasi muda.
Dengan dilegalkannya minuman keras, bagaimana dengan "nasib" Bandung Kota Agamis? Jika mengutip pendapat Ajip Rosidi dalam artikelnya, "Agamis Apa Artinya"? Kata agamis sebagaimana yang banyak digunakan dalam surat kabar dan majalah Islam saat ini berasal dari kata dasar agama, mendapat akhiran -is yang berasal dari bahasa Belanda yang menunjukkan sifat. Singkatnya, menurut Ajip, agamis mempunyai maksud untuk menunjukkan bahwa dia itu orang yang taat menjalankan agama yang dipeluknya dengan penuh keimanan.
Sebagai konsekuensi dari konsep Kota Bandung sebagai kota agamis yang sering didengungkan, sudah seharusnya pemerintah dan DPRD Kota Bandung memperhatikan aspirasi umat Islam yang menginginkan peraturan daerah didasarkan pada nilai-nilai Islam. Hal tersebut sah-sah saja, mengingat sebagai warga mayoritas mau tidak mau merekalah objek utama penerapan peraturan tersebut. Memang, menurut Wali Kota, agamis itu bukan islami, dengan alasan semua agama diakui eksistensinya. Bila maknanya bukan islami, lalu bagaimana dengan umat Islam sebagai penduduk mayoritas yang ingin menjalankan kehidupan berdasarkan ajaran Islam? Standar apa yang digunakan untuk menilai sesuatu itu agamis atau tidak?
Maka, lupakanlah Bandung kota agamis. Disahkannya raperda yang melegalkan minuman keras, adalah langkah kontraproduktif pemkot dan dewan terhadap keinginan masyarakat agar Bandung menjadi kota religius yang layak dan aman dihuni siapapun yang menginginkan hidup jauh dari kerusakan moral dan kemaksiatan.
Dakwah, amar maruf dan nahyi munkar telah dilakukan oleh segenap elemen umat Islam agar minuman keras dilarang total. Pengesahan raperda minuman keras ini pun semakin menunjukkan, sistem kapitalis sekular yang diterapkan di negeri ini akan sedemikian rupa berupaya menghalangi pembumian syariat Islam. Jika demikian, quo vadis Bandung agamis?***
Penulis, Ketua Tim Kajian Raperda Minuman Keras HTI Kota Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 7 Januari 2011