18 Januari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Menata Kompetisi Sepak Bola

Menata Kompetisi Sepak Bola

Harus kita akui perkembangan organisasi keolahragaan di Tanah Air menjadi amat ruwet. Tidak jelas lagi, siapa melakukan apa. Cenderung menjadi centang-perenang. Demikian pula halnya di dunia sepak bola. Yang terjadi adalah kekisruhan. Seolah tak ada makna olahraga yang sportif di situ.

Dengan memohon maaf pada teman-teman di PSSI (juga Liga Super Indonesia) saya melihat kehadiran Liga Primer Indonesia (LPI) yang digagas beberapa teman lain pantas untuk disambut gembira. Asalkan pertumbuhannya juga berada pada jalur atau rel yang sebenarnya, untuk mengembangkan olahraga profesional di Indonesia.

Saya ingin menegaskan olahraganya karena dunia olahraga di Indonesia cenderung tidak lagi memberi makna olahraga itu sendiri, yang asal katanya sport, membangun kejujuran, sportivitas, fair play, dan mengagungkan prestasi. Lantas istilah profesional, yakni jenis olahraga yang ditekuni didasarkan pada persaingan untuk meraih prestasi, dan prestasi itu diberi nilai yang juga terukur. Nilai yang terukur alias harga itu berlaku transparan, terlihat dengan nyata. Atlet yang menekuni cabang olahraga itu akan menjadikannya sebagai profesinya alias bidang kehidupannya. Dari situlah dia hidup.

LPI

Kenapa saya dukung? Walau kini berkembang menjadi semakin rumit, saya masih ingat dulu tatkala bekerja di Kantor Menpora bahwa alur perkembangan olahraga diarahkan untuk membangun olahraga amatir dan olahraga profesional (yang kemudian dirumuskan di peraturan perundang-undangan). Perkembangan olahraga profesional sebagaimana yang berkembang di berbagai negara tak mungkin dibendung. Akan tetapi, olahraga profesional itu harus diatur, dibina, dan dikembangkan. Wadah untuk membina olahraga profesional dibentuk, berupa Bapopi, Badan Pembina Olahraga Profesional Indonesia. Mereka yang memilih jalur profesional kita keluarkan dari olahraga amatir (bukan amatiran). Artinya, jangan dicampuradukkan seperti sekarang ini. Cabang olahraga profesional dibangun agar tumbuh mandiri atau otonom, tidak dicampuri pemerintah. Biarlah dia mengelola dirinya sendiri, sebagaimana klub-klub sepak bola (dan cabang olahraga profesional lainnya). Mereka mencari duit sendiri (dengan cara yang dibenarkan peraturan perundang-undangan), mengorganisasi diri sendiri, melatih diri sendiri, dan berlomba-lomba menunjukkan prestasi. Kian tinggi prestasi, mereka kian mampu mengumpulkan banyak uang. Supaya mereka dipercaya publik, dana-dana itu diaudit sendiri dan dipertanggungjawabkan sendiri kepada pemilik klub dan masyarakat. Karena itu pula, dananya tidak boleh menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Biarlah dana-dana negara dari APBN/APBD digunakan untuk membiayai olahraga amatir (yang bukan amatiran tadi). Dana-dana itu digunakan untuk fasilitas olahraga masyarakat, pembinaan olahraga di sekolah, di kampung-kampung, dan berbagai kegiatan olahraga amatir lainnya. Jangan seperti selama ini, di APBD dimasukkan sebagai biaya pembinaan olahraga, tapi dalam kenyataannya hanya digunakan untuk membiayai sepak bola, termasuk menggaji pemain asing. Padahal jumlah dana pembinaan olahraga di APBD itu bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Kalau seluruh Indonesia dikumpulkan, tentu jumlahnya menjadi besar. Lagi pula, tidak adil karena cabang olahraga lainnya dianaktirikan.

PSSI

Liga Super Indonesia (LSI) yang sudah telanjur digagas PSSI suatu saat kelak disatukan saja dengan LPI. Atau kita biarkan dua-duanya bersaing secara sehat. Yang jelas, perlu dikeluarkan dari PSSI. Biarlah PSSI membina olahraga amatir, yang berinduk ke KONI (untuk seluruh cabang olahraga amatir). Kalau teman-teman di PSSI sekarang ini lebih tertarik mengurusi olahraga profesional, boleh saja masuk ke sana. Tapi, PSSI harus kembali kita fokuskan untuk membina olahraga amatir. Namanya saja yang amatir. Kegiatannya tetap saja menyibukkan. Organisasi sepak bola perserikatan yang ada di setiap daerah harus dikembalikan ke PSSI. Yang ingin menjadi sepak bola profesional harus membentuk klub sendiri. Repotnya perserikatan sekarang ini ada yang ikut LSI (misalnya Persija) dan ada pula yang ikut LPI (di antaranya Persema). Yang jelas, PSSI pula yang membentuk pesepak bola kelompok usia. Jika sudah masuk klub, alias sepak bola profesional, tak ada lagi persoalan usia (walau bisa diatur, misalnya 18 tahun ke atas).

Jika PSSI mengurusi amatir, dapat didukung APBN/APBD. Hanya ingat, dana APBN/APBD itu tidak hanya untuk cabang sepak bola, tapi juga untuk seluruh cabang olahraga. Seluruh dana yang digunakan itu akan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seperti yang sering dipertanyakan kepada saya.

Sebagaimana induk organisasi cabang olahraga (amatir) lainnya, PSSI mau tak mau harus bekerja sama dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memasyarakatkan dan membina olahraga. Dengan Kementerian Pendidikan Nasional membina olahraga sepak bola di sekolah-sekolah (dari SD, SMP, SMU, dan perguruan tinggi). Dengan Kementerian Agama di sekolah-sekolah agama termasuk pesantren. Cara yang sama berlaku dengan induk cabang olahraga lainnya. Yang mengorganisasi semuanya tentulah Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Tentu saja harus dilakukan kompetisi berjenjang. Jika dalam bentuk multiajang, bisa jadi kita harus menghidupkan kembali Pekan Olahraga Pelajar dan Pekan Olahraga Mahasiswa yang dulu secara rutin dilakukan. Demikian pula halnya dengan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang pesertanya daerah-daerah di Indonesia. Yang amatir pula yang ikut ke SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Kecuali peraturan membolehkan atlet profesional ikut ambil bagian. Yang jelas, hasil pembinaan dan kompetisi itu bisa ditingkatkan menjadi atlet profesional, termasuk di cabang olahraga sepak bola.

Artinya, kita harus kembali lagi pada mekanisme yang pernah kita kembangkan dulu dan secara konsisten diterapkan. Itu pun didukung seluruh unsur masyarakat, organisasi olahraga, dan pemerintah. Tentu saja yang menggerakkannya adalah pemerintah sendiri. 
Penulis : Baharuddin Aritonang Pengamat sosial
Opini Media Indonesia 14 Januari 2011