JIKA masalah perizinan bisa diselesaikan, Sabtu (08/01) Liga Primer Indonesia (LPI) diluncurkan di Solo. Organisasi itu dipersepsikan publik sebagai tandingan Liga Super Indonesia (LSI) atau Indonesia Super League (ISL) yang dikelola Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), dalam hal ini PT Liga Indonesia. Maka tidak heran bila kemudian PSSI pun menganggap LPI ilegal. Di sini kemudian berhadapan dua kubu: LSI dan LPI.
Liga manakah yang sesungguhnya legal atau ilegal: LSI ataukah LPI? Biarlah publik yang menjawab. Yang jelas, kemunculan LPI bisa dijadikan momentum bagi semua pihak, terutama stakeholders persepakbolaan, untuk berintrospeksi. Lebih dari itu, kondisi semacam ini ada baiknya dijadikan momentum melakukan revolusi persepakbolaan nasional, terutama revolusi mental.
Gagasan untuk merevolusi persepakbolaan nasional ini sesungguhnya telah lama berkecamuk dalam benak penulis, dan makin mengkristal sebulan sebelum final Piala AFF 2010 antara Indonesia dan Malaysia. Gagasan itu tak bisa dibendung lagi manakala suporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, meneriakkan yel-yel ”Revolusi PSSI, Revolusi PSSI!” untuk menumpahkan kejengkelan mereka pada pengurus PSSI yang mereka nilai tidak becus, termasuk dalam mengurus tiket pertandingan.
Jika kita mengacu pada Mukadimah AD/ ART PSSI, yang kemudian diubah menjadi Statuta Pedoman Dasar PSSI, kelahiran PSSI pada 19 April 1930 terutama adalah sebagai alat perjuangan bangsa untuk menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Dengan demikian, PSSI berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Misi berikutnya adalah mengukir prestasi sepak bola nasional. Melalui prestasi sepak bola nasional, kita bangun pride atau kebanggaan kita sebagai bangsa, dan pada gilirannya kita bangun karakter bangsa atau nation character building.
Untuk mengembalikan sepak bola dan PSSI pada khitahnya sehingga kembali berfungsi sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa di satu sisi, dan di sisi lain dapat mengukir prestasi maka diperlukan revolusi atau perubahan mendasar sampai ke akar-akarnya, terutama revolusi mental. Mari kita dedikasikan sepak bola dan PSSI hanya untuk kejayaan NKRI. Bagaimana caranya?
Karakter Bangsa
Pertama; kalau selama ini sepak bola dijadikan sebagai alat kepentingan politik pihak-pihak tertentu, terutama elite politik, ke depan tidak boleh terjadi lagi. Siapa pun dia, apakah elite politik dari partai berkuasa, partai koalisi, atau partai oposisi, tidak boleh menjadikan sepak bola atau PSSI sebagai kuda tunggangan atau alat kepentingan politik praktis.
Kedua; dengan tidak lagi dijadikannya sepak bola dan PSSI sebagai alat kepentingan politik maka sudah saatnya PSSI fokus pada pembinaan pemain, terutama pemain usia dini. PSSI harus benar-benar profesional dan menjauhkan diri dari intervensi politik pihak mana pun. Ketiga; dengan mampunya PSSI dan sepak bola nasional berprestasi di tingkat regional bahkan dunia, niscaya kita memiliki pride atau kebanggaan sebagai bangsa. Harga diri, harkat, dan martabat bangsa Indonesia pun akan terangkat di mata negara-negara lain. Dengan demikian, tidak akan ada lagi negara yang berani melecehkan Indonesia, tak terkecuali Malaysia dan Arab Saudi, dua negara yang selama ini kita banyak mengirim TKI/TKW.
Melalui prestasi sepak bola pula, kita dapat membangun karakter bangsa sehingga kita menjadi bangsa yang memiliki nusantarisme (nasionalisme khas Indonesia) yang sangat tinggi. Kebangkitan sepak bola yang kini memantik euforia seluruh rakyat Indonesia bisa dijadikan langkah awal untuk melakukan nation character building. Betapa kita bangga ketika Timnas Indonesia berlaga melawan Malaysia, seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke memberikan dukungan luar biasa. Apa pun partai politiknya, apa pun agamanya, apa pun etnisnya, dan apa pun status sosialnya, semua melebur dalam satu semangat: Merah Putih!
Karena itu, marilah kebangkitan sepak bola nasional ini kita jadikan sebagai momentum untuk kebangkitan bangsa Indonesia. Marilah kita jadikan sepak bola sebagai perekat atau alat pemersatu semua komponen bangsa ini.
Kembalikan sepak bola dan PSSI kepada khitahnya sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa serta pengukir prestasi untuk membangun karakter bangsa. Jauhkan sepak bola dan PSSI dari kepentingan politik pihak mana pun, termasuk LSI dan LPI. (10)
— Drs H Sumaryoto, penggagas Kompetisi Liga Indonesia, mantan Manajer Tim PSSI Pelajar, mantan Ketua I (Bidang Organisasi) PSSI, dan mantan Ketua Pengda/Komda PSSI Jateng
Liga manakah yang sesungguhnya legal atau ilegal: LSI ataukah LPI? Biarlah publik yang menjawab. Yang jelas, kemunculan LPI bisa dijadikan momentum bagi semua pihak, terutama stakeholders persepakbolaan, untuk berintrospeksi. Lebih dari itu, kondisi semacam ini ada baiknya dijadikan momentum melakukan revolusi persepakbolaan nasional, terutama revolusi mental.
Gagasan untuk merevolusi persepakbolaan nasional ini sesungguhnya telah lama berkecamuk dalam benak penulis, dan makin mengkristal sebulan sebelum final Piala AFF 2010 antara Indonesia dan Malaysia. Gagasan itu tak bisa dibendung lagi manakala suporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, meneriakkan yel-yel ”Revolusi PSSI, Revolusi PSSI!” untuk menumpahkan kejengkelan mereka pada pengurus PSSI yang mereka nilai tidak becus, termasuk dalam mengurus tiket pertandingan.
Jika kita mengacu pada Mukadimah AD/ ART PSSI, yang kemudian diubah menjadi Statuta Pedoman Dasar PSSI, kelahiran PSSI pada 19 April 1930 terutama adalah sebagai alat perjuangan bangsa untuk menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Dengan demikian, PSSI berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Misi berikutnya adalah mengukir prestasi sepak bola nasional. Melalui prestasi sepak bola nasional, kita bangun pride atau kebanggaan kita sebagai bangsa, dan pada gilirannya kita bangun karakter bangsa atau nation character building.
Untuk mengembalikan sepak bola dan PSSI pada khitahnya sehingga kembali berfungsi sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa di satu sisi, dan di sisi lain dapat mengukir prestasi maka diperlukan revolusi atau perubahan mendasar sampai ke akar-akarnya, terutama revolusi mental. Mari kita dedikasikan sepak bola dan PSSI hanya untuk kejayaan NKRI. Bagaimana caranya?
Karakter Bangsa
Pertama; kalau selama ini sepak bola dijadikan sebagai alat kepentingan politik pihak-pihak tertentu, terutama elite politik, ke depan tidak boleh terjadi lagi. Siapa pun dia, apakah elite politik dari partai berkuasa, partai koalisi, atau partai oposisi, tidak boleh menjadikan sepak bola atau PSSI sebagai kuda tunggangan atau alat kepentingan politik praktis.
Kedua; dengan tidak lagi dijadikannya sepak bola dan PSSI sebagai alat kepentingan politik maka sudah saatnya PSSI fokus pada pembinaan pemain, terutama pemain usia dini. PSSI harus benar-benar profesional dan menjauhkan diri dari intervensi politik pihak mana pun. Ketiga; dengan mampunya PSSI dan sepak bola nasional berprestasi di tingkat regional bahkan dunia, niscaya kita memiliki pride atau kebanggaan sebagai bangsa. Harga diri, harkat, dan martabat bangsa Indonesia pun akan terangkat di mata negara-negara lain. Dengan demikian, tidak akan ada lagi negara yang berani melecehkan Indonesia, tak terkecuali Malaysia dan Arab Saudi, dua negara yang selama ini kita banyak mengirim TKI/TKW.
Melalui prestasi sepak bola pula, kita dapat membangun karakter bangsa sehingga kita menjadi bangsa yang memiliki nusantarisme (nasionalisme khas Indonesia) yang sangat tinggi. Kebangkitan sepak bola yang kini memantik euforia seluruh rakyat Indonesia bisa dijadikan langkah awal untuk melakukan nation character building. Betapa kita bangga ketika Timnas Indonesia berlaga melawan Malaysia, seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke memberikan dukungan luar biasa. Apa pun partai politiknya, apa pun agamanya, apa pun etnisnya, dan apa pun status sosialnya, semua melebur dalam satu semangat: Merah Putih!
Karena itu, marilah kebangkitan sepak bola nasional ini kita jadikan sebagai momentum untuk kebangkitan bangsa Indonesia. Marilah kita jadikan sepak bola sebagai perekat atau alat pemersatu semua komponen bangsa ini.
Kembalikan sepak bola dan PSSI kepada khitahnya sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa serta pengukir prestasi untuk membangun karakter bangsa. Jauhkan sepak bola dan PSSI dari kepentingan politik pihak mana pun, termasuk LSI dan LPI. (10)
— Drs H Sumaryoto, penggagas Kompetisi Liga Indonesia, mantan Manajer Tim PSSI Pelajar, mantan Ketua I (Bidang Organisasi) PSSI, dan mantan Ketua Pengda/Komda PSSI Jateng
Opini Suara Merdeka 7 Januari 2011