Oleh Yudha Nata Saputra
Kendati dihadapkan pada beberapa masalah, sistem akreditasi di perguruan tinggi masih layak dan sangat penting untuk digunakan ("PR", 27/12). Akreditasi perlu dilakukan sebagai upaya menjaga mutu perguruan tinggi. Bagi perguruan tinggi yang memiliki kesiapan, akreditasi merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu sebagai alat legitimasi mutu pendidikan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Bagi perguruan tinggi yang tidak siap, akreditasi tidak disambut gembira tetapi dianggap sebagai upaya "pembunuhan" lembaga yang bersangkutan. Ditambah dengan "ancaman" tidak berhak mengeluarkan ijazah, tidak berhak menerima mahasiswa, sampai kepada penutupan lembaga yang bersangkutan, akreditasi bagi sebagian pihak tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat.
Di sisi lain, pemerintah menargetkan pada 2012 semua perguruan tinggi sudah terakreditasi. Jika akreditasi masih diperlukan, bagaimana meningkatkan manfaat akreditasi bagi semua pihak tanpa kecuali sehingga tidak dipandang lagi sebagai bentuk ancaman. Sebetulnya, ada beberapa usaha untuk meningkatkan manfaat akreditasi.
Pertama, sosialisasi hasil akreditasi kepada masyarakat. Hal itu sangat penting mengingat masyarakatlah yang menjadi pengguna jasa (konsumen) lembaga pendidikan. Masyarakat perlu paham apa artinya perguruan tinggi yang terakreditasi dan belum terakreditasi, apa konsekuensi dari status perguruan tinggi yang bersangkutan. Apa artinya perguruan tinggi yang menyandang nilai akreditasi A, B, atau C. Sekilas kita bisa melihat nilai A tentu lebih baik dari nilai B, dan seterusnya. Akan tetapi, dari segi apa nilai A lebih baik dari B belum banyak diketahui masyarakat.
Bukti masih kurangnya upaya sosialisasi ini bisa dilihat dari belum pahamnya masyarakat akan hasil akreditasi. Pertimbangan masyarakat dalam memilih perguruan tinggi patokannya bukan pada nilai akreditasi tetapi masih lebih banyak berdasarkan pertimbangan biaya pendidikan, kemudahan lulusannya untuk bekerja, dan brand image. Perguruan tinggi belum melihat sejauh mana manfaat akreditasi bagi mereka, karena tanpa akreditasi pun lembaga pendidikan mereka tetap diminati.
Kedua, pemerintah perlu terus melakukan pembinaan kepada semua perguruan tinggi, terutama bagi yang belum memiliki kesiapan. Pemerintah tidak bisa hanya menuntut target akreditasi sepuluh tahun mendatang semua perguruan tinggi harus minimal terakreditasi C, B, dan seterusnya. Tanpa dibarengi dengan fokus kepada pembinaan perguruan tinggi, target tersebut akan percuma.
Dalam rangka melakukan pembinaan, pemerintah perlu juga melibatkan sejumlah perguruan tinggi yang sudah terakreditasi sangat baik (peringkat A). Perguruan tinggi tersebut perlu diberikan tanggung jawab lebih untuk membina yang peringkat akreditasinya berada di bawahnya atau yang belum terakreditasi. Hal itu perlu dilakukan agar akreditasi tidak menjadi ajang saling "membunuh" antarperguruan tinggi.
Upaya itu janganlah dipandang sebagai sesuatu yang membebani perguruan tinggi yang sudah terakreditasi A tetapi dalam koridor "tugas mulia" untuk bersama-sama memajukan kualitas pendidikan di Indonesia. Perlu diingat, fokus akreditasi sejatinya bukan ditekankan pada semangat persaingan antarperguruan tinggi tetapi justru penekanannya pada semangat kerja sama antarperguruan tinggi.
Ketiga, perlu diwaspadai potensi biaya pendidikan menjadi mahal di beberapa perguruan tinggi yang telah mengantongi nilai akreditasi A ini. Memang kita tidak menyangkal untuk kualitas perlu biaya tinggi, tetapi perlu juga diingat kondisi masyarakat Indonesia. Jangan sampai perguruan tinggi dengan akreditasi A hanya mengutamakan mahasiswa yang berduit. Menyiasati hal itu, pemerintah harus mewajibkan perguruan tinggi yang telah mendapatkan akreditasi agar lebih banyak memberikan beasiswa kepada calon mahasiswanya, terutama untuk program studi (prodi) yang terakreditasi A.
Keempat, perlu diupayakan adanya keterkaitan antara akreditasi lembaga dan akreditasi prodi di perguruan tinggi yang bersangkutan. Jangan sampai terjadi akreditasi lembaga nilainya A tetapi akreditasi prodi C atau sebaliknya. Kondisi seperti itu perlu dihindarkan karena selain akan menimbulkan ketidakpuasan dari perguruan tinggi yang bersangkutan, juga akan membingungkan masyarakat dalam memilih perguruan tinggi. Idealnya, akreditasi lembaga harus memberikan gambaran umum yang menyeluruh terhadap kualitas pendidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan, termasuk kualitas setiap prodi yang ada.
Isu yang berputar beberapa waktu lalu selepas proses akreditasi ini adalah ada pihak yang mengatakan akreditasi perlu difokuskan kepada prodi karena prodilah yang justru menjadi ujung tombak suatu perguruan tinggi. Seyogianya hal ini tidak perlu terjadi jika ada keterkaitan antara akreditasi lembaga dan akreditasi pada setiap program studinya.
Kesimpulannya, kebermanfaatan akreditasi merupakan sesuatu yang penting untuk terus diupayakan agar akreditasi tidak lagi dipandang sebagai ancaman, baik terhadap eksistensi perguruan tinggi maupun terhadap kesempatan masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Kebermanfaatan menjadi sesuatu yang penting karena kesuksesan program akreditasi sangat bergantung kepada kebermanfaatannya.***
Penulis, Sekretaris Prodi PAK STT Kharisma, mahasiswa program Doktor Ilmu Pendidikan Uninus.
Opini Pikiran Rakyat 6 Januari 2010