06 Januari 2011

» Home » Kompas » Opini » Menggadang-gadang Calon Presiden 2014

Menggadang-gadang Calon Presiden 2014

Salah satu koran terbitan Jakarta pada Rabu, 15 Desember lalu, mengutip Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Ia mengatakan bahwa mulai tahun 2011, PKS akan menjaring kader untuk kandidat presiden pada Pemilu 2014.
Selain dari PKS, belum terdengar dari partai lain wacana mengenai Pemilu Presiden 2014. Namun, dari pengamatan politik belakangan ini, berikut kalkulasi berdasarkan besarnya parpol, tak sulit membayangkan bahwa tiga kekuatan politik besar—Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—sudah mulai menyiapkan calon presiden mereka.
Pertama, Partai Demokrat (PD) pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Partai dengan wakil paling banyak di DPR ini sudah pasti akan menyiapkan calon presiden. Namun, siapa calonnya sampai sekarang masih sulit ditebak.
Menurut cerita para pembesar PD serta pengamatan dari luar, SBY tampaknya belum melihat tokoh dari dalam yang menonjol untuk ditampilkan sebagai calon presiden. Sedemikian rupa sehingga Ahmad Mubarok, anggota Dewan Pembina PD, pada akhir tahun silam, mengumumkan bahwa calon presiden dari PD tak harus kader partai. Meski demikian, dari yang tak menonjol itu, para pengamat dan sejumlah petinggi PD melihat dua tokoh potensial yang bukan tak mungkin akhirnya akan ”terpaksa” ditampilkan.
Aktivis politik
Dilihat pada awal tahun ini, tokoh yang potensial menjadi calon presiden dari PD adalah Ani Yudhoyono dan Menko Polhukam Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto. Ani tak lain tak bukan istri SBY. Cerita dari dalam PD menyebutkan, SBY berkali-kali menegaskan bahwa istrinya tak akan menjadi calon presiden. Ketika menjelaskan demikian, SBY kabarnya juga mengecam sejumlah bupati yang digantikan oleh istri atau anak mereka.
Namun, sejumlah petinggi PD berpendapat bahwa Ani seharusnya jangan hanya dilihat sebagai istri SBY sebab kenyataannya dia juga seorang aktivis politik. Ani, yang dikabarkan pernah mendapat pendidikan ilmu politik, adalah salah seorang pelopor, pendiri, dan pernah jadi pemimpin PD. Sejak SBY menjadi presiden, Ibu Negara itu kabarnya berperan sebagai penasihat terpenting bagi suaminya. ”Beliau itu bisa kita bandingkan dengan Hillary Clinton,” kata seorang anggota Dewan Pembina PD.
Adapun Djoko Suyanto kabarnya tak berminat jadi calon presiden. Seorang teman dekatnya mengisahkan bahwa dia amat sadar sebagai seorang berlatar militer teknis. Djoko memang seorang penerbang yang seluruh kariernya tak berurusan dengan soal sosial politik. ”Djoko itu tahu diri,” kata teman seangkatannya di Akademi Angkatan Udara puluhan tahun silam.
Namun, PD sebagai partai terbesar jelas perlu punya calon presiden. Tak bisa tak! Artinya, SBY sebagai pemimpin PD harus memilih seorang kader untuk maju, bukan? Kabar dari dalam PD menyebutkan bahwa para petinggi PD makin lama makin tak punya pilihan lain kecuali Ani. Jadi, atas ”desakan partai”, tampaknya SBY kemungkinan besar akhirnya harus merelakan istrinya jadi calon presiden. Sehubungan dengan itu, yang dihadapi SBY dan PD sekarang adalah soal waktu dan popularitas SBY.
Dalam soal waktu, SBY sebagai pemimpin tertinggi PD tak bisa terlalu lama menunda keputusan sebab makin lama tertunda, makin sulit ”menjual” calon presidennya kepada masyarakat. Sementara itu, nasib calon presiden PD—siapa pun orangnya—akan sangat bergantung kepada perkembangan popularitas SBY dari sekarang hingga masa pemungutan suara nanti.
Sudah terbukti, SBY pribadilah yang dulu berhasil amat menakjubkan ”menyulap” PD dari nol jadi partai terbilang (Pemilu 2004) untuk akhirnya tampil sebagai partai terbesar pada Pemilu 2009. Maka, makin tinggi popularitas SBY, makin besar pula kemungkinan calon presiden yang ia dukung mendapat suara banyak nanti. Dan, sebaliknya.
Apa boleh buat, inilah memang konsekuensi dari tingkat peradaban politik Indonesia yang masih berada pada tataran selalu mencari Ratu Adil. Artinya, yang dipilih tokohnya, tanpa sibuk mempertimbangkan agendanya.
Koalisi sulit dihindarkan
Pertanyaan berikutnya adalah siapa pasangan (calon wakil presiden) bagi Ani dan siapa pula pesaingnya? Pengalaman sejak reformasi menunjukkan bahwa untuk berkuasa di Indonesia, koalisi sulit dihindarkan. Ini artinya PD harus mencari calon wakil presiden dari luar partai itu. Beredar spekulasi di kalangan politikus bahwa Hatta Rajasa, Ketua Partai Amanat Nasional, adalah satu nama yang mungkin diundang mendampingi Ani. Tentu saja itu hanya salah satu kemungkinan. Juga disebut-sebut Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar, sebagai salah satu kemungkinan yang lain.
Baik Hatta maupun Ical masing-masing punya persoalan yang kemungkinan besar bakal membebani mereka untuk digaet oleh PD. Hatta yang dulu amat dekat dengan SBY sejak pertengahan 2010 kabarnya dinilai banyak gagal melaksanakan tugas yang dipercayakan SBY kepadanya. Karena itu, Ketua PAN itu kini konon bukan lagi ”orang dekat” SBY seperti sebelumnya. Kata seorang dekat SBY, inilah juga penjelasan mengapa Ical dan bukan Hatta yang jadi pemimpin Sekretariat Gabungan Partai Politik Pendukung Pemerintah.
Adapun Ical, soal yang dihadapinya bahkan jauh lebih rumit. Selain kakinya masih terbenam dalam di lumpur Lapindo, dia juga nyaris saban hari jadi topik pemberitaan sehubungan dengan skandal pajak, seperti yang diungkapkan Gayus Tambunan di pengadilan. Dengan latar demikian, tentu tak mudah bagi PD menarik Ical jadi pasangan bagi Ani nanti.
Ical kemungkinan besar bukan cuma tak mudah berpasangan dengan Ani. Juga diperkirakan, tak mudah jadi calon presiden bagi Golkar, terutama kalau isu Lapindo dan skandal pajak tak kunjung reda. Elite Golkar yang sejak reformasi memang tak pernah kompak, bisa dibayangkan— mengingat faktor waktu—akan secepatnya menuntut Ical menentukan sikap: maju sebagai calon presiden atau merelakan tokoh Golkar lain.
Di depan Ical sekarang terbentang tiga pilihan: tetap maju jadi calon presiden, mencari tokoh Golkar yang bisa ”dikendalikan”-nya untuk jadi calon presiden, atau merelakan siapa saja kader dari partai yang dipimpinnya itu untuk maju. Pilihan pertama dan kedua hampir pasti akan memecah Golkar dan adalah Nasional Demokrat yang langsung akan diuntungkan. Pilihan kedua hanya bisa dicapai melalui perundingan panjang. Lebih segera perundingan itu dimulai, lebih baik bagi Golkar.
Di luar PD dan Golkar, dua partai terbesar di DPR sekarang yang juga menarik untuk diamati adalah PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri dan Gerindra pimpinan Prabowo Subianto. Pada Pilpres 2009, Megawati maju berpasangan dengan Prabowo. Bagi mereka yang mengerti sejarah politik Indonesia modern, pasangan ini sangat menarik kalau tidak malah amat kontroversial. Megawati adalah anak Presiden Soekarno, sementara Prabowo adalah anak Sumitro Djojohadikusumo. Soekarno dan Sumitro tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai musuh bebuyutan. Namun, politik ternyata punya logika dan dinamikanya sendiri.
Syahdan, untuk akhirnya bersedia menjadi calon wakil presiden bagi Megawati pada Pilpres 2009, Prabowo kabarnya berhasil mendapatkan janji tertulis pemimpin PDI-P itu untuk mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2014. Mungkin inilah penjelasannya mengapa hingga kini tak ada gerak dalam PDI-P mencari calon presiden dari dalam partai. Namun, calon wakil presiden jelas tersedia.
Maka, jika Prabowo memang akhirnya nanti maju sebagai calon presiden dengan dukungan Megawati, bisa diramalkan bahwa calon wakil presiden pasti akan datang dari PDI-P. Sangat besar kemungkinan dialah Puan Maharani, putri Megawati dari perkawinannya dengan Taufiq Kiemas.
Namun, seperti juga Ical yang punya persoalan yang mungkin mengganjalnya maju sebagai calon wakil presiden atau calon presiden, Prabowo juga bukan tanpa masalah. Pemberhentian Prabowo dari dinas militer karena dianggap terlibat penculikan sejumlah aktivis menjelang jatuhnya Soeharto adalah soal yang hampir pasti akan jadi bahan kampanye hitam bagi lawan politiknya ataupun para aktivis pembela hak asasi manusia.
Maka, jika popularitas SBY tetap tinggi dari sekarang hingga hari pemungutan suara nanti, Ani—atau siapa saja—yang didukung SBY pasti akan sangat bisa memanfaatkan kelemahan Ical dan Prabowo seandainya kedua tokoh ini maju.
Bagaimana apabila popularitas SBY merosot nanti? Itu akan menyebabkan pilpres akan lebih ramai dengan banyak calon yang saling ”tawar-menawar” sebelum pada akhirnya maju ke pemungutan suara.
Salim Said Guru Besar Ilmu Politik dan Mantan Duta Besar
Opini Kompas 7 Januari 2010