06 Januari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Momentum Hukum Kasus Sisminbakum

Momentum Hukum Kasus Sisminbakum

Oleh Dr Jazuni SH, MH, Praktisi hukum

Kasus korupsi jasa Sisminbakum adalah corporate crime. Tak mungkin hanya seorang direktur utama yang terlibat. Sejumlah indikasi dan bukti bahwa duit negara 'dirampok' rasanya cukup memadai. Pertanyaannya, apa Kejaksaan Agung berani menyeret para penjahat korporasi ke meja hijau?

Pada Juli tahun lalu, Hartono Tanoesoedibjo kembali datang ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum) di Kementerian Hukum dan HAM. Dengan menunggangi sedan mewah, Bentley hitam bernomor B 666 HO, Hartono 'dikawal' pengacara Hotman Paris Hutapea. Selain itu, pengusaha kondang Hary Tanoe juga ikut mengiringi Hartono.

Seperti saat pertama kali diperiksa, Hartono tetap bungkam menghadapi puluhan wartawan yang menunggu sejak pagi. Kakak kandung Hary Tanoe itu masuk ke ruang pemeriksaan pidana khusus sekitar pukul 11.30 WIB, diiringi teriakan-teriakan sejumlah orang di luar pagar Kejaksaan Agung.

Tak sedikit masyarakat yang menaruh harapan ditegakkannya hukum seadil-adilnya bagi penyelewengan uang penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Sisminbakum tersebut. Di antaranya, massa berasal dari Laskar Empati Pembela Bangsa yang merasa khawatir tersangka kasus yang diduga merugikan negara Rp400 miliar itu melarikan diri. Maklum, sebelumnya Hartono Tanoe sempat kabur ke Taiwan, sehari sebelum ia ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus Sisminbakum ini semakin berputar-putar. Seperti biasa, benar-benar tegas hanya berlaku bagi yang lemah. Jika kita mengingat kasus Anggodo, begitulah kira-kira. Tangan hukum seperti ngilu untuk menangkap gembong yang sesungguhnya.

Korban corporate crime
Bisa dilihat, Yohanes mulai ditahan 12 Desember 2008, menyusul ditahannya Dirjen AHU Syamsudin Manan, dan dua pendahulunya, Zulkarnaen Yunus dan Dr Romli Atmasasmita, awal November 2008.

Menurut testimoni yang disampaikan Yohanes Waworuntu, Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) ini hanya dijadikan umpan dan korban. Karena Yohanes senyatanya tak punya sepeser pun saham di PT SRD. Karena itu, tanpa mengusut pemilik PT SRD, kasus ini tak akan tuntas. Penyidik mestinya bisa mengecek ke mana sebagian besar aliran dana PT SRD. Dari situ akan ketahuan, siapa yang memakai PT Sarana sebagai kedok untuk 'merampok' duit negara.

Memang, secara formal, tanggung jawab dalam sebuah perusahaan pertama-tama ada pada pemimpin dewan direksi. Dalam hal PT SRD, Yohanes Waworuntu direktur utamanya, terlepas apakah dia ‘dipaksa’ berbuat, atau tindakan itu merupakan kebijakannya.

Sulit memang bagi Yohanes berkelit dari tanggung jawab. Masalahnya, seperti dikatakan ahli hukum bisnis Hotma Tombul, ini kejahatan perusahaan, jadi bukan hanya direktur, pemegang saham mesti juga disidik.

Yohanes telah mengadukan para hakim dan jaksa dalam kasus Sisminbakum ini ke Mahkamah Yudisial, karena ia merasa ‘dikorbankan’. Juga, ia mengadukan keterlibatan Hartono dan Hary Tanoesoedibjo ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kepada KPK, Yohanes menyerahkan segepok dokumen dan foto yang menunjukkan keterkaitan kakak beradik Tanoesoedibjo dalam kasus Sisminbakum.

Modal Yohanes, ia bisa menunjukkan siapa sebenarnya yang berperan dalam PT SRD sebagai pengelola Sisminbakum. Yang jelas, ia hanya menjadi alat, dan itu diterimanya karena terpaksa. Sejauh yang sudah disidik oleh Kejaksaan Agung, pengelolaan Sisminbakum melanggar hukum. Dan Yohanes sepertinya jadi bumpernya saja.

Momentum hukum
Salah satu penggagas Sisminbakum, mantan Menteri Kehakiman dan HAM Dr Yusril Ihza Mahendra, yakin bahwa proyek ini tidak melanggar hukum.

Alasannya, karena Sisminbakum tidak termasuk PNBP. Padahal Kejaksaan Agung menemukan sejumlah bukti bahwa Sisminbakum melanggar ketentuan PNBP di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Karena semua penghasilan dari ‘jasa pelayanan hukum’ masuk ke dalam PNBP. Tentu saja Sisminbakum merupakan sistem jasa pelayanan pendaftaran akta perusahaan yang tergolong pelayanan hukum. Karena itu, apa pun pungutan yang masuk melalui sistem jasa ini tak lain adalah PNBP.

Selain itu, pembagian penghasilan dari Sisminbakum tak sejalan dengan Keppres No 7 Tahun 1998. Di keppres ini diatur pembagian penghasilan kerja sama pemerintah dan swasta dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur. Memang tak disebutkan angkanya, tapi prinsip-prinsipnya, yakni saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Juga ditentukan dalam keppres ini, penawaran kerja sama terbuka dan transparan.

Kabarnya, biaya pembuatan Sisminbakum sekitar Rp500 juta itu sangat murah. Karena sebagian ongkos jasa atau gaji pembuatnya belum dilunasi. CEO MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, kakak kandung Hartono Tanoesoedibjo, menyatakan bahwa PT Bhakti Investama tak ada hubungannya dengan PT SRD.

Padahal, dari salinan berkas perkara yang dibuat panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sufianah SH, tercatat nama Hartono Tanoesoedibjo dan Bhakti Asset Management (BAM) adalah pemegang saham PT Sarana Rekatama Dinamika.

Jika begitu, inilah tantangan hukum. Proses pengadilan terhadap Hatono Tanoesoedibjo harus transparan, tegas, dan seadil-adilnya. Sebab bagaimanapun, dana pembayaran prosedur pemanfaatan Sisminbakum jelas-jelas atas nama PT SRD yang hanya dapat diambil melalui Hartono Tanoesoedibjo.

Inilah saatnya membongkar kejahatan korporasi dan membuktikan kepada semua elemen bangsa ini bahwa supremasi hukum Indonesia bukan retorika belaka. 
Opini Media Indonesia 6 Januari 2010