SETELAH hasil revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disahkan, mulai 17 Januari nanti Kementerian Hukum dan HAM memverifikasi partai-partai dan ditargetkan selesai Juli mendatang. Menyimak fenomena perpolitikan nasional ke depan, akankah nasib partai-partai kecil pada Pemilu 2014 akan memburuk ketimbang pada Pemilu 2009?
Bagi partai-partai kecil, hasil revisi UU Nomor 2 Tahun 2008 dianggap sebagai senjata untuk mematikan keberadaan mereka. Apalagi revisi regulasi itu memuat aturan yang sangat ketat, yang justru memunculkan respons negatif dari partai-partai kecil. Bagi mereka, hasil revisi dianggap sebagai upaya secara sengaja dengan niatan yang tidak baik, yang tujuannya membunuh partai-partai kecil.
Hasil keputusan menerapkan aturan ketat verifikasi; yakni syarat pendirian partai, bahwa harus didirikan minimal oleh 990 warga negara yang berasal dari 33 provinsi atau minimal 30 orang per provinsi. Selain itu, kepengurusan partai wajib ada di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/ kota dan 50 persen kecamatan di tiap-tiap kabupaten/ kota lengkap dengan kantor tetap, sungguh memberatkan, sekaligus mengancam partai-partai kecil untuk berguguran.
Ada yang gugur karena faktor administrasi, yaitu tidak berdaya menempatkan struktur kepengurusannya di semua provinsi sesuai tuntutan undang-undang, ada juga yang gugur lantaran perlahan-lahan kehilangan pendukung karena munculnya kekhawatiran sejak dini atas ancaman bagi partai itu. Namun mereka tidak berdaya dalam proses menuju demokrasi yang sehat hingga pada saatnya sistem perpolitikan nasional hanya menampung maksimal lima hingga enam partai politik saja.
Dalam sistem distrik, dan teritori sebuah negara dibagi-bagi, justru melazimkan partai politik dengan jumlah kecil. Setiap distrik akan dipilih satu wakil rakyat dan jumlah anggotanya sesuai dengan banyaknya distrik di negara tersebut. Karenanya muncul istilah the winner takes all, yang berakibat partai kecil tidak akan dapat menempatkan wakilnya di parlemen.
Begitu pula dengan sistem proporsional seperti yang berlaku di Indonesia. Dalam upaya memperkecil jumlah partai, misalkan, sistem di negara kita menerapkan electoral threshold. Persentase batas minimal yang harus dimiliki sebuah parpol untuk duduk di parlemen saat ini adalah 5 persen.
Itulah sebabnya, partai-partai kecil kelimpungan termasuk saat mengetahui hasil revisi UU Nomor 2 Tahun 2008. Bagi parpol yang tidak memiliki kepengurusan di semua provinsi terancam gagal ikut Pemilu 2014. Apalagi partai yang tidak lolos threshold, jelas dilarang mengikuti pemilu mendatang, kecuali bagi parpol yang melakukan penggabungan.
Kendati demikian, upaya pembatasan parpol melalui revisi undang-undang ini wajar terjadi pada negara yang baru ‘’belajar’’ demokrasi. Dikatakan wajar, karena untuk mencapai taraf demokrasi yang boleh dikatakan stabil seperti halnya di negara-negara maju, kita perlu membatasi jumlah partai. Kalau kita memang menerapkan sistem multipartai, sebenarnya bisa dibentuk 4-6 partai yang mewakili konstituen.
Misalnya, partai Islam terbentuk tiga parpol masing-masing mewakili segmen NU, Muhammadiyah, dan basis Islam lainnya. Kemudian tiga partai lainnya masing-masing mewakili kalangan nasionalis kelompok liberal, kaum moderat, atau kelompok yang lainnya.
Jika kita berkaca pada Pemilu 1955, pemilihan umum hanya diikuti oleh beberapa partai. Saat itu, aspirasi warga nahdliyin (NU) diwakili Partai NU, sedangkan kelompok Islam lainnya menggunakan kendaraan Masyumi sebagai wadah beraspirasi. Kaum Nasionalis-Soekarnois menggunakan PNI sebagai wadah menyalurkan politiknya, kemudian kalangan populis melalui Partai Komunis Indonesia, serta kaum liberal lewat PSI.
Begitu juga pada saat era Orba berkuasa. Lebih kurang dari 30 tahun lamanya, tiap kali pemilu hanya diikuti tiga partai, yaitu Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketiga partai tersebut merupakan fusi beberapa partai atas tuntutan pemerintah waktu itu. (10)
— Didik T Atmaji, alumnus Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang, pegiat pada Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Indonesia (LPPI) Semarang
Bagi partai-partai kecil, hasil revisi UU Nomor 2 Tahun 2008 dianggap sebagai senjata untuk mematikan keberadaan mereka. Apalagi revisi regulasi itu memuat aturan yang sangat ketat, yang justru memunculkan respons negatif dari partai-partai kecil. Bagi mereka, hasil revisi dianggap sebagai upaya secara sengaja dengan niatan yang tidak baik, yang tujuannya membunuh partai-partai kecil.
Hasil keputusan menerapkan aturan ketat verifikasi; yakni syarat pendirian partai, bahwa harus didirikan minimal oleh 990 warga negara yang berasal dari 33 provinsi atau minimal 30 orang per provinsi. Selain itu, kepengurusan partai wajib ada di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/ kota dan 50 persen kecamatan di tiap-tiap kabupaten/ kota lengkap dengan kantor tetap, sungguh memberatkan, sekaligus mengancam partai-partai kecil untuk berguguran.
Ada yang gugur karena faktor administrasi, yaitu tidak berdaya menempatkan struktur kepengurusannya di semua provinsi sesuai tuntutan undang-undang, ada juga yang gugur lantaran perlahan-lahan kehilangan pendukung karena munculnya kekhawatiran sejak dini atas ancaman bagi partai itu. Namun mereka tidak berdaya dalam proses menuju demokrasi yang sehat hingga pada saatnya sistem perpolitikan nasional hanya menampung maksimal lima hingga enam partai politik saja.
Dalam sistem distrik, dan teritori sebuah negara dibagi-bagi, justru melazimkan partai politik dengan jumlah kecil. Setiap distrik akan dipilih satu wakil rakyat dan jumlah anggotanya sesuai dengan banyaknya distrik di negara tersebut. Karenanya muncul istilah the winner takes all, yang berakibat partai kecil tidak akan dapat menempatkan wakilnya di parlemen.
Begitu pula dengan sistem proporsional seperti yang berlaku di Indonesia. Dalam upaya memperkecil jumlah partai, misalkan, sistem di negara kita menerapkan electoral threshold. Persentase batas minimal yang harus dimiliki sebuah parpol untuk duduk di parlemen saat ini adalah 5 persen.
Itulah sebabnya, partai-partai kecil kelimpungan termasuk saat mengetahui hasil revisi UU Nomor 2 Tahun 2008. Bagi parpol yang tidak memiliki kepengurusan di semua provinsi terancam gagal ikut Pemilu 2014. Apalagi partai yang tidak lolos threshold, jelas dilarang mengikuti pemilu mendatang, kecuali bagi parpol yang melakukan penggabungan.
Kendati demikian, upaya pembatasan parpol melalui revisi undang-undang ini wajar terjadi pada negara yang baru ‘’belajar’’ demokrasi. Dikatakan wajar, karena untuk mencapai taraf demokrasi yang boleh dikatakan stabil seperti halnya di negara-negara maju, kita perlu membatasi jumlah partai. Kalau kita memang menerapkan sistem multipartai, sebenarnya bisa dibentuk 4-6 partai yang mewakili konstituen.
Misalnya, partai Islam terbentuk tiga parpol masing-masing mewakili segmen NU, Muhammadiyah, dan basis Islam lainnya. Kemudian tiga partai lainnya masing-masing mewakili kalangan nasionalis kelompok liberal, kaum moderat, atau kelompok yang lainnya.
Jika kita berkaca pada Pemilu 1955, pemilihan umum hanya diikuti oleh beberapa partai. Saat itu, aspirasi warga nahdliyin (NU) diwakili Partai NU, sedangkan kelompok Islam lainnya menggunakan kendaraan Masyumi sebagai wadah beraspirasi. Kaum Nasionalis-Soekarnois menggunakan PNI sebagai wadah menyalurkan politiknya, kemudian kalangan populis melalui Partai Komunis Indonesia, serta kaum liberal lewat PSI.
Begitu juga pada saat era Orba berkuasa. Lebih kurang dari 30 tahun lamanya, tiap kali pemilu hanya diikuti tiga partai, yaitu Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketiga partai tersebut merupakan fusi beberapa partai atas tuntutan pemerintah waktu itu. (10)
— Didik T Atmaji, alumnus Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang, pegiat pada Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Indonesia (LPPI) Semarang
Opini Suara Merdeka 6 Januari 2010