01 Februari 2012

DPR dan Belenggu Century

DPR dan Belenggu Century. Kasus Century ibarat badai yang tak kunjung berlalu. Setelah menyita perhatian publik begitu besar dalam pengambilan keputusan politik di DPR yang akhirnya memutuskan bahwa kebijakan pemberian dana talangan adalah kebijakan yang salah dan terindikasi melanggar hukum, kini kasus Century kembali memanas seiring dengan pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang berjanji menuntaskan kasus Century dalam waktu satu tahun.


Blunder Ketua KPK

Pernyataan Ketua KPK menjadi blunder karena disampaikan dalam forum politik di DPR yang memberi kesan seolah KPK memang sejak awal menjadikan Century sebagai sasaran tembak. Sebagaimana diketahui bahwa Century kerap dijadikan bahan tawar-menawar politik Partai Golkar dalam menyikapi kebijakan strategis Pemerintah. Padahal, ada banyak kasus besar yang telah menunggu KPK seperti kasus Gayus dan suap dalam pemilihan DGS BI.

Celakanya, pernyataan Abraham Samad ini dikeluarkan untuk kasus yang sangat kental nuansa politiknya. Seharusnya KPK fokus saja menangani dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus tersebut, bukan malah mengeluarkan pernyataan yang dapat dijadikan peluru untuk membombardir KPK di kemudian hari. Jika dalam setahun KPK tak mampu membongkar kasus Century, KPK akan kembali menjadi sasaran tembak politisi Senayan.

Permasalahan menjadi semakin runyam ketika masa kerja tim pengawas kasus Century diperpanjang. Timwas tentu akan semakin mendorong KPK setelah pimpinannya mengeluarkan janji tersebut, dan bisa jadi, dorongan tersebut adalah upaya mendikte dan membelenggu KPK.

Politik Pencitraan


Tak hanya itu, kentalnya nuansa politik dalam kasus Century juga akan dijadikan sarana bagi parpol untuk kembali rajin menyambangi media massa dan berusaha mencuri perhatian publik untuk kepentingan Pemilu 2014. Kita ingat betul betapa seringnya para inisiator hak angket Century dahulu begitu fenomenal karena selalu muncul di televisi. Bayangkan, terus bergulirnya kasus Century dapat dijadikan alat kampanye gratis bagi politisi yang akan bertarung di pemilu.

Perlu dipahami bahwa kasus Century berdiri di dua ranah yang akan berbeda muara penyelesaiannya, yakni politik dan hukum. Politik hanya akan menghasilkan transaksi-transaksi, sementara hukum membuktikan benar atau tidaknya upaya penyelamatan Bank Century dan siapa yang mengambil keuntungan di balik penyelamatan itu.

Untuk itu, biarkan KPK menyelesaikan dimensi hukum kasus Century dan kita mendorong penyelesaian kasus sesegera mungkin. Jika memang tidak ditemukan indikasi korupsi berdasarkan fakta dan bukti, tentu KPK harus tegas melaporkannya kepada publik, dan masyarakat harus mengawalnya dari tekanan politik manapun. Dan bagi DPR, alangkah baiknya jika proses politik hak angket dilanjutkan dengan menempuh hak menyatakan pendapat yang memang dijamin oleh undang-undang. Dengan begitu, pendapat DPR jika memang menyatakan adanya dugaan tindak pidana oleh wakil presiden maka dapat segera ditindaklanjuti dengan mekanisme forum previlegiatum oleh Mahkamah Konstitusi dan pemakzulan di parlemen.

Dengan begitu, hukum akan tetap menjadi panglima tanpa harus mengerdilkan proses politik. Mengenai tak sehatnya dinamika politik, biarlah rakyat yang menilai.

M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT Korupsi) FH UGM

Opini, Okezone,  30 Januari 2012
»Read More »

Masa Depan Demokrat

Masa Depan Demokrat. Bagaimanakah masa depan Partai Demokrat (PD)? Bisakah partai ini terus menuai dukungan sebagaimana pemilu 2004 dan 2009, ataukah justru mengalami kemunduran?

Ada sejumlah alasan mengapa pertanyaan-pertanyaan demikian muncul. Pertama, PD selama ini sangat lekat dengan pribadi Presiden SBY. Perolehan suara yang berarti pada dua pemilu lalu tidak lepas dari pribadi SBY. Masalahnya, pada pemilu yang akan datang SBY tidak bisa mencalonkan lagi sebagai presiden. Kedua, sejak 2004 PD juga lekat berpredikat sebagai partai penguasa. Apa yang terjadi pada pemerintahan, dengan demikian, memiliki pengaruh terhadap keberlangsungannya. Menjelang pemilu 2009 terdapat persepsi bahwa pemerintahan SBY memiliki kinerja yang cukup baik.

Masalahnya, persepsi demikian belakangan mengalami penurunan. Ketiga, dalam bulan-bulan terakhir, sejumlah elite PD sering terlihat dalam kasus korupsi. Yang mengemuka adalah kasus Nazaruddin. Baik Nazar maupun terdakwa lain, dan sejumlah saksi yang dihadirkan, menyebut keterlibatan sejumlah orang penting PD di dalam kasus yang dihadapi. Persepsi bahwa PD merupakan partai yang bersih, antikorupsi, jelas mengalami perubahan setelah munculnya kasus ini.

Triple Linkage

Bagi para penganut pendekatan pilihan publik, upaya mempertahankan partai yang berkuasa itu lebih sederhana jika dibandingkan dengan partai oposisi. Ketika pemerintahan memiliki kinerja yang baik, para pemilih itu akan sertamerta memilihnya kembali. Kinerja itu biasanya diukur dari sejumlah indikator, seperti pertumbuhan ekonomi, menurunnya angka pengangguran dan angka kemiskinan.

Kalau mendasarkan pada patokan angka-angka makro, pemerintahan SBY memiliki prestasi yang bermakna. GDP mengalami pertumbuhan yang sangat berarti. Itu sebabnya belakangan Indonesia menjadi satu dari 20 negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar. Selain itu, angka pengangguran dan kemiskinan juga mengalami penurunan. Namun, angka-angka makro semacam itu ada yang mempertanyakannya. Para pengkritik melihat bahwa GDP yang besar itu belum membumi karena lebih banyak dinikmati oleh sekelompok kecil orang.

Bahkan, terhadap angka-angka makro itu sendiri juga ada yang mempertanyakannya. Bagi para pengkritik, pemerintahan SBY dipandang tidak memiliki prestasi. Argumentasi para pengkritik itu debatable memang. Bagaimanapun, angka-angka makro itu merupakan agregat dari angka-angka mikro. Tetapi itulah pandangan, bisa berbeda. Lebih-lebih yang berpandangan itu juga tidak lepas dari kepentingan-kepentingan. Perbedaan demikian tidak semata-mata didasarkan pada argumentasi metodologis, melainkan juga tidak lepas dari persepsi yang subyektif.

Selain itu, sejak awal jabatan kedua, pemerintahan SBY mengalami cobaan yang sangat berarti. Yang terhebat adalah guncangan dalam kasus Bank Century. Secara hukum, baik SBY maupun orang-orang dekatnya belum terbukti terlibat. Namun, kasus ini telah menjadikan sebagian masyarakat bepersepsi bahwa kasus Bank Century telah menyeret pemerintahan SBY. Itulah sebabnya, setelah kasus Bank Century itu muncul, persepsi tingkat dukungan masyarakat terhadap pemerintahan SBY mengalami penurunan. Masalahnya bukan pada benar tidaknya pemerintahan SBY terlibat dalam kasus itu.

Pemberitaan media, sedikit atau tidak, telah terbingkai dalam suatu pandangan bahwa pemerintahan SBY terseret dalam kasus itu. Di sini, terlepas dari pemerintah itu benar atau tidak, pemerintah telah diposisikan “bersalah”. Kasus Nazaruddin telah membuat pemerintahan SBY dikait-kaitkan dengan kasus penyalahgunaan kekuasaan. Pertama, kasus ini terjadi di kementerian di mana menterinya merupakan kader PD. Kedua, di antara aktor utama yang dijerat sebagai terdakwa adalah mantan bendahara PD. Kasus Nazaruddin memang belum selesai, dan bisa jadi akan terus berkembang.

Sejauh ini baru Nazar sendiri sebagai kader partai yang dinyatakan sebagai tersangka dan terdakwa. Namun, kasus ini telah membuat PD terseret-seret karena sejumlah orang kunci di PD dianggap terlibat. Bahkan, harta perusahaan Nazar yang dianggap bermasalah itu dikait-kaitkan juga dengan pelaksanaan kongres di Bandung. Walhasil, PD belakangan ini acap dikait-kaitkan dengan tiga masalah. Pertama, berkaitan dengan pemerintahan SBY yang oleh sejumlah pengkritiknya dianggap bermasalah. Kedua, berkaitan dengan kasus Bank Century. Ketiga, berkaitan dengan kasus wisma atlet yang melibatkan Nazar.

Kompleks

Apakah dengan demikian PD akan mengalami keterpurukan? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja tidak linier begitu saja. Mengingat masalah yang dikaitkan dengan PD ini cukup kompleks, untuk memahami apakah pada pemilu yang akan datang PD juga akan mengalami penurunan juga harus mempertimbangkan banyak faktor. Pertama, jarak pemilu masih cukup lama.

Dalam jarak demikian, masih banyak hal yang bisa terjadi. Ketika dalam tahun-tahun terakhir ini pemerintahan SBY mengalami perbaikan kinerja, distrust terhadap SBY dan PD tidak akan merosot sebagaimana bulan-bulan terakhir ini. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan memiliki peluang titik balik. Hal seperti ini terjadi pada awal-awal pemerintahan SBYJK. Ketika pemerintahan SBYJK menaikkan harga BBM, distrust terhadap pemerintahan SBY-JK mengalami kenaikan. Tetapi distrust demikian mengalami penurunan seiring dengan kemampuan pemerintahan SBY-JK di dalam memperbaiki kinerjanya.

Kedua, berkaitan dengan proses hukum yang melibatkan kader PD, khususnya dalam kasus wisma atlet. Semakin berlarut-larut proses penyelesaiannya,semakin berdampak negatif terhadap PD. Proses situ memang juga sangat tergantung pada terbukti tidaknya secara hukum kaderkader lain di luar Nazar. Ketika kader-kader lain yang selama ini sering disebut-sebut juga dianggap bersalah,semakin mendera PD. Hanya manakala proses hukum itu berlangsung secara cepat, PD masih memiliki peluang melakukan pemulihan. Selain itu, kondisi dari partai- partai lain juga berpengaruh.

Sejauh ini PD masih relatif beruntung karena partai-partai lain tidak jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan PD.Partai- partai lain, dalam taraf tertentu, juga didera permasalahan. Di antara kader-kadernya juga tidak sedikit yang terlibat kasus korupsi. Meskipun demikian, apa yang terjadi sekarang ini merupakan lampu kuning bagi PD di dalam menghadapi pemilu yang akan datang.Ketika gagal menghadapi permasalahan yang didera, kemungkinan akan mengalami peristiwa sebagaimana yang dialami PDIP pada pemilu 2004.

KACUNG MARIJAN
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur 

Opini, Okezone 31 Januari 2012
»Read More »

Paradoks, Rangsang Ledakan Konflik

Paradoks, Rangsang Ledakan Konflik. Beberapa waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini bukan karena prestasinya meraih peringkat investasi (investment grade) dari Fitch’s Rating Ltd. dan Moody’s Investor Service. Akan tetapi karena ada kejadian heroik yang dilakoni anak-anak Sekolah Dasar (SD). Mereka yang menggantung asa dan karenanya, bertaruh nyawa menyeberangi (penulis istilahkan) “jembatan pendidikan” yang oleh media ternama dari Inggris, Dailymail disebut bak sepotong adegan film anyar Indiana Jones.


Aksi nekat anak-anak SD di di Sang Hiang, Lebak, Banten yang meniti jembatan isa terjangan banjir tersebut, tentunya menampar wajah pejabat publik. Dimana akhir-akhir ini baik eksekutif terlebih lagi legislatif menjadi bulan-bulanan akibat laku paradoksnya terhadap realitas kehidupan rakyat.

Lihatlah, hanya berjarak 77 kilometer dari lokasi “jembatan pendidikan” Indiana Jones, berdiri megah gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang hari-hari ini penghuninya menuai badai cercaan akibat dugaan mark up anggaran yang dilakukan untuk memenuhi sejumlah proyek bagi fasilitas wakil rakyat yang kinerjanya nyaris tak dirasakan itu.

Publik terperanjat ketika tahu, untuk toilet berukuran 3x2 meter persegi, kocek negara dirogoh hingga dua miliar rupiah. Pun dengan anggaran kalender yang mencapai 1,3 miliar rupiah. Lain pula soal renovasi ruang rapat badan anggaran yang angkanya lebih fantastis. 20 miliar rupiah. Kursinya, kursi impor berharga 24 juta rupiah per unit.

Masih ada ironi lain dari DPR. Kali ini soal parfum pengharum ruang seharga 1,59 miliar rupiah, kemudian mesin fotocopy dan satu Toyota Camry seharga 6,5 miliar rupiah, dua unit Welcome Screen di gerbang DPR seharga 4 miliar rupiah dan bahkan untuk gorden pun angkanya betul-betul membengkak. Dihargai 6 juta rupiah per meter. Jika tidak ada niat picik kongkalikong mark up anggaran, tidak mungkin dana yang dihabiskan sebesar itu. Maka wajar jika erosi kepercayaan kepada lembaga perwakilan rakyat itu kian meruncing.

Ternyata bukan hanya lembaga legislatif menggerogoti anggaran negara. Lembaga eksekutif pun tak mau kalah ikut renovasi. Ya, mungkin memang sedang musim renovasi. Bayangkan saja, untuk anggaran peningkatan sarana dan prasarana aparatur (meliputi beberapa istana negara) yang dihandle oleh Sekretarian Negara, telah dianggarkan  80,4 miliar rupiah di dalam APBN 2012 ini.

Tiga kenyataan di atas, yaitu kisah “jembatan pendidikan”, renovasi gedung DPR dan sejumlah anggarannya yang irasional dalam kalkulasi moral kita, serta renovasi beberapa istana negara hingga menghabiskan lebih dari 80 miliar rupiah, merupakan potret buram wajah republik yang saban hari digelayuti paradoks. Wajah yang terbelah. Lalu lantak berkeping menjadi puing-puing.

Pejabat Predator

Penulis jadi teringat petuah Arnold Toynbee di dalam bukunya yang diterjemahkan, “Sejarah Umat Manusia”. Sejarawan kenamaan asal Inggris tersebut mengatakan bahwa kemajuan kehidupan pada dasarnya akan menghantar pelaku-pelakunya bersifat seperti parasit. Hanya bisa hidup dengan mengerogoti induk/inangnya. Lebih lanjut, kata Toynbee, pada titik ekstriimnya sifat parasitik tadi bahkan sering berubah menjadi predatoris. Memangsa, mengorbankan siapa saja demi mencapai hasratnya.

Ibarat parasit, para politikus dan pejabat negara menggerogoti anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat tersebut. Mereka hanya mampu hidup dengan korupsi. Alhasil, rakyat pun jadi korban. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, untuk membangun prasarana pendidikan, infrastruktur pertanian, dan sarana publik, semua terkuras ke kas-kas koruptor. Dikanalisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Parahnya, sudah korupsi, mereka tak juga berkinerja.

Lebih parah lagi ketika sifat predatorisnya yang berlaku. Tak segan menghabisi orang lain. Seperti mafia (atau memang sudah menjadi mafia), mereka memiliki jaringan yang rapi dan terorganisir. Pada titik ini, pimpinan puncak dalam satu lembaga atau organisasi seharusnya memiliki kecakapan mereduksi praktek-praktek kotor bawahannya.

Tapi apa daya jika ternyata pemimpin yang diharapkan tak bisa berbuat banyak. Kepemimpinan lemah. Tersandera oleh berbagai kepentingan. Atau barangkali memiliki belang yang sama sehingga enggan sama-sama teridentifikasi sebagai pemimpin predatoris.

Maka jangan salahkan rakyat, jika frustasi menyaksikan  tontonan yang dilakonkan para pejabat. Ledakan anarkisme, konflik horizontal dan berbagai bentuk letupan-letupan sosial hanyalah efek samping dari kerusakan terstruktur yang mendera bangsa kita. Jika begini, lalu mau apa?

Jusman Dalle
• Analis Ekonomi-Politik FE Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Opini, Okezone, 1 Februari 2012, 
»Read More »

Kejahatan dengan Kekerasan

Kejahatan dengan Kekerasan. PELAKU kejahatan dengan kekerasan di siang bolong kini makin nekat. Mereka tidak lagi takut beraksi di tengah keramaian. Modusnya pun sadis dan terencana. Berboncengan motor, lalu satu atau dua dari mereka berhenti di depan sasaran, bisa toko emas, perumahan ataupun perorangan.

Bersamaan dengan itu, pelaku menodongkan senjata (bisa senjata api atau senjata tajam), dan bila ada tanda-tanda korban melawan, mereka mencederainya. Setelah itu, bahkan kadang dengan tenang pelaku melenggang membawa jarahannya.

Ataupun kasus model perampokan, yang pelakunya tidak mengindahkan petugas pengawal, satpam, atau sejenisnya. Mereka menyikat siapa pun yang menghalangi aksinya. Banyaknya kasus kejahatan dengan kekerasan di tengah masyarakat memunculkan pertanyaan, apakah penjahat kini makin nekat atau petugas keamanan lengah? Atau ada instrumen lain yang melahirkan fenomena itu kendati di sisi lain jajaran kepolisian juga menangkap pelakunya.  Sepertinya tertangkap satu, tumbuh seribu.

Ada tiga analisis yang disampaikan oleh M Sofyan terkait fenomena tersebut. Pertama; kecenderungan menurunnya wibawa aparat di mata pelaku kejahatan.
Pelaku menganggap aparat akan bertindak hati-hati bila terpaksa menggunakan senjata api, lebih-lebih di tempat ramai. Banyaknya kejadian polisi salah tembak atau salah sasaran saat mengejar penjahat menjadi mind power. Penjahat tahu belum ada instrumen hukum yang melemahkan posisinya bila terpaksa menembak atau melukai petugas.

Padahal di negara lain, misalnya Amerika Serikat atau Singapura, instrumen hukum sangat melindungi polisi yang bertugas. Siapa pun yang mencederai, lebih-lebih sampai menghilangkan nyawa, mendapat hukuman sangat berat. Hal ini sangat efektif untuk menekan brutalisme penjahat terhadap hamba wet.
Kedua; tren kejahahatan dengan kekerasan tumbuh secara linier seiring dengan gejala meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan kerah putih atau white collar crime. Pelaku kejahatan dengan kekerasan, misalnya perampok, atau mereka yang bertindak secara konvensional dengan mengedepankan otot, ingin membuktikan sikap cemburu mereka kpada pelaku kejahatan kerah putih, seperti pembobol ATM, rekening (seperti kasus Melinda Dee), yang bekerja dengan otak namun hasilnya milyaran rupiah dan hukumannya tidak seberat mereka yang melakukan kejahatan dengan kekerasan.

Hukuman Berat

Ketiga; variabel siginifikan terhadap masalah tingginya pengangguran, ketimpangan ekonomi di masyarakat, dan kesulitan sosial yang antara satu dan lainnya tidak bisa dipisahkan. Kemiskinan yang membelenggu sebagian besar masyarakat lapis bawah menjadi faktor kriminogen fenomena kejahatan di siang bolong.
Sepertinya tidak ada jalan lain untuk mengatasi fenomena kejahatan sadis di siang bolong, meskipun aparat kepolisian sudah menerapkan pola preventif, seperti patroli, penjagaan, dan pengawalan, faktanya penjahat sangat tahu pola itu. Bahkan, seandainya harus head to head dengan polisi, sepertinya mereka sudah siap. Jalan yang bisa diupayakan oleh masyarakat, dan ini sering dilakukan kepolisian adalah dengan mengupayakan pemutus mata rantai antara niat dan kesempatan bagi pelaku kejahatan.

Artinya, niat pelaku kejahatan menjadi tertutup manakala siapa pun tidak memberi kesempatan, misalnya berupa kesiapsiagaan, segera tanggap, peduli, dan berani melawan. Memang, pilihan sikap berani melawan terbukti bisa menghalang-halangi, atau menggagalkan aksi kejahatan, tapi risikonya juga besar, yaitu keselamatan jiwa. Inilah dilematisnya.

Sebagai bentuk kepedulian atas fenomena itu, kini saatnya penegak hukum, baik penuntut umum maupun hakim, berani pula mengajukan tuntutan hukuman maksimal beserta pemberatannya. Pasalnya pelaku merupakan residivis, dan karena itu hakim tidak perlu ragu mengetuk vonis sesuai dengan tuntutan maksimal itu. (10)

— Herie Purwanto SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
Opini, Suara Merdeka, 1 Februari 2012,
»Read More »

Mengurangi Konsumsi Beras

Mengurangi Konsumsi Beras. SETELAH mampu berswasembada beras pada 1984, sekarang kita menjadi negara pengimpor komoditas itu. Menurut IRRI (2011), Indonesia mengimpor 17,6% beras dunia, di bawah Filipina dan Nigeria. Sampai Juli 2011, kita sudah mengimpor 1,57 juta ton atau senilai Rp 7,04 triliun.


Dari produksinya, negara kita menduduki urutan ketiga setelah China dan India. Produksi 2010 mencapai 37,6 juta ton dengan konsumsi 33,4 juta ton.
Sementara China dan India masing-masing 194,3 juta ton (30,7%) dan 148,3 juta ton (21,6%). Produksi per hektare petani kita juga cukup tinggi, di bawah Jepang, China, dan Vietnam, tapi lebih tinggi ketimbang Thailand, Filipina, dan Malaysia.

UNCTAD (2008) menaksir selama 1962-2002 jumlah konsumsi beras naik hampir 40%. Di ASEAN, konsumsi per kapita Indonesia termasuk tertinggi, berimbang dengan Myanmar dan Laos. Kementerian Pertanian menyebut angka 139,15 kg per tahun atau 0,38 kg per hari.
Beras masih merupakan sumber kalori dominan masyarakat di Asia. Menurut ADB (2009), tahun 2007 sekitar 50% sumber kalori masyarakat Indonesia, Vietnam, dan Filipina berasal dari beras. Meskipun lebih rendah dari Bangladesh (70%), angkanya lebih tinggi ketimbang China dan Korea Selatan (27%) dan India (30%). Besaran itu memang mengalami penurunan, dan untuk Indonesia sejak 1990 mengalami penurunan dari 55,2% menjadi 48,8% pada 2007.

Menjadi Inferior

Hasil studi Mears (1981), Ito (1989), dan Matriz (2010) mencatat elastisitas pendapatan untuk konsumsi beras di beberapa negara Asia makin lama makin kecil. Ada hubungan makin meningkatnya pendapatan dengan makin menurunnya konsumsi beras.
Dalam ilmu ekonomi, barang yang jumlah permintaannya makin berkurang akibat meningkatnya pendapatan disebut barang inferior.

Beras cenderung dianggap barang inferior di negara berpenghasilan tinggi seperti Jepang dan Korea Selatan. Juga di negara pengekspor seperti Thailand dan Vietnam, dan di emerging economies seperti China dan India. Gejala serupa ditemukan di Indonesia, makin tinggi pendapatan seseorang konsumsi beras makin berkurang. Pemenuhan karbohidrat dan kalori bergeser ke sumber nonberas, dan hal itu juga dipengaruhi kecenderungan dari gaya hidup.

Pernahkah kita membayangkan Indonesia menjadi negara pengekspor beras? Dengan tingkat produksi dan konsumsi seperti sekarang, sulit diwujudkan. Apalagi di Jawa yang merupakan lumbung padi, gencar terjadi alih fungsi lahan pertanian padi. Pencetakan lahan baru di luar Jawa tidak memberikan hasil signifikan.

Prediksi jumlah produksi dan konsumsi juga sering terjadi silang pendapat, belum lagi menyangkut luas tanam dan panen. Antarinstitusi pemerintah, seperti Kementerian Pertanian dan BPS sering berbeda angka dan importir pemburu rente memanfaatkan kondisi itu untuk mengimpor beras.

Angka konsumsi beras per kapita versi Kementerian Pertanian 139,1 kg per tahun, namun prediksi BPS 113,5 kg. Penurunan 26 kg beras per kapita per tahun menambah persediaan gabah kering giling (GKG) 6 juta ton. Jika konsumsi dapat dikurangi maka Indonesia terbebas dari impor dan dapat menjadi eksportir beras.
Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada beras berisiko pada rapuhnya kebutuhan pangan. Sekali pun potensi bahan pangan alternatif kita besar dan beragam, pengembangannya tidak mudah. Peta jalan pembangunan pertanian selama ini juga jarang membahas penurunan konsumsi.

Kita juga dihadapkan pada ber-bagai kendala, termasuk sosial bu-daya dan psikologis. Beras masih sering dianggap makanan superior, sedangkan nonberas seperti umbi dan biji-bijian adalah inferior.
Kesadaran akan pentingnya mewujudkan kedaulatan pangan sudah lama disuarakan. Tidak sekadar berorientasi pada swasembada beras tetapi lebih dari itu sebagai pemenuhan pangan yang berdampak pada aspek politik, sosial, dan kedaulatan bangsa.

Harus ada kemauan politik untuk mengawal sektor pertanian dan pangan supaya tidak termarginalkan oleh arus industrialisasi dan kapital berskala besar. (10)

— Prof Dr Waridin, Ketua Pro-di Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Undip, Penyeleng-gara Program Beasiswa Unggulan Kemendikbud
Opini, Suara Merdeka, 1 Februari 2012
»Read More »

Kartu Identitas untuk si Miskin

Kartu Identitas untuk si Miskin. ”Pemkot dan DPRD Kota Salatiga mengambil langkah positif dengan membahas raperda tentang percepatan pengentasan kemiskinan”

TANGGAL 18 Agustus 2011 pemerintah mengundangkan UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Setelah 66 tahun merdeka, kemiskinan masih menjadi problem klasik meski dari tahun ke tahun pengentasannya menjadi target dalam program pembangunan nasional.

Data menyangkut kemiskinan pun menyimpan masalah klasik. Pasalnya, badan/ lembaga yang terkait dengan penanganan kemiskinan sering menyodorkan data yang berbeda mengenai jumlah penduduk miskin.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36%). Angka itu turun 130 ribu orang (0,13%) dibandingkan dengan Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49%). Pemberlakuan UU Nomor 13 Tahun 2011 menjadi angin segar bagi pendataan orang/ keluarga miskin karena regulasi itu secara jelas mengatur bagaimana mendata , mengolah data, sampai memutuskan mengeluarkan kartu identitas bagi mereka.

Pasal 8 dalam UU itu menyebutkan bahwa menteri yang menangani persoalan sosial berwenang menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar penanganannya. Mencermati tekstualnya tentu dalam kaitan ini yang dimaksud adalah Menteri Sosial. Sebelum menetapkan kriteria, menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait yang juga menangani kemiskinan. Berdasarkan kriteria yang ditentukan itu kemudian dilakukan pendataan oleh lembaga statistik.

Kementerian Sosial selanjutnya memverifikasi dan memvalidasi hasil pendataan tersebut dan secara berkala sekurang-kurangnya tiap dua tahun ada verifikasi dan validasi ulang. Ada pengecualian verifikasi dan validasi data bila terjadi situasi dan kondisi tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi seseorang menjadi fakir miskin.

Praktik di lapangan, verifikasi dan validasi ini dilaksanakan oleh kecamatan, kelurahan, atau desa, kemudian dilaporkan kepada bupati/wali kota, lalu gubernur untuk diteruskan kepada menteri.

Bagaimana bila ada seorang fakir miskin belum terdata? Pasal 9 menjelaskan, fakir miskin yang belum terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah/ kepala desa. Kepala keluarga yang telah terdaftar sebagai fakir miskin pun wajib melaporkan setiap perubahan data anggota keluarganya kepada lurah atau kepala desa.

Selanjutnya, lurah/ kades menyampaikan daftar perubahan itu ke bupati/ wali kota melalui camat, untuk diteruskan secara berjenjang sampai ke menteri. Sebelum disampaikan kepada gubernur, wali kota/ bupati dapat meverifikasi dan memvalidasi atas perubahan data tersebut.

Teknologi Informasi

Data yang telah diverifikasi dan validasi, termasuk data perubahan (bila ada), harus berbasis teknologi informasi, dan menjadi data terpadu, yang menjadi tanggung jawab menteri. Data terpadu ini digunakan oleh kementerian/ lembaga terkait dalam penanganan kemiskinan. Sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik, data tersebut harus dapat diakses masyarakat.

Bagaimana tindak lanjutnya setelah masuk daftar terpadu fakir miskin? Mereka yang tercantum akan mendapat kartu indentitas, yakni kartu kepesertaan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir miskin dalam berbagai macam program pelaksanaan penanganannya. Namun ketentuan lebih lanjut mengenai teknologi informasi dan penerbitan kartu indentitas ini masih harus diatur dengan peraturan menteri. Realisasinya sekarang, pemberlakuan kartu identitas masih ditunggu. (Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2011).

Pemberlakuan UU Nomor 13 Tahun 2011 diharapkan menginspirasi pemda menyusun perda guna menanggulangi kemiskinan. Regulasi itu di antaranya perda tentang zakat dan percepatan pengentasan kemiskinan.

Pemkot dan DPRD Kota Salatiga mengambil langkah positif dengan membahas raperda tentang percepatan pengentasan kemiskinan. Tentunya ini menjadi angin segar bagi pengentasan kemiskinan di daerah tersebut. Ada baiknya pembahasan rancangan itu mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2011. (10)


— Jamaludin Al Ashari SH, PNS Pemerintah Kota Salatiga
__ Opini, Suara Merdeka, 2 Februari 2012,
»Read More »

Belajar dari Hendro Martojo

Belajar dari Hendro Martojo. ’’TAJUK Rencana’’ harian ini edisi 31 Januari 2012 berjudul ’’Pemimpin Berkarakter Selalu Dirindukan’’ yang mengulas kepemimpinan Bupati Jepara Hendro Martojo, mendorong penulis kembali membuka kembali buku Wong Cilik di Panggung Birokrasi Lokal, Biografi Anak Pedagang Gurem.  Pengantar biografi Hendro yang penulis susun bersama tim pada September 2006 itu ditulis oleh KH MA Sahal Mahfudh dan Habib Muhammad Luthfi bin Yahya.
Add caption


Ada beberapa sikap Hendro yang dinilai oleh Kiai Sahal, yang kemudian memunculkan karakter kepemimpinan yang kuat dan lengkap. Penilaian mengenai kepemimpinan itu berdasarkan atas hal-hal yang disaksikan oleh ulama karismatik itu sendiri.
Pertama; Mbah Sahal menilai Hendro memiliki perhatian besar terhadap pengembangan masyarakat. Kedua; wataknya tidak berubah, baik ketika menjadi camat, sekda maupun bupati.
Ketiga, sikapnya tawadu, selalu rendah hati, dan santun.
Keempat; cara bicara  argumentatif dan normatif juga menjadi catatan kiai sepuh tersebut.
Kelima; penilaian atas sikapnya yang bersahaja, dari cara hidup hingga pakaian yang dikenakan. Keenam; perilaku yang baik itu sudah jadi watak, bukan seperti watuk (batuk) yang bisa berubah-ubah, dibuat-buat dan umat-umatan. Mbah Sahal menutup pengantarnya dengan menulis bahwa Hendro memang patut menjadi teladan bagi siapa saja yang memimpin masyarakat.     
Sementara itu, Habib Luthfi menuliskan lima sikap yang diketahuinya, yaitu ulet dan tidak mudah putus asa, familiar, memiliki hubungan baik dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat, memiliki rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan tinggi, serta memiliki intelektualitas sebagai  pemimpin.
Adapun Gubernur Bibit Waluyo saat berkunjung ke Benteng Portugis Jepara tahun lalu, menilai Hendro sebagai pemimpin  yang ethes sehingga pembangunan Jepara dikenal baik dan merata. 
Kepemimpinan Mengakar
Banyak cara yang digunakan Hendro untuk memimpin Jepara selama 10 tahun. Ia memiliki bekal lengkap sebagai seorang pemimpin. Ia paham benar cara menggerakkan mesin birokrasi menuju ke good governance yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat, akuntabilitas, transparansi, taat hukum dan adil, termasuk menjunjung tinggi  budaya,  etika, dan  hierarki birokrasi, sehingga tak pernah merasa jadi raja kecil.
Hendro juga menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin yang tidak hanya memiliki kompetensi kepemimpinan yang kreatif, inovatif, dan komunikatif, tetapi juga melaksanakan fungsinya sebagai coach  yang senantiasa melatih, mendidik, membina, mendorong, dan memberdayakan jajarannya, Ia menjadi guru yang tiap saat nglanthing bukan saja untuk hal yang bersifat kebijakan melainkan sering ’’terpaksa’’ masuk wilayah teknis.
Fungsi sebagai juru bicara juga tidak diragukan. Ia pintar memberikan penjelasan disertai  penguasaan data lengkap sehingga pemikiran, ide, dan gagasannya mudah dipahami. Ia juga cepat melihat dan memahami fakta dan  mengambil kesimpulan dengan menghubungan dengan fakta-fakta yang lain. Hendro  senantiasa memberikan arah terhadap munculnya perubahan, gagasan baru, terobosan dan bahkan  nilai tambah yang bermanfaat bagi kemajuan daerah.
Ia juga memanfaatkan banyak saluran komunikasi, baik melalui saluran media maupun komunikasi pribadi dengan banyak kalangan.
Mungkin tidak banyak bupati/ wali kota yang dengan tlaten, gaten, dan open menjawab sendiri SMS di ponselnya. Konsistensi yang lain adalah jumatan keliling, krida pembangunan dan dialog dengan petani serta berusaha menerima kelompok masyarakat.
Getap yang merupakan perpaduan sikap peka, tanggap, dan cepat melangkah sering kali dia tunjukkan ketika mendapatkan informasi terjadi bencana. Ia sering kali datang lebih awal ketimbang seorang camat. Kepemimpinan formal Hendro akan berakhir 5 Maret nanti.
Banyak catatan prestasi yang mungkin bisa saja dilupakan tetapi cara dia membangun tali silahturahmi, akan mengakar lama di hati masyarakat Jepara. (10)

— Hadi Priyanto, Kabag Humas Setda Jepara 
Opini, Suara Merdeka, 2 Februari 2012
»Read More »