Oleh : Rindu Rumapea Saat ini, jika kita melakukan perjalanan dari kota Medan menuju Rantau Parapat yang merupakan jalur lintas utama di Provinsi Sumatera Utara maka kita akan melihat pemandangan yang sama di kanan atau di kiri jalan raya, yaitu pemandangan perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit (elaeis guinensis) adalah tanaman perkebunan penghasil minyak sawit yang diambil dari daging buahnya di sebut CPO dan dari kernel yang di sebut minyak inti (CPKO). Perkebunan kelapa sawit sudah lebih mendominasi lahan di daerah Sumatera Utara baik milik pemerintah, swasta ataupun milik pribadi. Melihat perkebunan kelapa sawit seakan melihat sesuatu hal yang membosankan karena tidak ada keragaman tumbuhannya kecuali pohon kelapa sawit dan semak belukar, lebih baik tidur dari pada melihat sekeliling ketika kita melakukan perjalanan tersebut. Perkebunan kelapa sawit tersebut seakan-akan tersebar merata sepanjang jalan lintas tersebut, menunjukkan begitu luaslah lahan untuk kelapa sawit. Pemandangan ini sangat berbeda jika kita melewati daerah Pematang Siantar menuju Sibolga yang mayoritas pemandangan di kanan kiri jalan terlihat hutan, pepohonan dan lahan pertanian padi yang begitu hijau, enak di pandang mata. Fenomena maraknya perluasan perkebunan kelapa sawit sudah merasuki para pemilik modal di daerah Sumatera Utara. Membuka perkebunan kelapa sawit merupakan suatu usaha yang sangat menguntungkan hingga puluhan tahun lamanya. Para pengusaha perkebunan kelapa sawit menginginkan membuka lahan untuk kebun kelapa sawit seluas-luasnya, makin luas maka makin banyak untungnya. Di Sumatera Utara sepertinya sudah lebih di isi dengan perkebunan kelapa sawit yang bahkan menempati jutaan hektar. Beberapa perusahaan besar yang mengolah kelapa sawit di Sumatera Utara yaitu. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yaitu PTPN 2, PTPN 3, PTPN 4, PT Lonsum, dan lain-lain. Perusahaan- perusahaan perkebunan ini memperoleh untung yang begitu besar sehingga mampu memberikan gaji tambahan (Bonus) setiap tahun yang nilainya hingga beberapa kali lipat gaji pokok para pekerjanya. Hal ini juga telah meracuni pikiran para petani yang sehari-hari mengolah lahan untuk lahan pertanian padi mengubah lahan tersebut menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Hal ini mereka lakukan karena mereka tidak memiliki modal untuk membeli lahan baru sebagai lahan kelapa sawit. Para petani yang hanya memiliki lahan kelapa sawit tidak lebih dari lima hektar sudah merasa senang jika mampu mengubah lahannya yang sedikit tersebut sebagai lahan kelapa sawit sebab mereka bisa memperoleh ratusan ribu bahkan hingga jutaan rupiah setiap kali panen kelapa sawit nantinya, biasanya satu kali dalam dua minggu panen. Kehidupan para petani pun lebih di tolong oleh perkebunan sawit mereka dibandingkan mereka berjerih lelah mengolah sawah yang di tanami padi dan juga perlu perawatan yang intensif tetapi kurang memberikan hasil yang maksimal, belum lagi jika terjadi gagal panen maka kerugianlah yang akan di tanggung. Fenomena diatas sudah sangat sulit di ubah. Pemerintah hanya mengontrol perluasan lahan perkebunan kelapa sawit bagi para pengusaha besar yang memiliki lahan hingga ratusan ribu hektar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Padahal, jika semua masyarakat melakukan pengubahan lahan pertanian menjadi lahan perkebunan kelapa sawit maka akan sangat berdampak lebih besar lagi. Kejelasan lahan kritis yang diperuntukkan bagi lahan perkebunan kelapa sawit juga belum jelas adanya. Seperti yang di katakan Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Utara, Laksamana Adyaksa (Kompas, 13/12/2010), mengatakan bahwa bagi pengusaha tantangan ke depan soal pengembangan kebun baru adalah kepastian terkait tata ruang dan wilayah. Ini bukan soal pengembangan perkebunan diperbolehkan di lahan kritis atau terdegradasi tetapi justru kejelasan tata ruang dan wilayah dimana lahan tersebut berada, lahan kritis yang diperbolehkan pemerintah untuk kebun kelapa sawit baru. Selain itu, pemerintah pun tidak jelas mengambil keputusan. Hal ini juga jelas terlihat dari pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, James Budiman Siringoringo, mengatakan bahwa pemerintah memiliki peta lahan kritis di dalam kawasan hutan yang mencapai 400.000 hektar, hanya saja belum ada kebijakan yang tegas apakah lahan kritis di dalam kawasan hutan diperbolehkan atau tidak. Terlihat jelas bahwa pemerintah tidak konsisten dengan apa yang telah disepakati pada pengusaha kelapa sawit. Efek Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Pemerintah harus tegas mengambil keputusan untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah perlu melihat jauh ke depan efek yang di akibatkan dengan banyaknya lahan kelapa sawit yang di gunakan, jangan hanya mengambil keuntungan semata meskipun dengan beroperasinya lahan kelapa sawit maka akan sangat menampung banyak tenaga kerja. Tetapi harus di lihat bahwa perbandingan lahan yang di gunakan dengan tenaga kerja yang ada sangat tidak seimbang, jangan-jangan nanti masyarakat Sumatera Utara akan kekurangan lahan untuk diolah sebagai mata pencarian keluarga atau sebagai tempat tinggal. Maraknya masyarakat yang mengubah lahan pertanian menjadi lahan perkebunan kelapa sawit juga perlu di ambil kebijakan yang jelas sehingga masyarakat tidak masuk kedalam kesenangan belaka tanpa mengerti akan dampak yang terjadi nantinya. Reboisasi dan peremajaan hutan yang terdegradasi, mungkin itu hal yang harus di lakukan pemerintah sebagai bentuk usahanya mengatasi lahan kritis sehingga lahan tersebut dapat dipergunakan dengan baik tanpa harus diserahkan kepada pihak pemodal perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit telah di mengerti pemerintah merupakan salah satu penyumbang terjadinya pemanasan global meskipun secara tidak langsung yaitu ketika di bukanya lahan untuk menanam kelapa sawit maka akan terjadi pembersihan lahan, dimana pohon-pohon ditumbangi hal inilah yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global, meskipun penelitian membuktikan bahwa kelapa sawit dapat mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Jadi, saya pikir pemerintah sudah lebih bijak menyikapi hal tersebut dengan mengesampingkan kepentingan pribadi. Sudah cukuplah kiranya perkebunan kelapa sawit yang ada di daerah Sumatera Utara tanpa harus menambah lagi lahan untuk itu atau mengubah lahan pertanian atau lahan lainnya untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit bukan merupakan bahan pangan sehingga jika masyarakat beramai-ramai mengubah lahan mereka menjadi lahan kelapa sawit maka tidak akan terhindarkan lagi terjadi harga bahan pangan yang melonjak naik dan sangat susah dicari. STOP PENAMBAHAN LAHAN KELAPA SAWIT DI SUMATERA UTARA. *** Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Matematika Universitas Negeri Medan dan Seorang anak karyawan Perkebunan kelapa sawit. opini Analisa Daily 6 Januari 2010 |
06 Januari 2011
Pemerintah Harus Tegas Menata Lahan Kelapa Sawit
Thank You!