Riak-riak konflik internal terus melanda Sekretariat Gabungan Partai Politik Pendukung Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terakhir muncul gagasan PKS dan PPP membentuk ”Poros Tengah” jilid II sebagai koalisi alternatif. Mengapa Setgab Koalisi justru menjadi problem, bukan solusi?
Sebenarnya skema sistem demokrasi presidensial berbasis multipartai, seperti berlaku di negeri kita, secara obyektif membutuhkan koalisi. Secara teoretis, koalisi diperlukan untuk mengurangi potensi konflik lembaga legislatif dan eksekutif di satu pihak dan meningkatkan keefektifan pemerintahan di pihak lain.
Karena Partai Demokrat selaku basis politik Presiden Yudhoyono yang memenangi Pemilu 2009 hanya memperoleh 149 kursi dari 560 kursi DPR (26,6 persen), jelas jauh dari cukup untuk mengegolkan kebijakan pemerintah di parlemen. Maka, Yudhoyono kemudian mengajak Golkar (106 kursi), PKS (57), PAN (46), PPP (37), dan PKB (28) turut dalam Kabinet Indonesia Bersatu II sehingga terbentuk koalisi superjumbo yang mencakup 75,5 persen kekuatan parpol di DPR.
Hanya saja koalisi enam parpol itu akhirnya buyar setelah skandal Bank Century meledak. Presiden Yudhoyono bahkan dipermalukan oleh perlawanan politik parpol koalisi—Golkar, PKS, dan PPP— yang menilai kasus Century sebagai kesalahan kebijakan pemerintah yang perlu diproses secara hukum. Dalam situasi terpojok demikian, Presiden akhirnya menata ulang format koalisi dengan membentuk Setgab yang turut dipimpin Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai ketua harian dan Syarif Hasan sebagai sekretaris, selain Yudhoyono sebagai pemimpin Setgab Koalisi.
Golkar ”dua kaki”
Namun, sejak ditata ulang oleh Presiden Yudhoyono pada Mei 2010, format baru koalisi menyimpan bara konflik internal yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ada tiga faktor yang berpotensi menyulut konflik. Pertama, format Setgab sendiri sebenarnya masih longgar dalam mengatur tata kelola koalisi, termasuk tidak jelasnya mekanisme internal dan kode etik serta tidak adanya kategorisasi isu strategis yang perlu dibahas oleh anggota Setgab jika muncul perbedaan di antara mereka. Akibatnya, muncul polemik dan perseteruan secara publik yang merugikan konsolidasi dan kerekatan Setgab.
Kedua, sejak awal, penunjukan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian Setgab Koalisi oleh Presiden Yudhoyono sebenarnya tak begitu disukai oleh lima parpol koalisi lainnya. Reputasi buruk Golkar yang acap bermain di ”dua kaki” serta kecenderungan Aburizal memanfaatkan politik untuk kepentingan bisnis tampaknya menjadi sumber ketaksukaan tersebut.
Selain itu, parpol koalisi di luar Partai Demokrat dan Golkar juga mencurigai adanya tawar-menawar politik tertentu antara Yudhoyono dan Aburizal sehingga mereka merasa tak memperoleh peran yang kentara dalam Setgab. Hal ini tampak, misalnya, dalam silang pendapat anggota Setgab soal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Parpol koalisi selain Demokrat dan Golkar kecewa karena seolah-olah substansi RUUK Yogyakarta yang diajukan pemerintah ke DPR telah disepakati Setgab secara internal.
Ketiga, kerapuhan koalisi, baik sebelum maupun setelah terbentuknya Setgab, sebenarnya sudah tampak sejak awal. Pasalnya, kesamaan kepentingan politik jangka pendek parpol yang tergabung lebih mendasari pembentukan koalisi daripada kesamaan visi dan garis haluan politik tentang arah dan masa depan negeri kita. Tidak mengherankan jika riak-riak konflik yang terjadi akhir-akhir ini lebih banyak dipicu oleh perbedaan kepentingan subyektif parpol terkait Pemilu 2014. Belum tampak komitmen bersama untuk mendahulukan kepentingan kolektif bangsa kita di atas kepentingan sempit para elite parpol anggota koalisi.
Persoalan ambang batas parlemen, misalnya, sebenarnya tak perlu menjadi sumber konflik internal Setgab jika ada kesamaan visi parpol tentang format kepartaian, keparlemenan, dan kepemerintahan ke depan. Hal yang sama tampak dalam syahwat politik parpol menjadi penyelenggara pemilu. Jika saja parpol konsisten dengan amanat konstitusi yang meniscayakan terbentuknya suatu komisi pemilihan umum yang mandiri, parpol semestinya tak perlu memasuki wilayah ”haram” Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
Nota kesepahaman
Keberadaan Setgab Koalisi yang semula diharapkan dapat meningkatkan keefektifan pemerintahan tetap menjadi problem dan sumber konflik anggotanya jika format koalisi masih bersifat longgar, semu, dan hanya berfondasi kepentingan jangka pendek parpol. Dalam kaitan ini, Presiden Yudhoyono semestinya merancang format Setgab yang benar-benar bisa menjadi semacam nota kesepahaman di antara parpol koalisi. Kalau tidak, yang muncul adalah harmoni semu yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi konflik ketika ada perbedaan pandangan dan kepentingan di antara parpol koalisi.
Selain itu, Presiden Yudhoyono seharusnya tidak memaksakan sikap partainya sebagai pandangan pemerintah jika sejak awal suasana KIB II lebih bersifat kabinet koalisi parpol ketimbang suatu kabinet profesional. Beragam sikap dan pandangan parpol yang muncul dalam Setgab adalah suatu risiko berkoalisi. Persoalannya adalah bagaimana merancang dan mengelola format koalisi yang tak hanya menjamin terakomodasinya sebagian kepentingan parpol, tetapi juga bisa menyelamatkan kepentingan kolektif bangsa kita ke depan.
Oleh karena itu, tantangan bagi Presiden Yudhoyono adalah keberanian menata ulang format Setgab, termasuk kemungkinan kocok ulang anggotanya atau tetap membiarkan koalisi superjumbo ini justru menjadi kerangkeng bagi pemerintah sendiri. Toh, menjelang Pemilu 2004, Yudhoyono, selaku calon presiden, pernah berjanji untuk membentuk koalisi terbatas tetapi efektif dalam mengegolkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kepentingan publik.
Terlalu besar risiko bagi bangsa kita apabila Setgab akhirnya sekadar menjadi ajang pertaruhan kepentingan jangka pendek para elite partai di dalamnya. Juga terlalu mahal biaya politik yang harus ditanggung renteng segenap anak negeri ini jika politik berhenti semata-mata sebagai bancakan berjemaah para elite politik yang tidak bertanggung jawab.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Opini Kompas 6 Januari 2010