09 Januari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Menghadapi Problem Sosial

Menghadapi Problem Sosial

Penulis : Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Apakah reformasi budaya alamiah? Kalau tidak, apa yang mendorongnya? Kehidupan masyarakat terbentuk dari perpaduan antara lingkungan teritorialnya dan bagaimana masyarakat itu mengorganisasi diri. Dalam masyarakat terbelakang, kesederhanaan lembaga-lembaga yang dibentuknya hanya memungkinkannya beradaptasi dengan lingkungan, bukan mengubahnya. Masyarakat dianggap berbudaya primitif apabila dia tidak mampu mengadakan perubahan yang berarti.

Tentu kita tidak menggolongkan diri pada masyarakat berbudaya primitif. Dengan gelombang modernisasi yang menerpa negeri ini sejak beberapa abad terakhir dengan datangnya para penjajah, dan dengan rangsangan-rangsangan modern yang beredar sampai sekarang, tentu konsep dan perasaan kita tentang kehidupan terus berubah. Yang mengusik pikiran, dengan segala perubahan menuju kemajuan, kita tentunya akan terus-menerus dirundung berbagai problem sosial.

Empat teori problem sosial

Menurut teori pertama, problem sosial timbul karena disorganisasi dalam masyarakat. Demikian kata buku Society Today yang diterbitkan Richard L Roe. Disorganisasi itu akibat perubahan sosial, kultural, atau konflik kultural. Ada tuntutan-tuntutan baru, tujuan-tujuan baru, dan bahkan nilai-nilai baru. Lembaga-lembaga sosial kehilangan wibawa, norma-norma tidak diindahkan, dan kekacauan meluas. Lacurnya, teori ini kedengarannya antiperubahan karena menganggap yang ada sudah memadai.

Teori kedua melakukan pendekatan berbeda. Problem sosial timbul karena ada individu-individu yang ukuran moral maupun sosialnya 'kurang'. Mereka tidak mau dan tidak mampu mengikuti pola-pola normatif masyarakat. Bukan naluri atau situasi kejiwaan mereka yang salah. Mereka bersikap demikian karena subkultur mereka memberontak terhadap lembaga-lembaga yang ada; mungkin sekali akibat rangsangan-rangsangan yang datang.

Teori ketiga menyebut tentang konflik nilai-nilai. Masyarakat memakai nilai-nilai yang saling berbeda atau bahkan bertentangan dalam menghadapi suatu masalah bersama. Apa yang dianggap problem oleh suatu kelompok dianggap sebagai kesempatan oleh kelompok lain. Ini terutama terkait dengan sistem distribusi kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang ada. Mafia hukum, korupsi dan konflik antarpartai politik masuk teori ketiga ini.

Orientasi keempat dan terakhir menganggap problem sosial sebagai konsekuensi konflik pola-pola tingkah laku karena mekanisme pemersatu kacau atau tidak mampu sehingga tingkat konflik melebihi kemampuan sistem yang ada. Asumsi yang mendasari teori keempat ini: perubahan sosial yang tidak terintegrasi menimbulkan problem sosial. Diperlukan para pemimpin dan manajer yang terampil dan bijaksana untuk mengurus perubahan dan akibatnya terhadap negara dan masyarakatnya.

Pemimpin perlu umpan balik

The Way of the Leader (1997) karya Donald G Krause, memuat rumusan bagus tentang beda antara 'pemimpin' dan 'manajer'. Sekalipun hasil karyanya itu memfokus pada kepemimpinan di bidang bisnis, tetapi rumusan Kraus relevan untuk kepemimpinan pada umumnya. Dia mengatakan, baik kepemimpinan maupun manajemen menghendaki sukses yang menyeluruh. Namun ada beda antara keduanya. Kepemimpinan mensyaratkan ada kontrak sosial antara pemimpin dan yang dipimpin. Sang pemimpin dituntut memiliki kemauan dan kemampuan untuk menjalankan kekuasaan. Tetapi hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin bersifat koperatif. Selain itu, kekuasaan harus diberikan secara sukarela oleh yang dipimpin. Kepemimpinan dilandasi oleh kesetujuan, ekspektasi, dan komitmen kedua pihak.

Lain halnya dengan manajemen. Kekuasaan yang dimiliki sang manajer terutama diperoleh dari posisi atau kepemilikan. Maka untuk berhasil, manajemen tidak memerlukan faktor-faktor yang tersebut tadi. Tergantung pada situasinya, manajemen bisa efektif tanpa ada kontrak sosial antara manajer dan orang-orang di bawahnya, atau tanpa kesetujuan dari pihak yang dipimpin. Namun, tentu saja, hasil praktik-praktik manajemen yang baik menjadi lebih sempurna bila kekuasaan sebagai manajer dan kekuasaan kepemimpinan digabungkan. Idealnya, para pemimpin sebaiknya juga manajer yang baik. Sebaliknya, manajer sebaiknya memiliki sifat-sifat kepemimpinan.

Salah satu yang juga menjadi persyaratan untuk menjadi pemimpin yang baik adalah keterbukaannya menerima umpan balik; atau sebaliknya memberikan umpan balik. Umpan balik membantu membangkitkan motivasi kerja. Tanpa umpan balik, kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi upaya dan kerja yang telah kita lakukan. Ini mematahkan semangat untuk bekerja lebih baik karena berupaya atau tidak berupaya toh sama hasilnya. Apresiasi yang sepadan atau celaan maupun hukuman yang sepadan bisa menjadi sarana perbaikan, namun harus konsisten. Dengan cara ini tanggung jawab individu sebagai pemimpin akan semakin tumbuh. Apresiasi bisa berbentuk pengakuan atau kebebasan lebih besar untuk menjalankan maupun mengambil keputusan. Yang sebaliknya juga bisa terjadi. Penafsirannya bisa dibaca sendiri oleh pemimpin maupun yang dipimpin.

Tantangan berat yang dihadapi para pemimpin adalah mendorong yang dipimpin agar bersedia berbuat lebih dari sekadarnya. Sering ada asumsi bahwa faktor biologis dan genetika memotivasi manusia. Mungkin itu menyebabkan pihak-pihak tertentu sering mengatakan, "Orang-orang Melayu malas bekerja." Kalau asumsi itu benar, apakah berarti motivasi tiap orang untuk bekerja tidak bisa diubah?

Jurnal dwibulanan Business Horizons, terbitan Sekolah Bisnis Universitas Indiana, AS, pernah memuat hasil penelitian Burt K Scanlan yang menunjukkan, ada faktor-faktor lain yang sama penting dengan faktor biologis, yakni faktor-faktor budaya, latar belakang keluarga dan sosial-ekonomi; serta kekuatan-kekuatan lain yang ada di lingkungannya. Yang disebut terakhir--termasuk keterampilan manajemen dan kebijakan pemimpin--dapat membangkitkan suasana kerja yang baik. Selain itu, tujuannya pun harus jelas. Tanpa tujuan yang jelas, sulit bagi individu maupun kelompok untuk membayangkan, apa manfaat mereka bekerja lebih keras kalau hasilnya tidak memadai; nasib mereka tidak berbeda dari yang sebelumnya. Itu akan mematikan semangat kerja. Untuk itu mereka memerlukan umpan balik dari para pemimpin.

Apakah benar kita mengalami krisis kepemimpinan? Tampaknya sistem komunikasi yang lemah membuat kita tidak sepenuhnya tahu. Selain itu, gesekan antarsubkultur dalam masyarakat pluralistik ini mempersulit tumbuhnya para pemimpin yang mumpuni. Lagi pula mengubah sistem feodalistis menjadi demokratis bukan hanya membutuhkan perubahan cara pandang atau mindset, tetapi juga perlu waktu lama. 
Opini Media Indonesia 7 Januari 2011