06 Januari 2011

» Home » Lampung Post » Opini » Mimpi Buruk 'Inflasi Bergejolak'

Mimpi Buruk 'Inflasi Bergejolak'

Yosep
Staf BPS Lampung, alumnus Pascasarjana International Development Economic, Australian National University
Peningkatan harga bahan makanan yang signifikan dan peningkatan harga minyak mentah dunia beberapa hari terakhir hingga mencapai kisaran 92 dolar AS per barel merupakan fenomena yang mengkhawatirkan. Seandainya kenaikan dua komiditas ini hanya merupakan shock musiman atau fenomena sementara, tentunya hal ini bukan merupakan permasalahan yang serius. Sebaliknya, kenaikan komoditas ini yang berkelanjutan akan berdampak terhadap memburuknya kinerja ekonomi dunia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung inflasi dengan metode indek harga konsumen (consumer price index). Penghitungan dengan IHK merupakan metode yang paling populer di berbagai negara karena dianggap lebih cepat menggambarkan gejolak perubahan harga di masyarakat. Survei harga konsumen di Indonesia dilakukan secara bulanan di 66 kota, terdiri dari 33 ibu kota provinsi dan 33 kota yang merupakan pusat ekonomi. Namun, beberapa ahli statistika meyakini penggunaan metode IHK dalam menghitung inflasi cenderung overestimate. Boskin (2004) memperkirakan bias metode IHK di Amerika sebesar 0,80—0,90 persen per tahun.
Pergerakan fluktuatif inflasi bergejolak yang cenderung meningkat dan berkelanjutan harus segera diwaspadai, inflasi ini dapat memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Badan Pangan Dunia (FAO) memprediksi kenaikan bahan makanan bukan merupakan temporary phenomenon sehingga dalam beberapa tahun ke depan dunia diprediksi mengalami krisis pangan. Belum lagi selesai dengan krisis pangan, mimpi buruk kenaikan harga minyak dunia mulai menghantui. Perkiraan sementara kenaikan ini diduga sebagai ulah para spekulan dan devaluasi nilai dolar.
Kebijakan ekonomi pemerintah Amerika diduga turut berperan dalam meningkatkan harga minyak mentah dunia. Walaupun Bernanke, gubenur Federal Reserved Bank of Amerika (Time, 2010), secara tegas menyatakan kebijakan pencetakan uang tidak akan menambah uang dalam peredaraan. Menurut dia, kebijakan pencetakan uang baru hanya ditujukan untuk membeli treasury sekuritas yang akan menurunkan suku bunga. Bahkan sebaliknya, kebijakan ini akan memperkuat perekonomian dalam negeri negara itu karena perusahaan akan lebih mudah berinvestasi dan mendorong konsumsi pribadi.
Namun, kebijakan ini tetap diyakini akan menurunkan kurs dolar terhadap negara lain, khususnya China, sebagai upaya retaliasi Paman Sam terhadap semakin besarnya defisit perdagangan dengan China. Melemahnya mata uang dolar AS akan terus mendorong meningkatkan harga minyak dunia. Karena komoditas ini diperdagangkan dalam dolar AS.
Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi untuk mengurangi tekanan inflasi akibat tingginya harga bahan makanan dan bahan bakar. Berdasarkan teori, intervensi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia terhadap supply shock tidak akan menurunkan harga bahkan akan lebih meningkatkan harga dalam jangka panjang (in the long run) sehingga hanya akan berdampak terhadap memburuknya kinerja ekonomi.
Namun, pemerintah secara berkesinambungan dalam jangka pendek (short run) dapat mengurangi tekanan inflasi bahan makanan dengan melakukan operasi pasar komoditas beras khususnya bagi rakyat miskin (vulnerable) seperti yang telah dilakukan Bulog baru-baru ini. Juga, diharapkan segera melakukan perbaikan infrastruktur perdesaan sehingga memudahkan distribusi bahan makanan dan melakukan peningkatan investasi sektor pertanian dalam jangka panjang.
Selanjutnya rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM secara bertahap perlu segera dilakukan, tidak menunda-nunda. Diharapkan pemerintah segera membebaskan subsidi yang akan menghemat keuangan negara. Nantinya, dalam membantu masyarakat miskin pemerintah dapat memberikan bantuan tunai langsung dan sejenisnya dalam jangka pendek. Seandainya Pemberian subsidi bahan bakar terpaksa masih dilakukan, diharapkan pengawasannya lebih ditingkatkan agar lebih tepat sasaran dan kebijakan ini juga harus disesuaikan dengan kebijakan negara-negara tetangga, seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei untuk menghindari kebocoran mengalirnya subsidi ke negara-negara tersebut.
Bank Indonesia yang salah satu fungsinya sebagai pengawas sirkulasi uang juga tidak dapat berbuat banyak untuk mengurangi tekanan inflasi akibat supply shock ini. Isu dana singkat (hot money) dan arus balik modal yang tiba-tiba (sudden capital reversal) akan membuat posisi Bank Indonesia semakin sulit untuk meningkatkan suku bunga. Dikeluarkannya 23 paket kebijakan BI baru-baru ini merupakan langkah yang tepat dalam mengurangi tekanan inflasi dan memperkuat stabilitas moneter, khususnya meminimalisasi potensi kerentanan terhadap sudden capital reversal.
Animo masyarakat terhadap inflasi juga akan memicu semakin tingginya inflasi. Masyarakat dan para pelaku bisnis seharusnya tetap optimis terhadap kinerja ekonomi yang kian membaik. Masyarakat hendaknya memiliki ekspektasi inflasi yang lebih rasional (rational expectation). Ekspektasi yang tidak rasional (irrational expectation) umumnya disebabkan informasi yang tidak sama (asymmetric information) diterima oleh pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat. Informasi asymmetric umumnya terjadi di negara berkembang. Demikian diharapkan masyarakat tidak melakukan tindakan apa pun, yang pada akhirnya justru akan memicu tingginya inflasi sekunder. n
(Opini ini uraian penulis semata, tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja)
Opini Lampung Pos 6 Januari 2010